Senin, 12 Januari 2015

[REVIEW]Wrong Turn 3: Left for Dead (2009)

SINOPSIS
Sekelompok anak muda yang melakukan rafting dibantai oleh Three Fingers, yang menyisakan seorang gadis bernama Alex (Janet Montgomery). Beberapa hari kemudian, sebuah bus penjara mengangkut sekawanan tahanan untuk ditransfer, mereka adalah Chavez (Tamer Hassan), Crawford (Jack Curran), Floyd (Gil Kolirin), Brandon (Tom McKay), dan Willy (Christian Contreras) yang merupakan agen samaran untuk mengeruk informasi dari Chavez. Dijaga oleh beberapa orang polisi, yakni Nate (Tom Frederic), Walter (Chucky Venn), dan Preslow (Mike Straub), mereka melewati jalan pintas untuk mempercepat perjalanan, yang kemudian dicelakai oleh sekawanan mutan. Setelah para tahanan berhasil membalik keadaan, mereka bertemu Alex. Di tengah penyanderaan dan kejaran mutan, mereka juga bertemu dengan truk pengangkut uang yang sudah hancur. Hal tersebut justru memperlambat jalan mereka, yang mungkin membuat mereka tak bisa keluar dari hutan untuk menikmati uang tersebut hidup-hidup.


RATING
Suggested MPAA rating is R for Strong graphic violence and gore, sexuality, and pervasive language throughout 

REVIEW
Hai, kembali lagi untuk bersama-sama menyimak pengalaman menonton saya di sekuel kedua (film ketiga) dari installment Wrong Turn. Dan jujur saja, saya mulai lelah dengan semua mutan ini. Kali ini kita dihadapkan pada sebuah film yang disutradarai oleh Declan O'Brien yang kelihatannya di filmografinya, spesialis dari pembuatan film-film sekuel yang tak laris, yang hanya dipasarkan via home media saja. Well, dengan faktor judul belaka dan menjual hal yang sama, produser tahu pasti mereka tak akan bisa menjaring banyak uang dari situ, sehingga pasti akan menjaring para maniak yang penasaran dan akan membeli (atau membajak atau beli online) film ini.

Film setebal 92 menit ini diawali dengan adegan pembantaian yang cukup memorable. Saya cukup mengapresiasi kegigihan sang pembuat untuk menambahkan CGI dimana-mana. Mulanya pas adegan panah-nusuk-dada-nusuk-tangan itu saya sudah membayangkan adegan yang kreatif macam di Wrong Turn 2, namun segalanya semakin parah saat ada satu orang yang dipotong tiga pakai kawat gitu. Sumpah, it's so unreal. Bahkan saya kegelian melihat hal tersebut. Ini bukan yang saya ekspetasikan dari film gore, sih. Tapi, mengingat bujet yang hanya berkisar 2 juta dolar, maka jangan banyak mengeluh, hahaha.

Kemudian, dilanjutkan dengan adegan di penjara yang panjang dan unnecessary, kita disambut pada tokoh-tokoh yang siap untuk dibantai. Jelas sih maksudnya apa, ini cuma sekadar untuk menambah body count semata. Well, kita juga diberikan kantor ranger yang juga jadi tempelan belaka. Yang kelihatannya di-casting cuma buat dibunuh saja. Dan mereka dibunuh dengan cara-cara yang menarik untuk disaksikan, sebenarnya. Namun, keberadaan CGI yang menyebalkan membuat saya jadi tak nyaman menonton. Eh, saya mengapresiasi mereka, tapi too much like Final Destination malah membuat saya makin sebel lihatnya.

Saat karakter mulai "keluar", yang paling menonjol di sini adalah Chavez. Bagi saya, dialah yang paling sungguh-sungguh untuk bermain dalam film ini. Sementara yang lain sekadar following act like others, Tamer Hassan mampu mengeluarkan gelagat dan cara bicara beneran kek bos gembong mafia yang sok kuasa, tamak, namun penuh pertimbangan yang keji. Beberapa menit saya geram dan berharap dia segera mati, yah, sesuatu yang sering kita alami ketika menonton sinetron Indonesia. Sisa dari Chavez hanyalah orang-orang yang seperti saya katakan tadi, sekadar menambal body count saja. Beberapa dari narapidana tampak berkarakter, namun bagi tokoh utama, mereka hanyalah orang-orang yang karakternya sudah didaur ulang berkali-kali-kali-kali-kali dalam film horor. Menjumpai mereka kembali dalam film ini hanya sekadar membuat legacy semata.

