Kamis, 09 Januari 2014

[REVIEW] Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013)

SINOPSIS
1930. Zainuddin (Herjunot Ali) adalah seorang pemuda berayah Minang dan beribu Makassar, Seusai ayahnya meninggal, ia ingin mengadu nasib sembari bersilaturahmi ke tanah kelahiran ayahnya di daerah Batipuh. Di sana ia bertemu dengan seorang bunga persukuannya, Hayati (Pevita Pearce) yang merupakan keturunan bangsawan. Berawal dari payung yang dipinjamkan, keduanya mulai bersurat dan timbul cinta di antara mereka. Namun, identitas Zainuddin yang tak bersuku karena merupakan anak campuran dua bangsa membuat harapan mereka kandas. Zainuddin diminta untuk pergi ke Pandang Panjang dan mulai belajar ilmu agama, setelah ia dan Hayati mengikat janji sehidup semati.

Aral mulai menghadang saat Hayati diundang sahabatnya ke Padang Panjang untuk menonton pacuan kuda dan perayaan. Sahabatnya yang "anak kota", mempertemukan dengan kakaknya Aziz (Reza Rahardian). Aziz  jatuh cinta pada Hayati dan melamarnya, bersamaan dengan surat lamaran Zainuddin pada tetua suku. Akhrnya Aziz yang berasal dari keturunan Minang terhormat diputuskan oleh tetua suku menjadi suami Hayati. Mereka menikah di Batipuh.

Sementara itu di Padang Panjang, Zainuddin menjadi sakit dan stres hingga kawannya Muluk (Randy 'Nidji') menyemangatinya untuk bangkit dari keterpurukan. Mereka berdua merantau ke Batavia untuk mencari hidup yang baru. Tulisan Zainuddin yang memukau dari novelnya Teroesir dengan nama samaran Z membuatnya ditawari untuk mengepalai kantor surat kabar di Surabaya yang terbengkalai. Zainuddin dan Muluk sebagai asisten sekaligus sahabatnya pun sukses di sana. Kehidupan rumah tangga Hayati dan Aziz pun tak berlangsung mulus, karena Aziz menganggap Hayati sebagai gadis kampung. Keduanya pindah ke Surabaya untuk menanggapi tugas dari kantor Aziz. Pertemuan kembali Aziz, Hayati, dan Zainuddin berada di saat pentas opera Teroesir yang sekaligus pesta dari Zainuddin (yang kini menggunakan nama Shabir) kepada persatuan anak Sumatera di Surabaya. Apa yang akan terjadi di pertemuan itu? Bagaimanakah kisah cinta mereka akan berakhir? Kapal Van Der Wijck adalah kapal besar yang mengantarkan orang dari Surabaya menuju Andalas. Tenggelamnya kapal Van Der Wijck akan menjadi sebuah penentu dari sebuah cinta suci yang terbelenggu adat-adat.


RATING
Suggested MPAA rating is PG for thematic elements, some disturbing images and sensuality also smoking.

REVIEW
Alhamdulillah, akhirnya rencana menyaksikan film ini terealisasikan juga. Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck selalu menjadi idaman saya untuk menonton sejak pertama kali lihat posternya. Saya pikir, ini Soraya ngapain lagi, sih? Saya akui, film mereka yang ter"baru", 5 cm, belum pernah saya tonton. Tapi, Soraya punya kekhasan dalam memberikan sesuatu yang agaknya paling-paling dalam produksi mereka. Di tahun 2004, mereka membuat Apa Artinya Cinta? yang berbujet 30 miliar. Kira-kira kehebohan seperti apa yang diberikan film ini?

TKVD (singkatan film ini) menjadi lumayan populer sejak fakta bahwa ia memenangi bursa film akhir tahun 2013 dengan perolehan 1 juta penonton di 13 hari penayangannya. Sesuatu yang menurut saya justru mengejutkan, karena setahu saya TKVD tidak ditayangkan di dua teater. Film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang diadaptasi dari Habiburrahman El-Shirazy itu, masih saya ingat, berada di dua teater sekaligus. Jadi, rupanya indikator film laris bukan tayang di dua teater saja ya?

Berada di Margo City, pada hari Rabu ini, saya melihat bahwa usai libur sekolah, film ini sangat sepi. Terlihat beberapa orang saja, terutama orang-orang lanjut usia dan beberapa wanita. Saya sendiri memang sedang menikmati me time sambil menyelundupkan pizza. Saya memperingatkan bagi kalian yang merencanakan untuk menonton film ini, hendaknya bisa berpikir ulang, apakah saya benar-benar mau nonton film ini? Film ini berdurasi 165 menit, atau skitar 2 jam 45 menit. Coba kalian bayangkan, kapan terakhir menonton film berdurasi sepanjang itu? Bahkan kuliah pun tidak sampai segitu lamanya.

TKVD secara umum dalam hemat saya merupakan satu pengejawantahan Buya Hamka terhadap nilai-nilai adat yang mengekang kisah cinta yang suci. Saya sendiri tak mengetahui tentang novel aslinya, namun jelas saya perlu tahu mengapa Buya Hamka yang notabene seorang yang religius membuat sesuatu yang agaknya sedikit "sentuh-bersentuhan". Adat-istiadat, kasih tak sampai, perjuangan kaum muda, adalah tiga aspek yang ditawarkan dari karya Buya Hamka. Satu hal lagi yang seharusnya ditekankan, adalah semangat persatuan Indonesia.

Herjunot Ali yang dahulu bermain dalam adaptasi Buya Hamka juga, Di Bawah Lindungan Kabah kini bermain kembali sebagai tokoh utama. Ia turut bermain dalam film buatan Soraya sebelumnya, 5 cm. Saya salut dengan pembawaannya yang bisa cukup Makassar. Saya pernah hidup di Sulawesi, jadi bisa cukup kenal beberapa aksen Makassar, dan dia juga bisa menguasai bahasa Padang dan terutama adalah Melayu. Zaman dahulu, bahasa disampaikan dengan begitu halus dan rampainya sangat luas. Seperti membaca hikayat-hikayat, orang-orang di film ini bertutur nyaris sama.

Satu hal yang ada dalam benak saya, apakah mereka mengacu kepada film Di Bawah Lindungan Kabah? Jujur saja, karakter orang-orang yang berada di buku Buya Hamka memang hampir sama, dan tokoh Hayati yang diperankan Pevita Pearce mirip dengan Laudya Chintya Bella yang bermain sebagai Zainab. Oke, yang menggarap kali ini adalah Soraya, yang saya heran kenapa selalu berusaha bikin sesuatu yang begitu mahal.

Akting dalam film ini, secara keseluruhan bisa digolongkan baik. Semua orang bisa berakting sesuai tuntutannya. Satu hal yang mungkin bagi kita terasa janggal adalah aksen Padang yang begitu kental di keseluruhan film. Herjunot Ali jelas begitu pandai kali ini untuk menjadi tokoh utama. Tapi seberapa meyakinkannya aktingnya (termasuk Reza Rahardian yang begitu meyakinkan dengan bunuh dirinya), tetap di adegan akhirnya itu tak membuat saya menangis. Artinya, film Doraemon petualangan masih menjadi satu-satunya film yang mampu membuat saya menangis.

Skenario film ini digarap langsung oleh empat orang sekaligus. Ada H. Imam Tantowi, Donny Dhirgantoro, Riheam Junianti, dan Sunil Soraya sendiri. Nggak tahu kenapa harus ada semua orang ini, mungkin untuk benar-benar mengejawantahkan itu tulisan dalam novel menjadi nyata. Media adaptasi seringkali menjadi perdebatan, apakah kita harus benar-benar sama dengan novelnya atau tidak? Kelihatannya bagi Sunil Soraya, bagaimana menciptakan sebuah film yang bisa benar-benar besar dan memukau penontonnya.

Suguhan paling mantap di film ini adalah penataan sinematografinya yang apik. Continuous shot atau adegan menggunakan crane dan digunakan untuk pengambilan gambar exterior sangat bagus berada di sini. Berkali-kali saya memang menyukai teknik yang sering digunakan Soraya, yang selalu teratur tanpa handheld. Satu yang bagus lagi adalah penataan desain produksi. Rancangan tahun 1930 dengan gaya retro benar-benar terasa dan tampil maksimal di sini. Kalau di Di Bawah Lindungan Kabah kita melihat Baygon dan Chocolatos ada "versi jadul"nya, kali ini kita melihat sesuatu yang benar-benar kuno. Hal ini juga didukung oleh tone gambar yang berganti-ganti seiring dengan lokasi gambar.

Pada daerah Padang, kita bagaikan menyaksikan kartu pos-kartu pos yang dirangkai menjadi film. Ia menangkap momen-momen yang indah. Sekadar catatan kembali ke skenario, menurut saya bagian Padang ketika Hayati dan Zainuddin bertemu dan menjalin chemistry, entah mengapa bagi saya terasa kurang. Kembali ke sinematografi, setelah banyak mengambil siluet di daerah Padang, selanjutnya untuk adegan kota yang banyak digunakan adalah seperti ala-ala sepia begitu. Retro. Kuno. Mewah. Sekali lagi memang desain produksinya begitu detail mempersiapkan banyak hal untuk menghidupkan kembali tahun 1930-an kepada kita mulai dari mobil, rokok, pakaian, hingga banyaknya wong londo di zaman itu. Aihhh.... memang Eros Eflin adalah jagonya.

Spesial efek dalam film ini banyak diterapkan mungkin dalam adegan tenggelamnya kapal. Saya sendiri kurang mengetahui bagaimana proses pembuatan film ini, tetapi adegan yang biasa saja sudah mengeluarkan uang banyak, apalagi adegan klimaks seperti ini. 

Saya agak kecewa dengan musiknya. Jujur, film ini kurang mengeksplorasi musik-musik lokal ketika berada di Padang, dan tidak memberikan sentuhan jazz atau semacamnya dalam pengisian musik latar ataupun soundtrack, padahal kalau hal itu diperbaiki, saya bisa bilang film ini benar-benar keren. Satu hal yang aneh ketika di pesta yang dibuat Zainuddin itu, kenapa saya malah dengar musik ala-ala DJ? Apakah hal tersebut benar adanya? Kenapa gitu lho, sudah sebagus ini dengan semua hal, kenapa tidak memaksimalkan di bagian musik sedikit saja?

Alhasil, jadilah ini film drama Indonesia yang benar-benar serius dalam dibuat. Konsekuensi menggunakan setting zaman dahulu kala dengan segala detailnya benar-benar bagus dan menawan. Ada beberapa bagian yang mengganggu seperti musiknya dan teknologi yang rasanya kurang pas. Secara keseluruhan, kendati yang membuat film ini secara umum orang India, namun bukankah ia telah menghabiskan hidupnya di Indonesia? Setidaknya berikanlah ia satu kesempatan, bahwa produser India itu tak selamanya cari untung, tapi ada juga yang bisa membuat sesuatu yang berkualitas. Film ini benar-benar membuat saya kagum bahwa dunia perfilman Indonesia semakin lama semakin bagus. Kalau sudah begini caranya, cuma ada satu permasalahan yang masih konkret: I-Horror.

NB: Kenapa sih, semua pemeran wanita dari Soraya itu harus semirip mungkin dengan Shandy Aulia?
90%

Tidak ada komentar:

Posting Komentar