Sabtu, 28 Oktober 2017

[REVIEW] Duka Sedalam Cinta (2017)

Setelah sekian lama saya tidak mengeluarkan review film baru karena kesibukan saya yang baru di Depok dan Ciputat, saya dianugerahi motivasi yang lebih tinggi untuk membuat review di blog yang sudah lama tak terurus ini. Atas kesimpulan yang saya sepakati bersama keluarga setelah menontonnya kemarin, jelas pendapat kami perlu disuarakan. Pokoknya, kudos untuk Duka Sedalam Cinta yang dengan hasil produksinya yang mampu menggerakkan jari ini untuk menulis kembali.

Film religi sudah jadi genre yang akrab dijumpai di bioskop Indonesia. Kita tahu judul-judul seperti Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1&2, Perempuan Berkalung Sorban, Jilbab Traveler, dan banyak lagi. Variasinya pun bisa berbagai macam, ada yang memang diangkat dari novel terkenal seperti judul-judul di atas, ada pula yang dibuat untuk mempromosikan suatu daerah (La Tahzan, 2013), ada yang menurut saya eksperimental (3 Doa 3 Cinta, 2008 & Doa yang Mengancam, 2008), ada yang temanya berat (Mencari Hilal, 2015 & Khalifah, 2011), ada pula yang mencoba melihat isu sensitif dalam agama (?, 2011 & Cinta Tapi Beda, 2012), hingga mengangkat kisah klasik (Di Bawah Naungan Ka'bah, 2011), juga komedi (Hijab, 2015 & Talak 3, 2016). Dengan banyaknya pilihan arah dan tema film religi di Indonesia, penting untuk kita membahas tentang spektrum yang agak jarang disentuh oleh film religi Indonesia, yakni dakwah.

In a glance, film dakwah merupakan film dengan nuansa mengajak untuk kebaikan, baik pada tokoh dalam film dan atau penonton. Dengan segala mahalnya bujet untuk syuting lokasi, menyewa aktor, membuat soundtrack, dan printilan lain dalam membuat film, seharusnya "pesan" yang diberikan film religi mengenai pentingnya agama, atau pentingnya memahami sesuatu dalam agama, jadi poin yang paling jelas dalam sebuah film religi. Namun, film dakwah memiliki nuansa mengajak yang lebih kental, bahkan menjadikan dakwah sebagai bagian penting dalam film. Seingat saya, ada beberapa film yang membahas dakwah sebagai tema film seperti Dalam Mihrab Cinta (2010), Sang Murabbi (2008), dan Sang Pencerah (2010). 

Duka Sedalam Cinta (2017) yang kita bahas ini, menurut saya tergolong sebagai film dakwah. Bukan hanya digolongkan, agaknya lewat promosi-promosinya, DSC memang memproklamirkan diri sebagai film dakwah. Banyak jarkom di media sosial dan grup SNS saya yang mengatakan bahwa menonton film ini adalah "jihad di bisokop" untuk menyemangati penggiat film religi serupa di Indonesia. Tentunya bukan film religi yang sekadar agama sebagai tempelan, tapi juga hidup dalam karakter dan plotnya. Dengan jargon tersebut, terbukti dalam dua pekan film ini dapat menarik 40 ribu penonton. Tanpa aktor dan aktris (amat) terkenal, tanpa syuting lokasi di luar negeri, dan dengan cerita yang ambisius, dapatkah DSC bertahan?


Film DSC bercerita tentang:

Gagah (Hamas Syahid) pemuda tampan, cerdas dan idola para gadis, mengalami kecelakaan di suatu daerah di Maluku Utara. Ia ditolong oleh Yudi (Masaji Wijayanto) dan abangnya, Kyai Ghufron (Salim A. Fillah). Gagah tinggal di pesantren milik kyai tersebut serta belajar banyak tentang Islam.

Saat pulang dari Maluku Utara, Gagah berubah. Mama (Wulan Guritno) dan adiknya, Gita (Aquino Umar) sukar menerima perubahan itu. Gita malah memusuhi Gagah. Berbagai peristiwa terjadi. Gita menolong Yudi yang terluka saat melerai tawuran di atas bus kota. Gita juga berkenalan dengan Nadia (Izzah Ajrina) dan ibunya (Asma Nadia), yang baru kembali dari Amerika. 

Sementara itu Gagah berusaha terus berbaikan dengan Gita. Gagah yang menjadi relawan Rumah Cinta untuk pendidikan anak dhuafa di pinggiran Jakarta, bersama 3 preman insyaf (Epi Kusnandar, Abdur, M. Bagya) menyiapkan sebuah rencana yang bisa mengubah segalanya. Namun sesuatu terjadi, membuat Gagah, Gita, Yudi dan Nadia bertemu dalam jalinan takdir yang membawa mereka pada duka sedalam cinta, dan sebuah pertemuan tak terduga di Halmahera Selatan.

Film ini merupakan sekuel dari Ketika Mas Gagah Pergi yang dirilis tahun lalu, diangkat dari novelet laris karya sang produser, Helvi Tiana Rosa, dengan deretan pemain yang kembali mengisi di sekuel ini. Beberapa teman saya merekomendasikan si novelet untuk dibaca, terutama teman-teman perempuan, karena ceritanya sangat kena di hati. Saya sendiri pernah membaca beberapa potong bagian dari si novelet, namun sudah lupa akan isinya.

Singkat cerita, saya dan keluarga menyaksikan kisah Gagah yang pergi ke Maluku dan mengalami kecelakaan, disampaikan melalui gambar dan narasi si Gagah. Singkat cerita, dari Maluku kita dibawa ke Jakarta untuk melihat Gita yang bertemu dengan Yudi di bis kota. Kemudian kita dibawa melihat Gagah yang ikut aktivitas pesantren Kyai Gufron di Maluku, dan beberapa saat kemudian kita melihat Yudi dan Gagah berada di Maluku. Lalu kita melihat Gagah sudah berada di Jakarta. Di durasi tiga puluh menit, saya dan keluarga saling celingukan, mencoba paham.

"Wait, itu tadi Gagah ya namanya?" tanya saya pada adik saya.
"Itu Yudi. Gagah yang ada jenggotnya,"
"Oke, Yudi itu ada di Jakarta? Terus Yudi yang di Maluku itu siapa?"
"Itu Yudi juga namanya?" adik saya terheran.

Lalu ayah saya mencoba meluruskan.

"Itu sama kayaknya Yudi yang di Maluku dan di Jakarta."
"Yudi yang di Maluku sudah balik ke Jakarta? Gagahnya?" tanya saya.
"Gagahnya masih di Maluku,"

Kemudian di adegan berikutnya kita menyaksikan Gagah dan Yudi ada di Maluku.

"Ini Yudinya ada di Maluku. Jadi Yudinya sama atau beda?"

Ibu saya lalu nimbrung.

"Piye tho pilem'e, rak mudeng ik aku,"  (Gimana sih filmnya, ndak ngerti Ibu)

Kalimat Ibu saya memang jadi kenyataan hingga film berakhir. Deretan kami cukup ribut berusaha untuk memahami jalan cerita yang dijabarkan oleh sang sutradara. Yudi yang ditusuk di bis kota, Gita yang kesal pada perubahan sang kakak, dan interaksi Gagah-Yudi di Maluku disampaikan begitu saja seakan-akan Gagah dan Yudi dengan mudahnya bolak-balik Jakarta-Maluku.

Saya dan adik saya akhirnya berkesimpulan bahwa plot film ini memang maju-mundur, yang sepertinya mengambil adegan-adegan di film pertama untuk merangkai logika di dalam film ini. Film ini seakan menantang kita untuk terampil menebak apakah adegan ini flashback atau tidak. Sampai di sini plot justru semakin membingungkan karena kami malah penasaran dengan tokoh-tokoh yang muncul begitu saja tanpa penjelasan lebih jauh. Tiba-tiba saja ada si Ali Syakieb datang menolong Yudi di bis kota, dan tiba-tiba dia ada di kantor ayah Yudi, dan tiba-tiba juga ada di Rumah Cinta binaan Gagah. Tiba-tiba saja ada nama Nadia, tiba-tiba ada nama Tika, tiba-tiba mereka pelukan, tanpa saya tahu mereka ini siapa sebenarnya.

Kesan ini perlu disesalkan, mengingat awal film dimulai dengan cukup rapi. Kita disampaikan secara singkat tentang rangkuman Gagah yang mengalami kecelakaan dan dirawat. Namun, segalanya mulai berubah membingungkan kala Gita di Jakarta bertemu dengan Gagah dan Yudi, dan di adegan berikutnya Gagah dan Yudi berada di Maluku. Di atas kertas, saya yakin skenarionya bisa saja tak bermasalah, karena sistem narasi dan menjadikan kisah Maluku sebagai "titik balik" dan "referensi" bagi perilaku Gagah dan Yudi di Jakarta, dapat dipahami sebagai dua babak yang berbeda. Namun, dalam eksekusinya, saya merasa pengarahan mood dengan alur nonlinear depan kamera amat sulit dilaksanakan.



Gagah, Yudi, siapapun yang diperankan Ali Syakieb, Gita, Nadia, dan sekian pemeran lainnya muncul dan hilang begitu saja di setiap adegan yang terus berpindah linimasa, berdialog seakan-akan penonton paham sekali siapa dia dan siapa dia. Akhirnya, saya dan keluarga menghabiskan waktu 30 menit untuk membedakan tokoh-tokoh ini. Bukan karena wajahnya tak dapat dibedakan, tapi karena adegan yang jumpalitan membuat logika yang berusaha dibangun dari adegan-adegan di awal tidak berlaku. Katanya sih film ini bisa ditonton tanpa menonton film sebelumnya (Ketika Mas Gagah Pergi (2016), tapi sepertinya itu hoax. Bahkan film fiksi ilmiah Predestination (2014) tentang paradoks time travel tidak semembingungkan ini.

Beralih dari alur film yang mengganggu, kita akan mencoba melihat ceritanya. Mari kita rangkum ceritanya menjadi empat babak. Babak I adalah kisah Gagah di Maluku, Babak II adalah kisah perubahan Gita di Jakarta, Babak III adalah klimaks Gagah, Yudi, dan Gita yang bertemu di Jakarta, dan Babak IV adalah epilog setelah klimaks di babak III. Secara umum, premisnya bagi saya terasa tipis. Tentang hijrahnya pemuda yang membuat adiknya terganggu dan mulai tertarik untuk berubah. Premis tipis tidak asing dalam sebuah film, yang penting adalah eksekusinya. Ambil contoh film horor, dengan segala kesamaan jalan cerita "teror di rumah berhantu", ada film yang bisa membuat orang rela nonton lagi, dan ada juga film yang membuat orang mati bosan di kursi bioskop.

Untuk film drama, pengembangan premis menurut saya amat bergantung pada konflik-konflik yang diciptakan antar karakter, juga antar situasi. Pada film dakwah, konflik berkisar pada perjuang mengubah perilaku/pemahaman seseorang untuk menjadi lebih dekat pada ketentuan agama. Film DSC jelas memiliki konflik itu, namun pihak pembuat DSC juga jelas berpikir bahwa mereka harus membuat adegan-adegan dan dialog yang idealis dan inspiratif, dan disampaikan secara kaku. Hasilnya, ketimbang berjalan sebagaimana sinopsis film, DSC bagaikan kolase pemandangan dan quote-quote yang indah. It actually works if you read it, namun di dalam film, kalimat-kalimat mutiara ini malah mengaburkan cerita. Saya tidak keberatan dengan kalimat-kalimat inspiratif dalam film, tapi bila kalimatnya muncul 300 kali, saya juga bisa muak.

Hal lain yang mengganggu adalah narasi yang terdengar sepanjang film berlangsung. Dengan suara yang nyaris tak dapat dibedakan, Gagah dan Yudi saling bergantian menerangkan ini adegan apa, kita mau apa, apa yang kita dapat dari adegan ini, apa hikmahnya, dan demikian seterusnya. Komunikasi visual yang sedianya hadir dalam sebuah film, seakan-akan tidak terlalu dipercaya oleh DSC hingga merasa perlu menerangkan kembali lewat narasi.


Seakan belum cukup untuk membombardir kita dengan pesan moral, DSC turut memberikan porsi adegan-adegan inspiratif di Maluku bersama dengan Kyai Gufron dan pejabat di sana yang menurut saya terlalu ambisius dan tidak "berguna" untuk perkembangan film. Hadirnya Kyai Gufron yang diperankan ustaz Salim A. Fillah di sini terasa sambil lalu saja. Bahkan ada adegan simpel semisal Gagah meminta izin pada Kyai Gufron untuk naik jip, tapi tak diperlihatkan kemana dan untuk apa mereka menaiki jip, tidak dibahas. Kesalehan Kyai Gufron yang membersihkan sampah laut dekat masjid, berbagi dengan masyarakat di depan masjid, hingga pejabat yang mendengar keluh-kesah rakyat, seakan-akan dibuat untuk meneriakkan bahwa film ini sarat makna. Saya tak mangkir kalau dibilang film ini sarat makna, tapi makna juga tak perlu dijejal dalam durasi 86 menit. Banyak film yang mengangkat satu isu untuk membuat penonton paham betapa pentingnya isu itu. Misal, film Sabtu Bersama Bapak (2016) membahas pentingnya komunikasi dalam keluarga daripada menjadi pribadi yang sempurna. Film My Stupid Boss (2016) tentang mencari sisi positif dari tokoh yang menyebalkan. Apa yang hendak disampaikan DSC sebagai film? Berdakwah di jalan? Berkontribusi pada masyarakat? Penting dan bahagianya memakai jilbab?

Tidak hanya saya yang bingung, DSC juga bingung. Menjelang akhir film, terjadi dua kematian tokoh utama secara beriringan, Gagah dan Gita. Begitu saja, Gagah meninggal setelah terluka parah akibat serangan preman. Serangannya seperti apa? Tidak tahu. Pokoknya tiba-tiba kritis. Berbekal bom molotov dan batu-bata, seorang pemuda tegap terluka parah. Setelah Gagah meninggal, tiba-tiba kita dibawa lagi ke Maluku untuk melihat Yudi yang telah berkeluarga dengan .... Nadia. Lho, bukannya Gita? Eits, Gita sudah meninggal. Kenapa? Menurut Yudi sih, dia meninggal saat melahirkan anak keduanya dengan Yudi. Gita wafat, Yudi nikah dengan Nadia (kira-kira demikian). Masih jadi misteri mengapa hidup Gita di film ini "disingkirkan" begitu saja, pun makna kematian ia dan kakaknya pun bagi saya kurang jelas untuk perkembangan film. Apakah ada maksud tertentu? Apa ada simbol tertentu? Kematiannya terasa begitu "sia-sia".

Selain premis, ada aktor dan aktris di dalam film yang perlu kita apresiasi karena setidaknya mampu living up skenario yang terkesan kaku, walaupun akhirnya mereka tidak bisa tampil maksimal. Pemain film yang sudah kita kenal seperti Mathias Muchus dan Wulan Guritno dengan porsi akting yang sedikit, serasa tak mampu bersinar. Pemeran Gagah, Yudi, dan beberapa pemuda dan pemudi lain tampil dengan wajah yang menarik ditambah dialog yang aneh, menjadikan tak satupun dari mereka standout bagi saya. Sekadar eye candy saja. Pemeran Gita di film ini sungguh beruntung karena si penulis tidak memberikan kalimat-kalimat "langit" padanya dan membiarkannya berakting selayaknya remaja biasa. Gita (dan sang Mama), kelihatannya merupakan beberapa karakter yang terlihat normal bagi saya.



Selain departemen-departemen inti, di departemen teknis macam sinematografi dan musik, saya merasa tidak ada masalah dengannya. Suguhan teknikal yang membantu kita menikmati lanskap Maluku dan musik yang membantu kita memahami suasana tiap adegan, berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun untuk musik, saya merasa suguhan orkestra Praha (menurut artikel di Republika) untuk film ini terasa agak berlebihan dengan pakem "musik di setiap kejadian", tapi memang ini latah dalam eksekusi film drama, sehingga setidaknya untuk departemen teknis, kita harus mengapresiasi betul sinematografi yang membuat saya mau ke Maluku. Saya juga suka teknik editing di beberapa adegan, terutama saat Gagah dilempari bom molotov, kilas balik yang digunakan benar-benar on point sehingga kita merasa betul akan emosi si Gagah.

Dalam menyimpulkan pendapat saya untuk film ini, saya tak mau terlalu menuntut untuk sebuah film, yang notabene diproduksi nyaris indie. Namun, saya hanya ingin menempatkan sesuatu sebagaimana mestinya. Film ini adalah film dakwah, dan jelas ia ingin menyampaikan kebenaran dan kata mutiara pada seluruh penonton. Masalahnya timbul karena film ini terlalu bersemangat untuk itu dan melupakan ia mempunyai cerita. Atau itu tujuannya? Cerita hanya digunakan untuk menyampaikan kata-kata mutiara? Banyak film-film kecil yang simpel dan kuat secara cerita dan karakter, kok. Lantas mengapa DSC tidak?



Akhirnya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, DSC adalah film dakwah yang sebenarnya punya potensi untuk menjadi film yang baik. Saya paham film adalah media untuk menyalurkan ambisi dan visi, namun bila ingin menyalurkan, setidaknya buatlah film tersebut dengan alur cerita yang baik, buat karakter yang membumi, dan sadari bahwa tidak semua orang hendak menonton film karena murni sesuai ideologi, melainkan cerita dan eksekusi yang baik.

Alkisah, saat film selesai, adik saya masih terduduk di kursinya saat orang-orang mulai beranjak pergi. Ia masih terduduk sambil bertopang dagu.

"Ngapain lagi? Ayo pulang," ujar saya
"Bentar. Aku masih coba memproses film ini di otak,"

Saat kami keluar bioskop, saya melintasi poster Pengabdi Setan yang tahan tayang di bioskop selama sebulan. Saya menunjuk poster itu dan adik saya langsung menyanyi,

"Di kesunyian malaam ini .."

Saya langsung ingat segala meme tentang Ibu di Pengabdi Setan, dan teringat kata-kata sang sutradara Joko Anwar, yang intinya, bahwa untuk membuat film yang diingat, kita perlu membuat penonton merasa "ini film kita". Saya rasa kata-katanya tidak sepenuhnya betul, karena setidaknya sebelum membuat penonton merasa bahwa "ini film kita", harus muncul kalimat "ini film bagus" bukan? DSC dalam promonya telah susah payah meng-"ini film kita"-kan film ini di media sosial, tapi mungkin itu belum cukup.

Lalu kami berjalan melewati poster Duka Sedalam Cinta di sebelahnya, memutuskan melirik nama-nama di dalam poster. Kami melihat nama penulis skenario dan sutradaranya, mengernyit dan melengos, lalu pergi ke tempat parkir.

NB. Kehadiran Habiburrahman El-Shirazy sebagai syariah consultant di kredit film sungguh mengejutkan, mengingat DSC tidak turut menambahkan job description-nya sebagai script consultant yang sangat dibutuhkan film ini.

*All pictures were taken from free, promotional content provided by YouTube and DSC website.

Kamis, 20 April 2017

[REVIEW] The Guys (2017)

SINOPSIS

Para karyawan perusahaan iklan yang juga satu kontrakan: Alfi, Aryo, Rene, dan kawan ekspat dari Thailand, Sukun, bersahabat dalam mendapatkan kebahagiaan di tengah kesibukan mereka bekerja, juga kesibukan mencari cinta. Alfi yang bermimpi menjadi bos, terlibat asmara dengan rekan sekantornya Amira, yang ternyata anak bosnya sendiri, Pak Jeremy. Lebih naas lagi, saat pak Jeremy justru jatuh cinta dengan ibu Alfi. Berhasilkan Alfi mendapatkan cita dan cintanya?

RATING

13 tahun ke atas

REVIEW

Raditya Dika merupakan salah satu penulis favorit saya semasa remaja. Imajinasi-imajinasi liar yang diciptakannya di dalam buku-buku, termasuk salah satu alasan mengapa saya bisa terpingkal-pingkal dengan kelucuannya. Ia juga laris sebagai penulis buku dan komedian, terutama setelah pertunjukan komedi tunggal (stand up comedy) menjadi terkenal di Indonesia. 

Saya sendiri sama sekali tidak ada masalah dengan karya-karyanya. Meskipun bibliografinya tidak pernah cenderung bergeser dari tema-tema cinta dan premis pencarian jati diri anak muda, setidaknya Dika mampu mencari banyak sisi lain dari kemampuannya dalam mengolah naskah untuk mengocok perut siapapun yang menikmatinya. Dari deretan filmografinya pun, Dika yang sangat terlibat dalam penggodokan naskah dan akting, nampak oke-oke saja membawakan karakternya - dia sendiri. Jadi, secara keseluruhan, secara sungguh-menyungguh, saya tidak memiliki kecenderungan apapun terhadapnya.

Saya nonton filmnya beberapa kali, dan saya mengakui bahwa kelucuan itu ada, walaupun begitu film-film Dika (juga film-film komedi Indonesia) belum banyak menyentuh selera saya. Tentu, sekali lagi ini bukan masalah kualitas, melainkan selera penonton. Penonton bisa tembus berjuta-juta, namun suka atau tidaknya terhadap karya merupakan soalan sendiri. 

Kali ini, saya menonton film The Guys karena kebetulan hari libur dan orang-orang rumah juga berkenan nonton bersama. Atas inisiasi adik, saya pun menonton film ini. Well, film ini berdurasi 115 menit dan komedi tanpa saya bisa menerka alurnya seperti apa. Bahkan jujur, setelah menonton cuplikan resminya, saya masih bertanya-tanya juga film ini akan seperti apa. Akhirnya, saya terkejut.

Saya terkejut karena ini pertama kalinya saya merasa bosan menonton film bioskop.

115 menit yang disajikan lewat rumah produksi Soraya Intercine ini memang menyajikan cerita yang ringan sekaligus idealis, namun saya tidak menyangka cerita itu begitu ringan, sehingga saya nyaris melupakan rentetan ceritanya saat film akan berakhir.

Di saat pertama, saya mendapati banyak kelucuan-kelucuan ala Raditya Dika di dalam adegannya, dan saya tidak mengelak bahwa itu lucu. Namun, perlahan ada sesuatu yang sangat aneh saya rasakan. Sesuatu yang tak bisa membuat film ini mampu saya nikmati secara utuh.

Saya mencoba melanjutkan menonton dengan fokus pada bagian lain, seperti departemen teknis dan naskah. Musik EDM yang sedikit dominan di film ini menjadi salah satu poin plus, namun lagi-lagi kejanggalan kembali hadir dalam perasaan saya. Kejanggalan ini, jujur saja, semakin menguat di akhir film, yang akhirnya karena bingung, saya sibuk berpikir apa yang salah. Saya tak benar-benar menonton untuk hiburan, justru melihat benar-benar setiap adegan hingga akhir.

Akhirnya pun saya keluar sebelum penayangan sampai di menit terakhir.

Meskipun demikian saya sudah mengetahui jawabannya.

Jawaban dari kejanggalan yang saya rasakan adalah, bahwa film ini memiliki plot seperti naskah komedi tunggal. Ini hipotesis, asumsi, dan teori sekaligus. Namun, sejauh ini jawaban ini merupakan jawaban terjitu untuk mengungkapkan kebingungan yang saya hadapi selama film diputar.

Kejanggalan itu pertama tampil saat adegan geng laki-laki ini makan siang. Adegannya oke-oke saja, namun bagaimana dialog-dialog diucapkan dan topik-topik pembicaraan digulirkan, saya merasa betul naskahnya tidak membumi. Formula komedi yang saya tahu dari pertunjukan komedi ala Jepang, Owarai, adalah dengan menampilkan dua elemen, boke dan tsukkomi. Boke adalah peran bodoh, sementara tsukkomi akan membalas perilaku dan ucapan yang diberikan boke. Respon tsukkomi dan kebaruan boke merupakan intisari komedi.

Menggunakan pisau analisis itu, saya merasa dialog The Guys diciptakan dari ke-boke-an Sukun yang masih sulit berbahasa Indonesia, dan dibalas dengan tsukkomi anggota geng yang lain. Formula ini setidaknya diterapkan beratus-ratus kali dengan mengandalkan kesalahpahaman satu orang dengan orang lain hingga saya jengah dan muntab menghadapinya.

Kejanggalan berikutnya yang tampil adalah banyaknya subplot yang dimuntahkan oleh film ini. Ada kisah persahabatan, ada kisah pendekatan, ada kisah cinta orangtua, dan ada kisah dua cinta yang harus dikorbankan. Subplot yang ada sebenarnya bisa-bisa saja bergabung, namun tidak ada sama sekali yang membekas. Subplotnya persis sinetron, episode 1 menuju akhir A, lalu dari akhir A ada 5 intrik yang dikupas dalam sepuluh episode. Ketiadaan plot utama yang kuat, membuat saya malas menonton, karena menjelang akhir, sangat tampak naskah hanya ingin mengentaskan kewajibannya menyelesaikan seluruh subplot yang ada dan menciptakan rangkaian penutup kisah yang terjadi berkali-kali di akhir film. Contohnya, setelah Alfi dan Amira berpelukan, muncul kisah geng laki-laki ini ke bandara, dan muncul kisah Alfi dan ibunya.