Lanjut ke pertengahan film, saya mulai merasa ngantuk, karena seperti gerombolan yang tersesat ini, saya juga gak ngerti harus kek gimana. Pertama mereka mengarah ke watchtower yang sudah jelas, pasti merujuk ke menara kayu yang sudah terbakar di film pertama (si Nate yang dikatakan lokal sana, ndak tau kalau watchtower itu udah endak ada). Saya yang sudah tau bosen, dong? Terlebih film ini terasa dilama-lamakan untuk sekadar menambahkan bagaimana sang pembuat film sedang membuktikan bagaimana ia bisa berpikir sadis.
Kelelahan saya "terbayar" ketika si Floyd dan Chavez itu keroyokan. Nah, akhirnya ada improvisasi juga di film ini! Saya berharap banyak sih dari plot ini, karena seakan memberi "ironi" bahwa ketika kanibal memakan sesuatu yang eksis, kita sebagai manusia beradab bahkan bisa saling memakan demi kertas. Namun, filosofi itu kudu mesti wajib saya cari sendiri. Memang sih, ketauan banget di beberapa bagian, seperti di dialog-dialog Chavez, maupun dialog Nate, terkesan bahwa mereka mencoba (atau setidaknya penulis skenarionya mencoba) untuk terlihat pintar. Yah, perlu saya kasih tahu usaha tersebut tidak berhasil.

Saya terkadang sedikit nggak suka, ketika kita dihadapkan pada satu film yang not supposed to be smart, justru mencobai hal itu. Kenapa gak mencoba enjoy sih, mengingat film yang kamu buat nih bukan sekuel dari Silence of the Lambs atau Scream, ini tuh cuma sekuel film dengan efek kekerasan yang berlebihan tanpa poin cerita yang jelas. Keberadaan "mencoba pintar" akan membuat anda seperti Shakespeare di pasar daging. Kita di sini hanya untuk daging, kenapa kamu bersua kalimat sastra?

Film pun menjadi menarik (lagi) ketika Chavez bertarung dengan Three Fingers, yang keknya berkali-kali dalam situasi terpojok di tiap film kok enggak mampus-mampus juga. Seperti di film sebelumnya, keberadaan mutan vs. orang kuat itu menarik untuk ditonton. Dan (lagi), kek yang sudah saya katakan di ulasan film kedua series ini, penonton menganggap tokoh utama adalah nyawa mereka, dan saya "menaruh" nyawa saya di Alex, yang sudah sangat jelas akan selamat.

Setelah mereka naik mobil, saya sudah nebak, nih, pasti ada "jebakan betmen" di sini. Jebakan yang muncul di akhir-akhir film. Nah, jebakan betmen sih biasanya saya tolerir, tapi setelah saya hitung-hitung, jebakan yang ada di film ini muncul kurang lebih tiga kali. Ini kayak nggak niat mau kasih film apa. Terlebih, akhir filmnya yang pas Nate jadi tamak dan mau ambil uang di truk itu, terus dibunuh Brandon, trus Brandon dibunuh Three Fingers yang padahal mukanya udah dibacok pake kait gede, sumpah. Itu bener-bener adegan yang paling enggak dibutuhkan sepanjang film.

Ya gimana ya, menurut saya ketika film udah berhasil (Alex dan Nate diselamatkan polisi), harusnya adegan udah berakhir. Saya sih menerima aja kalau mereka mati, tapi harus dengan alasan yang tepat. Halow? Nate dengan segala purity yang udah ditunjukkin selama ini, terus tiba-tiba dijelasin mau ambil uang itu rasanya nggak logis, sih. Memang rigid, tapi ya itu enggak logis.

Akhirnya, Wrong Turn 3, seperti judulnya, walaupun memiliki banyak improvement di karakter dan plotnya, namun plot yang banyak menambahkan bumbu-bumbu justru menjadikan film ini bertele-tele. Hal itu menyebabkan, mungkin film ini harus disikapi sebagaimana judulnya, left for dead.

1 komentar: