Kamis, 13 Mei 2010

The Uninvited (2009)


Film The Uninvited adalah salah satu film favorit penggemar Emily Browning (like me :D) karena Browning benar-benar menguras seluruh aktingnya disini, sayangnya filmnya sendiri tidak sedemikian bagus. Sutradaranya, The Guard Brothers yang tahun 2008 baru menelurkan direct-to-video remakenya April Fools Day dipanggil oleh duo produser film sukses yaitu Parkes/MacDonald yang tahun 2009 baru membuat logo baru mereka untuk menyutradarai sebuah remake lagi. Kali ini mereka berani mengusung horor pada bulan awal tahun, yang mana sering dianggap kurang pas sebagai tanggal rilis film horor karena bulan awal tahun masih berkisar di komedi-drama keluarga. Dan, tentu aja film ini tidak sesukses The Ring.

Yep, Emily Browning yang sekarang lagi dalam pembuatan film Sucker Punch di film ini bermain sebagai Anna, (lupa, Anna Morgan dari The Ring ato Anna Wilkes dari Misery) yang dikirim ke rumah sakit jiwa karena gangguan mentalnya yang cukup membuat disturbing keluarganya. Anna sendiri menyebabkan gangguan mental itu karena menyaksikan ibunya meninggal terbakar di rumah kabin, dan lebih shocknya lagi, ternyata ayahnya lagi bercinta dengan perawat istrinya sendiri, Rachel (Elizabeth Banks) saat kejadian itu di rumah inti. Setelah beberapa lama dirawat, Anna dijemput ayahnya untuk pulang (tanpa ayahnya  cukup sadar bahwa anaknya adalah mantan penghuni RSJ) dan Anna disambut di rumah oleh kakaknya Alex, yang sedang bersitegang dengan sang ayah karena sebal akan pilihan ayahnya untuk istri baru, yaitu Rachel. Jadilah, karena Anna dan Alex terlalu curiga sama Rachel, mereka berdua mulai nggratak isi lemari dan laci Rachel (they found vibrator ! omg...) dan yakin tujuan Rachel ke rumah itu tidak sekadar untuk menjadi seorang istri, melainkan untuk membunuh seseorang...

Kembali ke Emily Browning. Emily Browning adalah aktris wanita yang berhasil mempertahankan muka kalemnya selama berjuang di Hollywood. Bayangkan saja, belakangan ini film-film yang ada wanitanya pasti all of the girls are bitches! Mereka dengan santainya membuka penutup dada mereka dan mulai merayu seorang hunks. Tapi Browning beda, dia punya wajah seorang final girl dan seharusnya film slasher dimasa mendatang akan membuat Browning sebagai seorang scream queen, dan bukannya terus memilih Scout Taylor-Compton yang totally bitch itu. Wanita pirang itu di Halloween II terus-menerus berkata f-word disetiap kalimatnya dengan penuh penghayatan.

Oke, dua paragraf full Emily Browning udah cukup. Sekarang we back to the suck movie. Film ini dengan sangat kurang ajar mencomot ide film horor yang lebih dahulu rilis. Paling enggak semua film (nggak hanya horror) punya satu memorable scene. Misalkan Titanic dengan adegan anjungan kapal yang terkenal itu, atau The Shining dengan mendobrak pintu dengan kapak, atau Scream yang selalu tiap kali ada telepon, kamera selalu insert ke telepon ntu. Nah, film ini nggak punya sama sekali hal yang bisa dibanggain kecuali akting Emily Browning. Elizabeth Banks dengan konyolnya selalu terlihat bertampang campur aduk antara antagonis dan protagonis, membuat wajahnya jadi ngga karuan. Lalu sang ayah, siapapun pemainnya, lebih suka untuk tidak mencuri setiap adegan yang ada dianya dan dengan sukarela memberikannya kepada karakter lain, itu berarti antara Browning, Kebbel, atau Banks. Sang kakak, Alex, terlalu sibuk untuk bergerak sangat aktif kesana-kemari tanpa adanya jeda untuk diem sejenak, dengan sukses dia terpilih menjadi bitch in this movie. Apalagi setiap katanya yang berusaha untuk menjadi the next Scout Taylor-Compton, ya, dia memulai mengeluarkan profanity yang kurang sopan (minus kata-kata c-,b-,f-,d- word) plus pakaiannya yang sangat simple dan kita bisa menghakimi dengan mudah kalau wanita ini jarang mandi.

                                 Pakaian yang dipakai Alex adalah pakaian 2 of 2 di film ini....

Dari awal hingga 30 menit terakhir, film ini hanya berisi sebuah plot tipis yang dibumbui banyak subplot kematian untuk menambahkan durasi flashback nya. Para pembuatnya tidak berusaha cukup keras memaksimalkan kekuatan akting Browning dan justru memberikan banyak subplot menggelikan yang justru membuat The Uninvited menjadi sangat drama seperti The Ring. Bedanya, film The Ring berhasil membawa atmosfer horor drama yang solid perlahan-lahan, tapi film ini justru memutar-mutar tanpa ada isi sama sekali. Makanya film ini tidak punya Unrated Directors' Cut, durasinya yang 87 menit saja sudah cukup membosankan dan pointless, bagaimana kalau 100 menit ? Sudah begitu, selain ditambah faktor skenario dan akting figuran, musik karya Christopher Young sangat berbeda jauh dengan Drag Me to Hell karya Sam Raimi yang mana Young berhasil membawa kembali musik klasik horor, tapi di film ini ia hanya sedikit menambahkan apa yang telah Hans Zimmer dan ia sendiri lakukan dalam The Grudge

Karena film berjalan membosankan, anda mungkin tidak akan peduli lagi dengan twist nya yang ternyata bahwa Anna adalah sang penjahat sesungguhnya dan kakaknya sudah mati... Oh, spoiler ya ? Jangan salahkan saya, salahkan film ini yang membuat saya rela memberikan kejutannya karena untuk mencapai tahap ending, Emily Browning sudah ikut terpengaruh dalam akting lawan pemainnya, musik sudah standar, flashback ditampilkan, dan The Guard Brothers dengan bodohnya tidak seperti Wes Craven yang berhasil mengimpasi kebosanan ditengah film dengan eksekusi akhir yang gemilang. The Guard Brothers, sebaiknya anda kembali menjadi First Assistant Director seorang sutradara macam John Carpenter atau Dario Argento, esok-esok ketika kalian sudah siap, kalian boleh mencoba lagi dan saat itu, nasib kalian akan ditentukan...

2 of 5


RED EYE


Pada dasarnya Wes Craven dulunya cuma seorang sutradara yang diprediksi bakal jadi the next George A. Romero, yakni membuat sebuah genre baru, tapi akhirnya Craven cuma bakal jadi follower genre yang dibikinnya sendiri. Kayak Romero yang sampe sekarang menelurkan film-film zombie yang walaupun dianggap berkualitas, tapi pendapatannya kurang mujur karena stereotipisme (what?) yang memuakkan. Khusus pecinta gore, pasti demen ama sutradara lansia ini.

Well, seenggaknya Craven berhasil membuktikan dengan seringnya berganti sub-horror dalam filmografinya yang udah bejibun. Mulai dari film rape and revenge yang dengan sukses di banned di belasan negara, terus gore and revenge di The Hills Have Eyes, akhirnya dia melahirkan karya puncaknya, apa lagi kalo bukan A Nightmare on Elm Street, salah satu serial slasher paling kondang setelah Myers dan Voorhees. Dalam kronologi dari film perdana Freddy Krueger itu sampai Scream, sesungguhnya dipandang sebelah mata karena pembuatan yang jujur saja, cukup asal-asalan, tapi Craven punya taste tersendiri dalam mengelola filmnya yang sebenarnya ancur jadi worthy-watch. Dan diantara 1984-1996, cuma Wes Craven's New Nightmare yang paling berkesan, mungkin karena unsur satirenya yang gak bisa ditolerir lagi.

Di tahun 2005 saat Hollywood SANGAT demen sekali beralih ke horror asia (The Ring dan The Grudge) Craven masih mempertahankan gaya directing nya, yakni American Horror yang klasik. Tahu genre yang paling ia kuasai mulai tertindas di negeri sendiri (persis banget kondisinya dengan horror indonesia yang terjerumus dalam esek-esek horror), Craven memutuskan untuk menyutradarai film berselera very intense thriller layaknya film Jan de Bont tahun 90-an, Speed. Film itu adalah Red Eye yang dikatakan oleh distributornya sebagai "suspense-thriller at 30,000 feets".


Lisa Reisert adalah manager yang baik untuk dicontoh di dunia perhotelan, baik, ramah, dan cepat dalam bekerja dan mengambil keputusan. Kini ia sedang berada di Dallas untuk menghadiri pemakaman neneknya yang berumur seabad kurang sembilan. Setelah beberapa saat menunggu pesawat di bandara untuk segera pergi ke Miami, tempat hotel dan rumahnya berada, ia harus menunggu beberapa jam karena pesawat tersebut di delayed. Karena itu, ia bertemu dengan seorang pria baik bernama Jackson Rippner yang ternyata sebangku dengan Lisa di pesawat. Setelah terbang diketinggian 30,000 kaki untuk menghindari turbulensi, Jackson menyatakan maksudnya. Dia adalah seorang head-operator dari rencana pembunuhan seorang Menteri Keamanan Negara bernama Keefe yang berencana menginap di hotel Lisa. Tugas Lisa adalah menelepon di pesawat ke hotel untuk memindahkan kamar Keefe ke dekat laut agar memudahkan ditembak para pembunuhnya. Apabila Lisa tidak mau bekerjasama, sang ayah akan dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran yang menunggu didepan rumah sang ayah, tinggal menunggu telepon dari Jackson. Lisa harus memperjuangkan kehidupan di daratan dengan sebuah telepon pesawat, dan waktu pendaratan pesawat itu.

Oke, sebenarnya sinopsis itu bisa dipersingkat menjadi tiga kalimat (seperti yg tertera di boks VCD-nya) tapi ceritanya cukup ribet untuk dijelasin karena semuanya berkaitan. Menonton Red Eye sama seperti nungguin giliran kencing di toilet umum. Anda tidak bisa segera menuntaskan keinginan anda karena ada pembatas yang tipis diantara kita. Red Eye adalah sebuah thriller yang berlokasi sempit, dengan rencana setting seperti itu, para kru udah tau ini film akan dengan gampang mengarah pada dua kejadian: membosankan banget atau rada-rada seru. Dan Red Eye celakanya mempunyai dua kejadian tersebut. Dipesawat, anda tidak akan mendapatkan apapun kecuali dialog intens yang simpel tapi pointless. Sedikit kekerasan dalam pesawat akan menghibur anda. 

Di timing seperti itu, rasanya akan gatal memencet tombol FF di remote agar hasilnya cepet ketauan (karena keinginan Jackson bahkan udah disampein di sinopsis, jadi butuh apalagi ?) dan tentunya cepet pergi dari adegan pramugari blonde yang bodoh. Sementara di daratan, movie has begun. Filmnya menjadi MENEGANGKAN ketika ada di daratan, dimana Lisa mulai beraksi ala Bond women tanpa Bond itu sendiri, segala kecerdikannya saat bekerja di hotel anehnya bisa memacu Lisa menusuk leher orang, mencuri handphone dan mobil, dan menabrak seorang pria berdasi. Disaat itulah semuanya menjadi real, tapi justru karena bagusnya adegan daratan membuat adegan di pesawat tidak cukup berarti untuk diingat. Juga karena tokoh Jackson yang menjadi lemah di menjelang akhir film, jadi, keputusannya adalah kebodohan sekelompok teroris yang menyewa seorang pelaksana rencana semacam Jackson. 

Apakah intinya ? Film Red-Eye adalah sebuah film yang mempunyai pacuan ketegangan yang bagus, tetapi dialog dan satu karakter inti yang lemah membuat alur film yang intens menjadi rusak sebagian. Lain kali sewalah perencana pembunuhan seperti Phillipe Nahon di Haute Tension plus Anthony Hopkins di The SIlence of the Lambs, jadinya rencana anda menjadi lebih lancar dan rapih. Wahai tuan Jackson Rippner, lain kali bawalah sumsum tulang belakang anda di pesawat, nangkep refleks cewek aja gak bisa.

3 of 5

Selasa, 11 Mei 2010

Link Exchange

untuk tukar link banner....silahkan copy code di bawah ini.

  



atau jika hanya sekedar tukar link tanpa banner.silahkan konfirmasi dengan komentar di posting ini.thx!