Kamis, 13 Mei 2010

RED EYE


Pada dasarnya Wes Craven dulunya cuma seorang sutradara yang diprediksi bakal jadi the next George A. Romero, yakni membuat sebuah genre baru, tapi akhirnya Craven cuma bakal jadi follower genre yang dibikinnya sendiri. Kayak Romero yang sampe sekarang menelurkan film-film zombie yang walaupun dianggap berkualitas, tapi pendapatannya kurang mujur karena stereotipisme (what?) yang memuakkan. Khusus pecinta gore, pasti demen ama sutradara lansia ini.

Well, seenggaknya Craven berhasil membuktikan dengan seringnya berganti sub-horror dalam filmografinya yang udah bejibun. Mulai dari film rape and revenge yang dengan sukses di banned di belasan negara, terus gore and revenge di The Hills Have Eyes, akhirnya dia melahirkan karya puncaknya, apa lagi kalo bukan A Nightmare on Elm Street, salah satu serial slasher paling kondang setelah Myers dan Voorhees. Dalam kronologi dari film perdana Freddy Krueger itu sampai Scream, sesungguhnya dipandang sebelah mata karena pembuatan yang jujur saja, cukup asal-asalan, tapi Craven punya taste tersendiri dalam mengelola filmnya yang sebenarnya ancur jadi worthy-watch. Dan diantara 1984-1996, cuma Wes Craven's New Nightmare yang paling berkesan, mungkin karena unsur satirenya yang gak bisa ditolerir lagi.

Di tahun 2005 saat Hollywood SANGAT demen sekali beralih ke horror asia (The Ring dan The Grudge) Craven masih mempertahankan gaya directing nya, yakni American Horror yang klasik. Tahu genre yang paling ia kuasai mulai tertindas di negeri sendiri (persis banget kondisinya dengan horror indonesia yang terjerumus dalam esek-esek horror), Craven memutuskan untuk menyutradarai film berselera very intense thriller layaknya film Jan de Bont tahun 90-an, Speed. Film itu adalah Red Eye yang dikatakan oleh distributornya sebagai "suspense-thriller at 30,000 feets".


Lisa Reisert adalah manager yang baik untuk dicontoh di dunia perhotelan, baik, ramah, dan cepat dalam bekerja dan mengambil keputusan. Kini ia sedang berada di Dallas untuk menghadiri pemakaman neneknya yang berumur seabad kurang sembilan. Setelah beberapa saat menunggu pesawat di bandara untuk segera pergi ke Miami, tempat hotel dan rumahnya berada, ia harus menunggu beberapa jam karena pesawat tersebut di delayed. Karena itu, ia bertemu dengan seorang pria baik bernama Jackson Rippner yang ternyata sebangku dengan Lisa di pesawat. Setelah terbang diketinggian 30,000 kaki untuk menghindari turbulensi, Jackson menyatakan maksudnya. Dia adalah seorang head-operator dari rencana pembunuhan seorang Menteri Keamanan Negara bernama Keefe yang berencana menginap di hotel Lisa. Tugas Lisa adalah menelepon di pesawat ke hotel untuk memindahkan kamar Keefe ke dekat laut agar memudahkan ditembak para pembunuhnya. Apabila Lisa tidak mau bekerjasama, sang ayah akan dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran yang menunggu didepan rumah sang ayah, tinggal menunggu telepon dari Jackson. Lisa harus memperjuangkan kehidupan di daratan dengan sebuah telepon pesawat, dan waktu pendaratan pesawat itu.

Oke, sebenarnya sinopsis itu bisa dipersingkat menjadi tiga kalimat (seperti yg tertera di boks VCD-nya) tapi ceritanya cukup ribet untuk dijelasin karena semuanya berkaitan. Menonton Red Eye sama seperti nungguin giliran kencing di toilet umum. Anda tidak bisa segera menuntaskan keinginan anda karena ada pembatas yang tipis diantara kita. Red Eye adalah sebuah thriller yang berlokasi sempit, dengan rencana setting seperti itu, para kru udah tau ini film akan dengan gampang mengarah pada dua kejadian: membosankan banget atau rada-rada seru. Dan Red Eye celakanya mempunyai dua kejadian tersebut. Dipesawat, anda tidak akan mendapatkan apapun kecuali dialog intens yang simpel tapi pointless. Sedikit kekerasan dalam pesawat akan menghibur anda. 

Di timing seperti itu, rasanya akan gatal memencet tombol FF di remote agar hasilnya cepet ketauan (karena keinginan Jackson bahkan udah disampein di sinopsis, jadi butuh apalagi ?) dan tentunya cepet pergi dari adegan pramugari blonde yang bodoh. Sementara di daratan, movie has begun. Filmnya menjadi MENEGANGKAN ketika ada di daratan, dimana Lisa mulai beraksi ala Bond women tanpa Bond itu sendiri, segala kecerdikannya saat bekerja di hotel anehnya bisa memacu Lisa menusuk leher orang, mencuri handphone dan mobil, dan menabrak seorang pria berdasi. Disaat itulah semuanya menjadi real, tapi justru karena bagusnya adegan daratan membuat adegan di pesawat tidak cukup berarti untuk diingat. Juga karena tokoh Jackson yang menjadi lemah di menjelang akhir film, jadi, keputusannya adalah kebodohan sekelompok teroris yang menyewa seorang pelaksana rencana semacam Jackson. 

Apakah intinya ? Film Red-Eye adalah sebuah film yang mempunyai pacuan ketegangan yang bagus, tetapi dialog dan satu karakter inti yang lemah membuat alur film yang intens menjadi rusak sebagian. Lain kali sewalah perencana pembunuhan seperti Phillipe Nahon di Haute Tension plus Anthony Hopkins di The SIlence of the Lambs, jadinya rencana anda menjadi lebih lancar dan rapih. Wahai tuan Jackson Rippner, lain kali bawalah sumsum tulang belakang anda di pesawat, nangkep refleks cewek aja gak bisa.

3 of 5

4 komentar:

  1. nice review, makasih kunjungannya. -alkatro zone-

    BalasHapus
  2. ih jd pengen nonton,,,^_^

    Miss Rinda
    www.rinda-holic.blogspot.com

    BalasHapus
  3. Hahahaha terakhir lucu bgt reviewnya. Iya tuh si jackson masa kalah ama lisa. Wkwkwk... pembunuh yang tidak profesional (lah ?) wkwk..

    BalasHapus
  4. Sang pembunuh lemah di akhir cerita memang masuk akal..dia cedera karna di tusuk di leher dan sepatu tinggi yg nancep di pahanya..coba klo segar bugar..pastinya gak segampang itu lisa bisa mempencundangi sang penjahat..

    BalasHapus