Adalah sah dan boleh bila naskah tampil demikian, karena toh semua subplot tidak benar-benar bertabrakan. Namun, eksekusi yang dibuat film ini tidak menghasilkan subplot itu padu, melainkan seperti saling sikut di pikiran saya untuk memperebutkan siapa yang paling bisa diingat. Ini persis yang saya rasakan tiap menonton komedi tunggal di televisi. Sang komedian pindah dari satu tema ke tema yang lain, dan membuat saya tertawa, namun tak bisa menerima pertunjukan tersebut sebagai satu pertunjukan yang utuh.

Kejanggalan berikutnya, dan yang menurut saya paling parah, adalah bagaimana film ini berusaha untuk mengekspos pencarian jati diri Alfi. Sebenarnya biasa saja, menampilkan Alfi yang semangat menjadi bos. Namun, pembawaan Alfi di dalam subplot ini sedemikian berbeda dengan Alfi di subplot yang lain, dan jujur (untuk kesekian kalinya dalam review ini), Alfi tampak bagaikan kembaran Alfi yang hidup di dunia lain. Alfi yang ini tanpa malu-malu merusak hasil emosi yang diciptakan dari adegan subplot sebelumnya dan tiba-tiba membuat perilaku acak, yang sama sekali berbeda dan membingungkan saya. Contohnya, setelah adegan cinta-cintaan, tiba-tiba Alfi mengundurkan diri. Saya mengernyit tak habis pikir apa maunya film ini.

Di akhir film, nampaknya Alfi can settle his life, tapi yang nampak di hadapan saya adalah sebuah kehidupan pemuda dengan kepribadian ganda yang mencoba untuk memberikan arti kehidupannya dalam waktu 115 menit. Itu gagal, dan saya merasa sayang mengingat punggawa film ini adalah Raditya Dika. 

Sebenarnya, subplot-subplot yang asal muncul ini merupakan salah satu masalah, dan bahkan menjadi jualan di era film Warkop DKI (yang juga diproduseri Soraya juga). Dono Kasino Indro bisa saja dari satpam, lalu ke pantai, lalu ke pesta. Perbedaannya, Warkop DKI tampil dengan eskpose komedi slapstick yang menjadi andalan, sehingga mau bagaimanapun absurd ceritanya, Warkop DKI akan tetap tampil di dalam satu film sebagai kumpulan sketsa kocak asal 80-an. Namun, untuk The Guys, masalah terbesarnya adalah dengan keinginan ekspose adegan humor, masih merasa perlu untuk gigih menyelesaikan ceritanya. Kekonyolan yang membuat saya terpingkal-pingkal (seperti adegan Alfi dan Pak Jeremy menyaksikan film ciuman bersama), menjadi kilas yang saya ingat, namun tidak untuk seluruh film.

Saya merenung lagi kala menulis tulisan ini, akankah The Guys jauh lebih baik ketika ia menerjemahkan naskahnya menjadi satu rangkaian tanpa subplot yang diiris dan diacak di 115 menit penampilannya? Saya rasa tidak juga, karena dari awal konsep tentang tokoh Alfi yang saya dapatkan adalah pemuda yang sebagaimana pemuda lainnya, memiliki keinginan untuk berhasil dalam segala aspek hidupnya. Hanya saja, sayang film ini mencoba terlalu kuat.

Jadi kesimpulannya, ini bukan performa Raditya Dika yang terbaik, namun saya masih dapat memberikan toleransi. Setidaknya, as long it's free, saya akan kembali menyaksikan filmnya.

N.B.

Film ini juga mempunyai banyak stok kalimat awkward yang saya hampir yakin di dunia ini kalimat tersebut tak mungkin diucapkan. Stok kalimat bromance yang ditaburkan dan diaduk di sepanjang film, juga ungkapan exaggerating tentang hubungan orangtua anak yang diucapkan, membuat saya keheranan dari mana dialog ini dibuat, dan bagaimana dialog ini tak bisa nampak senatural mungkin. Mungkin ada pada pengarahan akting dan aktingnya sendiri, atau mungkin juga naskah. Tapi saya merasa saya terlalu banyak memprotes film ini, jadi setidaknya saya akan lupakan.