Jumat, 19 November 2021

[REVIEW] The Houses October Built (2014) adalah contoh bagus dari "Jangan nilai film dari posternya"

Poster adalah salah satu elemen penting dalam promosi sebuah film. Tetapi di dunia streaming saat ini, menurut saya poster makin memegang peranan kunci. Sekalinya si poster jelek dan tidak menarik (apalagi tanpa ada pemain terkenal, aktor, atau endorsement lain), calon penonton cukup menggeser ke deretan film lain, menekan tombol back, atau berpindah ke aplikasi lain. Semudah itu. Film The Houses October Built menjadi contoh nyatanya. Saya telah beberapa kali menjumpai film ini di deretan situs dan aplikasi streaming film, baik  yang gratis maupun berbayar. Namun, poster yang meneriakkan "Ini film kelas B!" keras-keras membuat saya tak pernah tergoda untuk menontonnya.

Maksud saya, coba lihat poster ini. Objek-objek di dalamnya terlihat seperti susunan gambar yang dirangkai dengan Photoshop ditambah setan botak yang terlalu ke kanan. Judul yang sulit saya pahami (Apa coba maksudnya rumah yang dibangun oleh bulan Oktober?) makin membuat saya sulit memahami apa pesan/ide yang ingin ditawarkan oleh si poster. Alasan saya akhirnya menonton film ini pun hanya karena menjumpainya di Lionsgate Play dan karena bosan. Saat menonton, saya cukup kaget karena filmnya tidak seburuk posternya.

Film ini mengisahkan tentang sekelompok pemuda yang mengelilingi Amerika Serikat dengan mobil RV, untuk mendokumentasikan perjalanan mereka mencari atraksi rumah hantu yang paling ekstrim. Perjalanan mereka jadi menyeramkan saat mereka dikuntit oleh orang-orang berkostum hantu yang mulai melakukan apapun untuk menarik perhatian mereka.

Senin, 15 November 2021

[REVIEW] Terror Train (1980) sudah cukup meneror saya dengan pencahayaan super gelap

Jamie Lee Curtis jadi primadona para produser ketika boom film slasher atau jagal terjadi di Amerika Serikat jelang tahun 1980. Salah satu film yang berhasil menggaetnya adalah Terror Train dari studio 20th Century Fox. Sebenarnya, saat tahu kalau konsep awal sang produser tentang film ini adalah "Film Halloween di atas kereta", ia sudah menegaskan bahwa film ini tidak akan menawarkan sesuatu yang baru. Lagipula, ini slasher lho, mau dikemas dengan cara apapun, pokok ceritanya ya bunuh-bunuhan. Dengan pemikiran tersebut, saya menyaksikan film ini tanpa ekspetasi apapun. Sayang, selepas menonton, kesan yang saya dapatkan hanya film ini terlalu gelap, literally.

Terror Train dimulai dengan Jamie Lee Curtis yang dilibatkan bersama teman-teman mahasiswanya untuk nge-prank mahasiswa pemalu yang membuat si korban syok dan masuk ke Rumah Sakit Jiwa. Tiga tahun kemudian, Jamie Lee yang sudah lulus bersama teman-temannya, mengikuti pesta kostum yang diadakan di sebuah kereta. Seorang pembunuh misterius pun datang dan mengincar mereka satu-persatu.

Minggu, 14 November 2021

[REVIEW] Dream Home (2010) sudah menjadi film eksploitasi yang baik tanpa perlu menambahkan kritik sosial

Dulu sekali saat gaji saya masih di bawah UMR, ngimpi bisa beli rumah itu jadi sesuatu yang jauh (sekarang juga sih ...), tetapi bayangan ingin punya rumah kayak di sinetron (lengkap dengan balkon, tiang-tiang besar, serta sarapan roti dan jus jeruk kalau boleh, hahaha) semakin jauh karena harga properti yang tak kunjung mudah dicapai. Di saat seperti itu, saya suka scrolling di situs jual beli rumah yang membuat pusing karena harganya kebanyakan 0-nya, dan sekalinya harganya masuk akal, rumahnya sudah reot bin jauh dari peradaban. Mungkin juga saya kurang ambisius yah, sehingga rumah impian seperti sinetron kini saya ganti dengan rumah model kecil kalau-kalau nanti dikasih kesempatan berkeluarga.

Oleh karena itu, menyaksikan tokoh Cheng Lai-sheung di film ini bagaikan representasi ekstrim dari ambisi memiliki rumah idaman. Film yang disematkan sebagai film slasher ini (yang mungkin menurut saya lebih cocok dibilang eksploitasi/splatter), menceritakan Cheng yang bekerja sebagai telemarketer di sebuah bank. Ambisinya satu, punya flat dengan pemandangan pantai. Untuk itu, ia turut menjadi simpanan orang lain untuk bisa membiayai hidupnya dan keluarga, terutama setelah sang ayah mengidap penyakit paru-paru. Namun, usahanya menabung tidak semudah itu kala si penjual apartemen tiba-tiba menaikkan harga propertinya. Cheng pun mulai menghabisi orang-orang yang menghalanginya untuk mendapatkan rumah idaman.

Sabtu, 13 November 2021

[REVIEW] Black Sunday (1960) memang pantas menjadi film horor klasik yang mengerikan

Saat menilai film horor jadul itu bagus atau tidak, kadang saya merasa kesulitan karena cita rasa seramnya mereka sudah tidak bisa lagi saya rasakan. Hal ini mungkin disebabkan saya sudah terlanjur dibiasakan dengan adegan berdarah yang maha kejam dan jumpscare yang diiringi musik dan suara memekakkan telinga. Saya pernah menonton beberapa film horor jadul hitam putih seperti The Innocents (1961) dan The Haunting (1963) yang sering masuk dalam daftar film horor terbaik sepanjang masa, tapi ya ... saya kurang bisa menangkap letak seramnya. Musik/suara dan gambarnya, tidak akan seekstrim film-film horor zaman sekarang.

Oleh karena itu, pengalaman menonton film Black Sunday adalah kejutan menyenangkan bagi saya. Film yang dirilis tahun 1960 ini merupakan debut sineas Italia Mario Bava sebagai sutradara, yang mana, beliau nantinya akan dikenal sebagai salah satu ikon film horor Italia dan dunia. Berbeda dengan kedua film hitam putih yang saya sebutkan di atas, film ini tidak perlu waktu lama untuk "memanaskan" penonton dengan sajian seramnya, dan hal tersebut sudah cukup untuk memasukkannya ke dalam daftar kategori film favorit saya.

Black Sunday yang berjudul asli La maschera del demonio (Topeng Setan), dimulai dengan adegan penghakiman atas seorang penyihir/pemuja setan dan pengabdinya oleh kakaknya sendiri. Keduanya dihukum mengenakan topeng berpaku dan akan dibakar, namun hujan tiba-tiba muncul sehingga mereka dikubur hidup-hidup. Dua abad kemudian, seorang dokter senior dan asistennya secara tidak sengaja menemukan makam penyihir tersebut dan membangkitkannya. Proses kebangkitan sang penyihir mulai membawa korban, sebagai jalan untuk menuntaskan dendamnya pada keturunan sang kakak hingga mereka habis tak bersisa.



Jumat, 12 November 2021

[REVIEW] Menonton V/H/S 94 (2021) seperti membuka mystery box yang isinya campur aduk

Akhirnya kemarin saya kalap dan membeli akses Shudder via Shopee. Shudder, aplikasi streaming khusus film horor itu, sebenarnya belum tersedia di Indonesia, namun dengan VPN Amerika Serikat, film-film horor beraneka ragam yang dikurasi oleh tim aplikasinya, bisa saya nikmati. Sebenarnya, alasan membeli akses ini pun karena saya sudah mencoba beberapa aplikasi streaming film, namun koleksi horornya tidak terlalu mampu memuaskan batin saya. Film-film jagal yang campy sulit ditemui dengan mudah selain di Shudder. Koleksi Shudder sebenarnya tidak lengkap-lengkap amat, hanya saat melihat deretan filmnya, banyak judul yang saya kenal dari zaman dulu lihat-lihat judul horor tahun 1970-80 an.

Salah satu film yang langsung saya tonton pertama-tama adalah Sleepaway Camp. Saya pernah mengulas film tersebut di blog ini, sehingga saya belum berniat menuliskannya lagi. Dan yang kedua, adalah film V/H/S 94, sekuel dari serial antologi film pendek V/H/S. Film-film V/H/S ini punya karakteristik yang nyaris sama, bentuk found footage, kesadisan tiada tara, hingga alur cerita yang menurut saya terlalu dibuat-buat. Akibatnya, menonton film V/H/S selalu membuat saya campur-aduk.

Di film ini, narasi utamanya adalah sekelompok polisi yang menggrebek markas pengedar narkoba, namun saat masuk, kok isinya orang-orang dengan mata yang sudah dicabut dan televisi yang menampilkan gambar statik. Lalu, seiring mereka menelusuri markas, satu persatu video VHS-pun dimainkan.

[REVIEW] Sorority Babes in the Slimeball Bowl-O-Rama (1988)

Membaca judul film ini mengingatkan saya pada film-film horor Indonesia di era 2000-2010-an yang rata-rata diproduksi dengan production value yang apa-adanya. Zaman itu, film horor punya nama yang sangat jelek gara-gara orang-orang membuat film dengan gaya serampangan berbekal Koya Pagayo sebagai pionir (yang sebenarnya bisa jadi bahan analisis film, karena hampir semuanya punya karakter dan plot yang sama).

Sorority Babes in the Slimeball Bowl-O-Rama adalah film besutan David DeCoteau yang kayaknya pernah dengar di mana, beberapa kali nongol di film dini hari Trans TV. Film-film horor kelas B gitu lah, nothing new. Saya tergoda saja nonton di Shudder karena ingin tahu batas kekejuan (cheesiness, ngawur memang)-nya sampai di mana. 

Plot super tipis, di mana sekumpulan mahasiswi yang mau masuk rumah persaudaraan (sorority) yang sedang melakukan inisiasi (mirip kayak digejrot, eh diplonco gitu kali ya), berbarengan dengan tiga remaja yang ketahuan ngintip prosesi tersebut, diminta mendobrak mal di malam hari dan mengambil trofi area boling. Tak sengaja, mereka melepaskan makhluk imp yang mampu merasuki dan membunuh mereka satu-persatu.

Kamis, 11 November 2021

[REVIEW] Halloween II (1981): Saat Dunia Berjalan dengan Kecepatan 0.75

Halloween II adalah awal dari representasi sekuel film bagus yang terdistorsi keinginan produser untuk mencari untung. Pasalnya, John Carpenter berpikir untuk menjadikan film Halloween ini jadi serial antologi, atau kisahnya nggak nyambung. Jadi ya, misal film pertama tentang Michael Myers, mungkin film kedua bisa jadi tentang pesta dansa Halloween yang kedatangan alien. Tapi, aksi Michael Myers begitu disukai, hingga akhirnya John Carpenter dan Debra Hill (rekan kerja Carpenter/kekasih pada waktu itu) akhirnya mau menulis dan memproduseri film ini, meski membuatnya ogah-ogahan. Bahkan ia bilang bahwa untuk tetap bisa menulis naskah film ini, ia perlu minum beberapa kaleng bir.

Akhirnya ya filmnya jadi begini.

Mengambil latar tepat saat film pertama usai, Michael Myers kabur setelah ditembak dokternya sendiri dr. Sam Loomis, sementara Laurie yang terluka, di bawa ke rumah sakit (yang kadang-kadang disebut klinik) untuk mendapatkan perawatan. Michael kembali berjalan menumpahkan darah, sementara dr. Loomis berusaha mengejarnya.