Kamis, 20 April 2017

[REVIEW] The Guys (2017)

SINOPSIS

Para karyawan perusahaan iklan yang juga satu kontrakan: Alfi, Aryo, Rene, dan kawan ekspat dari Thailand, Sukun, bersahabat dalam mendapatkan kebahagiaan di tengah kesibukan mereka bekerja, juga kesibukan mencari cinta. Alfi yang bermimpi menjadi bos, terlibat asmara dengan rekan sekantornya Amira, yang ternyata anak bosnya sendiri, Pak Jeremy. Lebih naas lagi, saat pak Jeremy justru jatuh cinta dengan ibu Alfi. Berhasilkan Alfi mendapatkan cita dan cintanya?

RATING

13 tahun ke atas

REVIEW

Raditya Dika merupakan salah satu penulis favorit saya semasa remaja. Imajinasi-imajinasi liar yang diciptakannya di dalam buku-buku, termasuk salah satu alasan mengapa saya bisa terpingkal-pingkal dengan kelucuannya. Ia juga laris sebagai penulis buku dan komedian, terutama setelah pertunjukan komedi tunggal (stand up comedy) menjadi terkenal di Indonesia. 

Saya sendiri sama sekali tidak ada masalah dengan karya-karyanya. Meskipun bibliografinya tidak pernah cenderung bergeser dari tema-tema cinta dan premis pencarian jati diri anak muda, setidaknya Dika mampu mencari banyak sisi lain dari kemampuannya dalam mengolah naskah untuk mengocok perut siapapun yang menikmatinya. Dari deretan filmografinya pun, Dika yang sangat terlibat dalam penggodokan naskah dan akting, nampak oke-oke saja membawakan karakternya - dia sendiri. Jadi, secara keseluruhan, secara sungguh-menyungguh, saya tidak memiliki kecenderungan apapun terhadapnya.

Saya nonton filmnya beberapa kali, dan saya mengakui bahwa kelucuan itu ada, walaupun begitu film-film Dika (juga film-film komedi Indonesia) belum banyak menyentuh selera saya. Tentu, sekali lagi ini bukan masalah kualitas, melainkan selera penonton. Penonton bisa tembus berjuta-juta, namun suka atau tidaknya terhadap karya merupakan soalan sendiri. 

Kali ini, saya menonton film The Guys karena kebetulan hari libur dan orang-orang rumah juga berkenan nonton bersama. Atas inisiasi adik, saya pun menonton film ini. Well, film ini berdurasi 115 menit dan komedi tanpa saya bisa menerka alurnya seperti apa. Bahkan jujur, setelah menonton cuplikan resminya, saya masih bertanya-tanya juga film ini akan seperti apa. Akhirnya, saya terkejut.

Saya terkejut karena ini pertama kalinya saya merasa bosan menonton film bioskop.

115 menit yang disajikan lewat rumah produksi Soraya Intercine ini memang menyajikan cerita yang ringan sekaligus idealis, namun saya tidak menyangka cerita itu begitu ringan, sehingga saya nyaris melupakan rentetan ceritanya saat film akan berakhir.

Di saat pertama, saya mendapati banyak kelucuan-kelucuan ala Raditya Dika di dalam adegannya, dan saya tidak mengelak bahwa itu lucu. Namun, perlahan ada sesuatu yang sangat aneh saya rasakan. Sesuatu yang tak bisa membuat film ini mampu saya nikmati secara utuh.

Saya mencoba melanjutkan menonton dengan fokus pada bagian lain, seperti departemen teknis dan naskah. Musik EDM yang sedikit dominan di film ini menjadi salah satu poin plus, namun lagi-lagi kejanggalan kembali hadir dalam perasaan saya. Kejanggalan ini, jujur saja, semakin menguat di akhir film, yang akhirnya karena bingung, saya sibuk berpikir apa yang salah. Saya tak benar-benar menonton untuk hiburan, justru melihat benar-benar setiap adegan hingga akhir.

Akhirnya pun saya keluar sebelum penayangan sampai di menit terakhir.

Meskipun demikian saya sudah mengetahui jawabannya.

Jawaban dari kejanggalan yang saya rasakan adalah, bahwa film ini memiliki plot seperti naskah komedi tunggal. Ini hipotesis, asumsi, dan teori sekaligus. Namun, sejauh ini jawaban ini merupakan jawaban terjitu untuk mengungkapkan kebingungan yang saya hadapi selama film diputar.

Kejanggalan itu pertama tampil saat adegan geng laki-laki ini makan siang. Adegannya oke-oke saja, namun bagaimana dialog-dialog diucapkan dan topik-topik pembicaraan digulirkan, saya merasa betul naskahnya tidak membumi. Formula komedi yang saya tahu dari pertunjukan komedi ala Jepang, Owarai, adalah dengan menampilkan dua elemen, boke dan tsukkomi. Boke adalah peran bodoh, sementara tsukkomi akan membalas perilaku dan ucapan yang diberikan boke. Respon tsukkomi dan kebaruan boke merupakan intisari komedi.

Menggunakan pisau analisis itu, saya merasa dialog The Guys diciptakan dari ke-boke-an Sukun yang masih sulit berbahasa Indonesia, dan dibalas dengan tsukkomi anggota geng yang lain. Formula ini setidaknya diterapkan beratus-ratus kali dengan mengandalkan kesalahpahaman satu orang dengan orang lain hingga saya jengah dan muntab menghadapinya.

Kejanggalan berikutnya yang tampil adalah banyaknya subplot yang dimuntahkan oleh film ini. Ada kisah persahabatan, ada kisah pendekatan, ada kisah cinta orangtua, dan ada kisah dua cinta yang harus dikorbankan. Subplot yang ada sebenarnya bisa-bisa saja bergabung, namun tidak ada sama sekali yang membekas. Subplotnya persis sinetron, episode 1 menuju akhir A, lalu dari akhir A ada 5 intrik yang dikupas dalam sepuluh episode. Ketiadaan plot utama yang kuat, membuat saya malas menonton, karena menjelang akhir, sangat tampak naskah hanya ingin mengentaskan kewajibannya menyelesaikan seluruh subplot yang ada dan menciptakan rangkaian penutup kisah yang terjadi berkali-kali di akhir film. Contohnya, setelah Alfi dan Amira berpelukan, muncul kisah geng laki-laki ini ke bandara, dan muncul kisah Alfi dan ibunya.

Adalah sah dan boleh bila naskah tampil demikian, karena toh semua subplot tidak benar-benar bertabrakan. Namun, eksekusi yang dibuat film ini tidak menghasilkan subplot itu padu, melainkan seperti saling sikut di pikiran saya untuk memperebutkan siapa yang paling bisa diingat. Ini persis yang saya rasakan tiap menonton komedi tunggal di televisi. Sang komedian pindah dari satu tema ke tema yang lain, dan membuat saya tertawa, namun tak bisa menerima pertunjukan tersebut sebagai satu pertunjukan yang utuh.

Kejanggalan berikutnya, dan yang menurut saya paling parah, adalah bagaimana film ini berusaha untuk mengekspos pencarian jati diri Alfi. Sebenarnya biasa saja, menampilkan Alfi yang semangat menjadi bos. Namun, pembawaan Alfi di dalam subplot ini sedemikian berbeda dengan Alfi di subplot yang lain, dan jujur (untuk kesekian kalinya dalam review ini), Alfi tampak bagaikan kembaran Alfi yang hidup di dunia lain. Alfi yang ini tanpa malu-malu merusak hasil emosi yang diciptakan dari adegan subplot sebelumnya dan tiba-tiba membuat perilaku acak, yang sama sekali berbeda dan membingungkan saya. Contohnya, setelah adegan cinta-cintaan, tiba-tiba Alfi mengundurkan diri. Saya mengernyit tak habis pikir apa maunya film ini.

Di akhir film, nampaknya Alfi can settle his life, tapi yang nampak di hadapan saya adalah sebuah kehidupan pemuda dengan kepribadian ganda yang mencoba untuk memberikan arti kehidupannya dalam waktu 115 menit. Itu gagal, dan saya merasa sayang mengingat punggawa film ini adalah Raditya Dika. 

Sebenarnya, subplot-subplot yang asal muncul ini merupakan salah satu masalah, dan bahkan menjadi jualan di era film Warkop DKI (yang juga diproduseri Soraya juga). Dono Kasino Indro bisa saja dari satpam, lalu ke pantai, lalu ke pesta. Perbedaannya, Warkop DKI tampil dengan eskpose komedi slapstick yang menjadi andalan, sehingga mau bagaimanapun absurd ceritanya, Warkop DKI akan tetap tampil di dalam satu film sebagai kumpulan sketsa kocak asal 80-an. Namun, untuk The Guys, masalah terbesarnya adalah dengan keinginan ekspose adegan humor, masih merasa perlu untuk gigih menyelesaikan ceritanya. Kekonyolan yang membuat saya terpingkal-pingkal (seperti adegan Alfi dan Pak Jeremy menyaksikan film ciuman bersama), menjadi kilas yang saya ingat, namun tidak untuk seluruh film.

Saya merenung lagi kala menulis tulisan ini, akankah The Guys jauh lebih baik ketika ia menerjemahkan naskahnya menjadi satu rangkaian tanpa subplot yang diiris dan diacak di 115 menit penampilannya? Saya rasa tidak juga, karena dari awal konsep tentang tokoh Alfi yang saya dapatkan adalah pemuda yang sebagaimana pemuda lainnya, memiliki keinginan untuk berhasil dalam segala aspek hidupnya. Hanya saja, sayang film ini mencoba terlalu kuat.

Jadi kesimpulannya, ini bukan performa Raditya Dika yang terbaik, namun saya masih dapat memberikan toleransi. Setidaknya, as long it's free, saya akan kembali menyaksikan filmnya.

N.B.

Film ini juga mempunyai banyak stok kalimat awkward yang saya hampir yakin di dunia ini kalimat tersebut tak mungkin diucapkan. Stok kalimat bromance yang ditaburkan dan diaduk di sepanjang film, juga ungkapan exaggerating tentang hubungan orangtua anak yang diucapkan, membuat saya keheranan dari mana dialog ini dibuat, dan bagaimana dialog ini tak bisa nampak senatural mungkin. Mungkin ada pada pengarahan akting dan aktingnya sendiri, atau mungkin juga naskah. Tapi saya merasa saya terlalu banyak memprotes film ini, jadi setidaknya saya akan lupakan.