Acara reality show baru bertemakan survival tengah syuting untuk episode plot mereka. Bertajuk Apocalypse yang diproduseri oleh Mara (Alleska Palladino) dari ide sang pacar, M (Matthew Currie Holmes), syuting akan berada di sebuah hutan terpencil di West Virginia. Acara tersebut dipandu oleh mantan kolonel AL Amerika Serikat, Dale Murphy (Henry Rollins), serta yang menjadi kontestan adalah Elena (Crystal Lowe), Jonesy (Steve Braun), Amber (Daniella Alonso), Jake (Texas Battle), dan Nina (Erica Leerhsen). Setelah menanti Kimberly (yang memainkan dirinya sendiri), yang sudah dibunuh sebelumnya, maka posisi Kimberly digantikan oleh Mara. Acara yang berjalan ternyata tak seperti yang diharapkan, karena sekawanan mutan kanibal kini telah memilih target dengan baik, untuk disiapkan menjadi makan malam mereka.
RATING
MPAA rating is R for strong horror violence and gore, language, and some sexual content
REVIEW
Formula dari film pertama, apabila kita sudah menyaksikan, mungkin sudah obvious bahwa mereka akan membuat film kedua dari Wrong Turn. Dan boleh saya akui, pengalaman menonton film ini jauh lebih menyenangkan ketimbang film pertama. Padahal, film ini tidak diputar di bioskop, melainkan hanya dirilis lewat home media saja. Fyi, sekuel ini mendapat penghargaan sebagai Best Direct-to-Video Film terbaik di sebuah ajang film festival.
Sekuel ini memang pernah saya saksikan sekali dengan DVD bajakan, dan perlu diakui itu bukan pengalaman menonton yang cukup menyenangkan karena banyak kendala teknis, dan dulu rasanya banyak skip adegan-adegannya, deh. Menonton film ini (lewat unduh online) untungnya tidak demikian, karena mungkin sudah lebih siap kali, ya secara fisik dan mental, hehehe. Film ini disutradarai oleh Joe Lynch yang sering bekerjasama dengan Adam Green semisal Hatchet II, Chillerama, dan Frozen. Yang menarik, film ini sendiri bujetnya jauh lebih kecil dari film pertama, dengan durasi yang lebih panjang, lagi. Rasanya, entah perbandingan 8 juta dolar AS film pertama dan sekuel itu dihabiskan untuk apa saja.
Dari pertama, kita disajikan Kimberly (who ever she is, yang membintangi dirinya sendiri), yang dibunuh dengan sadis, tapi unik, oleh kanibal-kanibal itu. Adegan tersebut bukannya menyeramkan, namun memberi sinyal yang menyenangkan, entertaining. Terlebih, adegan selanjutnya langsung dimulai ala-ala reality show yang kelas B banget, namun tetap bisa kita ikuti, karena kita langsung berhadapan dengan karakter-karakter yang berbeda, dan ditambahi dengan sedikit dark comedy.
Film berdurasi 96 menit ini mulanya saya ragukan akan berhasil, karena saya salah tebak beberapa kali siapakah heroine di film ini. Kita punya banyak karakter yang berbeda, dan semuanya jujur saja, tidak mengundang simpati sama sekali. Mungkin itulah yang menyebabkan hingga pertengahan film, penonton tak punya "beban" yang mendalam ketika melihat mereka dibantai dengan sadis satu-persatu. Karakter yang sejatinya menjadi nyawa sang penonton justru membuat kita menanti, bagaimana ya cara mereka mati? Hal itu cukup menyenangkan, guilty pleasure, hahaha
Tatkala film berjalan tiga perempat, saya baru sadar, saya tak melakukan skip adegan yang biasa saya lakukan di film-film lain. Film ini punya caranya sendiri, entah lewat dialog menarik, atau lewat pengembangan plot yang mungkin jauh lebih bebas dari film pertama, yang membuat kita tak perlu merasa bosan. Peran mutan di sini pun tak sekadar mesin pembunuh yang memakan manusia, mutan di sini bisa dilihat punya beberapa basic nature manusia yang kelewatan, yang juga mempunyai society. Pengembangan plot tersebut sebenarnya akan "menahan" pengembangan plot di sekuel selanjutnya, tapi mungkin karena kunci cerita tentang mutan yang sudah disodorkan sedikit oleh film pertama, membuat film ini, liciknya, mampu meramu perkembangan cerita sesuai yang mereka mau, yang mungkin tak akan dimiliki oleh sekuel selanjutnya (kalau ndak mau dibilang ngawur).
Karakter yang disajikan dalam film ini pun menarik untuk ditonton. Kita tak menyaksikan sekumpulan anak muda dengan stereotip seperti yang dijelaskan dalam The Cabin in the Woods, film ini menyajikan kumpulan karakter yang tidak loveable tapi menarik untuk dilihat latar belakang dan perkembangannya. Hmm, mungkin ada sedikit "pemaksaan" ya untuk di beberapa bagian. Maksud dari pemaksaan ini banyak karakter yang sengaja dimasukkan hanya untuk menambah body counts.
Namun, hal itu menjadi tak masalah. Bujet 4 juta dolar yang dibayar 9 juta ini menyajikan spesial efek (make up effect) yang lebih menarik ketimbang film pertama. Kita bisa melihat bayi mutan, orang kebelah dua, mutan tercincang-cincang, paha wanita bakar, satu panah menembus dua mata. Hal-hal yang terlihat murah sebenarnya, namun saya yakin film ini dibuat dengan begitu fun walaupun semua efek tersebut ada yang terkesan aneh dan surreal (masak darah ada buihnya), sehingga banyaknya efek yang aneh tidak membuat kita merasa dibodohi, melainkan ingin terus melihat bagaimana film akan berjalan.
Di balik banyak kelebihan yang diberikan film ini, film yang naskahnya ditulis Turi Meyer dan Al Septien ini memiliki kelemahan, yakni plot yang menurut saya cenderung sama. Memang mereka memiliki pengembangan plot yang baik, namun pengembangan tersebut disajikan ala-ala film sekuel biasa dibuat. Sesuai ground rules yang tak pernah diciptakan, film sekuel memang rata-rata akan mengungkap banyak hal yang tidak dijelaskan dalam film pertama. Hal inilah yang diungkapkan dengan cara-cara klise oleh kreator.
Tapi... consider memang kita di sini tak diminta untuk meneliti cerita dan just have fun with some gore, kenapa kita tak mencoba jadi orang cuek dan menikmatinya? Film ini menyenangkan untuk ditonton, kok. Just it. Ia dekat dengan hakikat film slasher yang memang intinya menyajikan hal itu. Eh, tapi ini jadinya slasher atau torture porn, ya? Yah, pokoknya film ini seru lah, untuk ditonton.
Akhir kata, sekuel film horor terkadang tak menjanjikan, namun Wrong Turn 2: Dead End dengan bujet rendah dan kisah yang klise, ternyata mampu menarik perhatian dengan gore yang menyenangkan si penonton. Alhasil, sekuel ini mungkin membuktikan bahwa terkadang cara membuat film yang benar adalah: bertahan dengan apa yang penonton inginkan, dan biarlah enjoy dengan semua aturan tak tertulis yang ada. Niscaya, film horor akan menjadi film yang menyenangkan, tanpa banyak berpikir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar