Senin, 27 Juni 2016

[REVIEW] Alice, Sweet Alice (1976)

SINOPSIS

Alice Spages adalah seorang anak perempuan berumur 12 tahun yang sering menampilkan perilaku yang mengganggu sekitarnya. Sama sekali anak yang "gelap". Sementara itu, adiknya Karen begitu riang dan menjadi perhatian banyak orang dengan sikapnya yang baik, termasuk lebih diperhatikan ibunya, Catherine. Di hari Komuni Pertama Karen, Karen ditemukan terbakar di balik kursi gereja. Kecurigaan yang mengarah pada Alice, membuat Catherine dan mantan suaminya, Dominic "Dom", berusaha untuk mencari pembunuh sebenarnya. Dibantu dengan Pendeta Tom, pembuktian tersebut harus melewati banyak insiden berdarah. Semua bukti mengarah pada Alice, namun benarkah Alice pelakunya?



RATING: R (suggested rating is due strong bloody violence/gore and disturbing images)


REVIEW

Pernah menonton giallo sebelumnya? Giallo adalah sebuah trademark dari horor Italia yang banyak berfokus di pengungkapan misteri pembunuhan (biasanya), dengan tone warna cenderung kuning dan ekspose terhadap gore yang cukup banyak. Kalau tidak salah saya pernah me-review salah satu judul giallo populer, judulnya Suspiria. Film Alice, Sweet Alice beberapa kali didaulat sebagai versi Amerika Serikat untuk giallo. Bagi saya, film giallo merupakan keunikan horor yang berasal dari mancanegara. Kebanyakan filmnya memiliki twist yang bagus dan cerita yang menarik untuk disimak. Judul Alice, Sweet Alice yang juga dikenalkan dengan judul Communion, mempunyai potensi untuk menjadi film yang menjanjikan.

Berlatar di tahun 1960-an, Alfred Sole selaku sutradara dan penulis, memotret kota yang masih menganut ajaran Kristen Ortodoks, yang mempunyai ajaran First Communion, yang menghadapi pembunuhan yang terjadi pada seorang anak gadis yang sangat disukai oleh sekitarnya. Sebagai seorang penonton yang mempunyai ekspetasi tinggi terhadap film ini, saya "dijamu" oleh awalan film ini dengan baik melalui pengenalan antar karakternya yang benar-benar tampak guyub, sekaligus memberikan peluang-peluang adanya perkembangan karakter yang mungkin terjadi. Semuanya tidak dijabarkan secara gamblang, namun memberikan cukup porsi bagi kita untuk mengetahui karakter masing-masing karakter (lho) dan berekspetasi pada karakter tersebut.



Kemudian adegan berlanjut pada peristiwa pembunuhan yang menarik untuk diikuti. Menarik karena caranya yang cukup mudah (si anak dicekek terus dibakar), sekaligus lucu karena obviously si Alice dengan trademark topeng lilinnya dan jaket kuning milik sekolah-lah si pembunuhnya. Seisi film membuat senantiasa geregetan karena si pembunuh yang terlihat obvious, terus menerus dipelintir dan dijeda seiring perkembangan plot berlangsung. Cukup heran juga, karena film ini mampu berbuat demikian.

Melihat sosok topengnya yang benar-benar tanpa emosi, seakan-akan mengingatkan kita pada film-film topengan sejenis, kendati di film ini, menyajikan teror yang meragukan, yakni teror tentang bias. Di antara perilaku Alice yang mencurigakan, kita harus dapat menyadari bahwa hal itu sangat mungkin bukan ulah Alice. Kita terlempar-lempar pada satu kesimpulan yang senantiasa berubah di setiap si pembunuh melakukan serangan. Walaupun adegan-adegan tersebut terasa agak terlalu dramatis, namun saya memakluminya karena ini memang ingin terlihat seperti giallo.

Masing-masing pemain, saya rasa mampu mencerminkan tentang karakternya dengan baik. Ada si tante yang selalu overreacting, ada si ibu yang mencoba tetap tenang, pelayan pendeta yang grumpy, hingga Alice yang nampak misterius, membuat kita juga nyaman menyaksikan film berlangsung. Gore yang disajikan pun tidak terlalu excessive, namun pada beberapa adegan (seperti penusukan kaki) yang on point dan tidak terlalu mengekspos kekerasan yang ada. Fokus film ini pada usaha pemecahan pembunuhan, benar-benar berupaya agar konten-konten "sampingan" benar-benar terasa sebagai tempelan dan membuat kita mampu memperhatikan plot film ini hingga usai.



Satu hal yang kurang dari film ini adalah bagaimana film ini mengatur twist dan ending-nya. Twist setidaknya dimunculkan saat seperempat film menjelang film usai, dan ekspose tersebut tidak berada pada klimaks film, sehingga wajar bila saya katakan, akhir film ini cenderung hambar karena sang sutradara seperti kehilangan daya tariknya pada plot cerita. Peningkatan tensi yang seharusnya muncul, tidak dideskripsikan dengan baik, sehingga mungkin bagi yang menginginkan sebuah "tamparan" lebih jauh, akan sulit mendapatkannya.

Namun akhirnya, Alice, Sweet Alice merupakan bagian dari direktori film Hollywood (horor) yang berbeda dengan film slasher kala itu. Alice, Sweet Alice mengambil banyak sisi latar dan karakter yang sangat khas, dan mampu mengemasnya menjadi giallo-like yang memuaskan untuk ditonton. Ada beberapa pertanyaan-pertanyaan yang kontradiksi ketika film berakhir, namun kemampuan film ini untuk mengiringi sinopsis yang obvious dan perkembangan cerita yang menarik patut diacungi jempol. Bagi Anda yang menyukai film horor yang lebih tradisional dan suspense-seeking, Alice, Sweet Alice dapat menjadi pilihan yang baik. Kendati, mungkin kebiasaan kita terhadap cara bernarasi film-film horor populer akan sangat memengaruhi pendapat kita terhadap film ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar