Minggu, 22 Desember 2013

[REVIEW]The Birds (1963)

SINOPSIS
Seorang sosialita bernama Melanie Daniels (Tippi Hedren) bertemu dan mulai tertarik pada seorang pengacara bernama Mitch Brenner (Rod Taylor) di sebuah toko burung di San Francisco. Melanie memutuskan untuk membuat kejutan berupa lovebirds yang mereka bahas di toko burung, dan membawanya ke rumah asal Mitch di Bodega Bay, tempat Mitch biasa berakhir pekan. Di Bodega Bay, kemudian mulai muncul serangan-serangan pada kota tersebut oleh burung-burung tanpa alasan yang jelas. Mungkinkah mereka selamat?


RATING
Suggested rating is PG-13 for sequences of disturbing images and violence/terror, gore, thematic elements, smoking, and language

REVIEW
Saya tahu kalau banyak pembuat film zaman dahulu yang selalu ingin mengeksekusi ide-ide besar dan membuat kreativitas sehingga banyak di antaranya yang menjadi pionir dalam bidang spesial efek, riasan, hingga editing. Alfred Hitchcock merupakan salah satu sineas Hollywood yang banyak menggunakan teknik-teknik baru demi pencapaian yang ingin ia hasilkan. Hasilnya? Voila, namanya terkenal sebagai sutradara penghasil banyak kisah-kisah suspense.

Pasca Psycho, film ini kelihatannya dibuat dengan mendompleng kesuksesan film tahun 1960 tersebut, namun saya rasa itu berubah mengingat di sini kelihatannya Hitchcock ingin mencoba hal yang baru. Saya selaku orang yang bahkan mempunyai orangtua belum lahir pada saat itu, film ini terkesan jadul, membosankan, dan sebagainya. Tapi itu salah, karena bisa jadi, menonton klasik, menonton The Birds merupakan pengalaman menuju fobia terbaik kepada burung.
Kita pertama dibawa pada Melanie yang dibawakan dengan sangat cantik oleh Tippi Hedren. Ia benar-benar berlakon seperti orang yang sosialita, tak mudah disentuh, pintar, dan selalu berada dalam kawasan-kawasan eksklusif. Saya sangat suka bagaimana Hedren bermain sebagai Melanie. Agaknya semua di film ini mempunyai akting yang mengesankan. Maklum, zaman dahulu kelihatannya orang tak bisa cabutan untuk main film karena semua kebanyakan berasal dari ranah panggung yang memang mengharuskan ekspresi.

Nah, yang menarik untuk dibahas di sini, Hitchcock tak menggunakan musik untuk membuat suasana makin mengerikan. Kita disajikan suara-suara burung yang cukup mengganggu disertai spesial efek dari Ub Iwerks, saudara Walt Disney. Spesial efek burung ini bagi saya cukup halus, setidaknya lebih halus dari Indosiar. Kelebihan film ini justru terletak saat kita mulai merasa takut terhadap adanya burung. Tak ada musik (yang terbukti, ketika penemuan mayat mata bolong itu, saya nggak ketakutan) tak berarti membuat film ini minim ketakutan. Saat anak-anak telah diserang, dan saat Melanie dan Mitch ingin menjemput adik Mitch, Cathy, mereka harus diam sementara ada gagak yang bertengger di sepanjang jalan. Sumpah, saya mulai cepet-cepet tarik napas.
Hal ini sialnya berlanjut terus hingga akhir film (apalagi yang bagian Melanie hampir mati itu, diserang oleh burung-burung, saya gregetan). Bagian Mitch harus menyeberangi burung yang berkumpul di depan rumah juga jadi adegan yang intens tanpa adanya musik. Coba bayangkan kalau ini dikasih musik, jelas lebih seram, tapi kita kurang dapat inner kalau ini mengerikan. Mungkin saya sekarang jadi agak-agak gimana kalau lihat burung. 

Hal gregetan yang bikin saya sebal adalah, mengapa sih mereka itu bukannya lari cepat-cepat malah berusaha melindungi diri dengan gaya berlebihan. Ya ampun... kenapa mereka ini? Memang, sih, kita juga jadi ikutan katatonik dan mulai stres, tapi kayaknya nggak segitunya juga. Memang film jadul.

Yang saya senangkan lagi adalah, film ini begitu mengalir dengan lancar. Walaupun saya belum menangkap sampai akhir apa yang menjadi hubungan awal Mitch dan Melanie, saya suka bagaimana mereka bisa bermain dan bisa begitu "hangat" melihat mereka. Hal inilah yang menurut saya kurang di film zaman sekarang dengan set yang begitu bermacam-macam menjadikan mereka dingin. Hanya di film jadul saya rasa, dimana di film-film teror semacam ini saya merasa hangat. Mengerti? Interior?
Sekali lagi, kita telah menyaksikan sebuah masterpiece yang kreatif dari sineas Hollywood terkenal ini. Sepertinya ini merupakan film Hitchcock terakhir yang sukses baik secara komersial maupun kritikus. Saya juga menyanjung film ini dengan segala kesempurnaannya, tak terduga bahwa di zaman jadul, mereka bisa membuat sesuatu seperti ini. Atau saya yang tak paham teknologi zaman dahulu kala? Entahlah...

Mari, bagi kalian yang masih menginginkan untuk paham apa arti dari sebuah ketegangan dan kengerian di dalam layar, tontonlah film ini. Jangan beri tendensi, jangan beri asumsi. Tonton dan rasakan seperti apa yang saya rasakan. Dan lihatlah bahwa betapa film tegang yang paling sempurna, adalah ketika kita merasa tegang setelah menonton hal itu.

NB paragraf, kelihatannya semua orang maklum-maklum saja mengenai, kenapa kita tak kunjung mengetahui apa yang menyebabkan burung-burung ini bertindak gila? Satu-satunya hal yang patut kita ketahui adalah bahwa mereka pun belum tahu, seperti di Night of the  Living Dead, dan segala kematiannya itu yang dahulu belum ada alasannya, kita diajak untuk ketakutan tanpa berpikir. Ketika kita sedang berjalan dan tiba-tiba dikejar oleh orang membawa golok, kita tak akan berpikir mengapa dia mau mengejar kita karena apa yang kita butuhkan adalah berlari. Sama seperti film ini, jawaban hanya dibutuhkan oleh orang yang tak berada dalam mengerikannya situasi tersebut. Sementara di dalam ketakutan, kita hanya memerlukan berpikir untuk kabur dan pergi dari kengerian ini secepat mungkin.
97%

Tidak ada komentar:

Posting Komentar