Adam (Aming) adalah seorang penata rambut yang membuka salon di sebuah kawasan di ibukota negeri antah berantah. Ia tinggal bersama teman-temannya. Memperingati ulang tahunnya, ia dan teman-temannya (yang waria) pergi ke sebuah klub. Walaupun mereka tahu ada sebuah kelompok yang suka menggerebek klub-klub semacam itu. Adam dan kawan-kawanpun kena gerebek dan ditangkapi kelompok itu. Namun Adam berhasil lolos dan terdampar di Tanjung Awan.
Di Tanjung Awan ia bertemu rumah pengajar tari. Tanpa disadari, Adam menjadi tertarik dengan tarian itu, sebelum ia mengetahui misi khusus yang harus ia emban, yakni membela keadilan para waria! Juga untuk membongkar rencana Tarjo sang penyalur TKI yang ingin memanfaatkan salah seorang penari, Ratih, untuk menjadi TKI tanpa tahu apa yang akan terjadi. Di saat kegalauan seperti itu, Adam harus menyamar menjadi Madame X untuk menyelamatkan semuanya. Tegakkan keadilan, jaga penampilan!
REVIEW
Yah, itu cuma sinopsis buatan saya.
Madame X, terlepas dari kenyataan bahwa ini adalah film yang queer dan berani, saya tidak heran kalau film ini tidak terlalu laku di masyarakat. Berbekal kesempatan ada VCD di rental dan teringat review yang cukup baik untuk film ini, saya mencoba menonton film komedi ini.
Yang perlu saya tekankan disini, mungkin sebagian pihak akan menganggap film ini sebagai film propaganda dari homoseksualitas dan banci di Indonesia. Ini merupakan sebuah polemik yang sampai saat ini sebenarnya banyak pihak yang bersitegang dalam urusan seperti ini. Tapi mari kita kesampingkan hal-hal semacam itu dalam film ini untuk menghindari ketersinggungan pihak lain. Caplah film ini sebagai hiburan murni.
Sajian komedi-superhero adalah sajian yang jarang sekali (bahkan mungkin ini baru pertama kali) ada dalam ranah film Indonesia. Tentunya dalam sajian perdana, ini tidak menjadi suatu awal yang buruk, bahkan bisa dibilang menjanjikan untuk menjadi franchise yang berhasil di kemudian hari. Sekali lagi berkaitan dengan tema yang sifatnya masih tabu dan minoritas di Indonesialah yang membuatnya anjlok di pasaran.
Akting Aming, yang sedarii Extravaganza sudah berakting sebagai waria tidak diperagukan lagi. Namun yang kurang adalah eksplorasi emosi yang ia lakukan saat sedih. Ya, sebagai seorang waria yang selalu terpotret sangat high sekali, akting sedih cukup diperankan dengan aneh disini.Ini menyebabkan para pemain memutuskan untuk membuat emosi yang netral: datar. Tidak masalah apabila kedataran ini cepat berlalu, namun ini terjadi berulang kali mengingat banyak adegan dengan porsi emosi seperti ini. Aming yang mengetahui sang ibu inang meninggal sepeninggal dia, saat diberitahu oleh Fitri Tropica, tidak menunjukkan emosi yang benar-benar berarti. Ini menjadikan kaitan yang terus-menerus terjadi di dalam pikiran selama menonton film.
Joko Anwar dalam perannya sebagai waria teman Aming, juga patut diacungi jempol. Saya tidak mengira bahwa itu Joko Anwar! Ia bermain dengan bagus dan benar-benar mengundang perhatian, hanya saja porsinya disini lebih sedikit walaupun terekspos juga. Inilah inti dari sebuah akting. Tidak peduli kamu ada atau tidak, cobalah untuk tampil semaksimal mungkin. Ini bisa membuat kita juga berkaca pada Rezza Rahardian yang sedari Pulau Hantu 2 mengalami peningkatan akting yang mumpuni sehingga mulai dari dapat cast di film jelek, ia bisa bermain di lingkungan sineas asli seperti Deddy Mizwar.
Dan selain mereka, saya sebenarnya kurang nyangkut dengan akting yang lain. Mungkin sudah bagus, namun karena datarnya ekspresi yang ada, itu membuat mereka jadi kurang membuat greget. Semisal saat Robby Tumewu kehilangan istrinya, ia tidak tampil sebagai seorang yang berjuang bersama menghadapi bahtera ketidakadilan selama berpuluh-puluh tahun. Ia hanya tampil sebagai...seorang yang sedih. Dan jujur berbagai flat emotions banyak ditemukan disini, padahal semua yang ditawarkan menarik untuk diekspos lebih dalam.
Departemen musik sudah bagus seperti biasa dengan penata musik yang mumpuni. Bagian efek spesial, memberikan sebuah efek yang cukup memorable. Dalam film, tidak perlulah kita memberi yang maunya muluk sekali, tetapi ketidakmulukan dapat menjadi sajian humor yang bisa dinikmati juga. Itu bisa mejadikan bonus, karena di film ini antara humor yang skenario dan slapstiknya hampir sama dalam porsi. Jadi selama keduanya bisa berimbang dengan baik, bisa dikatakan bagian penyutradaraan dan skenarionya baik.
Harus ada yang diperbaiki kembali. Apabila nanti sudah bisa muncul yang kedua, tolonglah hentikan semua "aksi ulang adegan aksi atau heboh yang memukau selama tiga kali,"
Jujur, saya sebal.
2,5 of 5