Leon Leigh (Aaron Poole) adalah seorang pria muda yang kembali ke rumah ibunya yang telah wafat, Rosalind Leigh (Vanessa Redgrave). Lewat monolog yang mengantar sebagai narator, Rosalind mengajak penonton dan Leon untuk menelusuri masa lalu di rumah itu. Tentang sebuah organisasi cult yang memuja malaikat, tentang tragedi yang membuat Leon kehilangan keyakinannya, tentang kesendiriannya, dan tentang sesuatu yang masih berdiam di sudut kegelapan rumah itu.
RATING
NR. Suggested MPAA rating is PG-13 for some disturbing elements and brief strong language
REVIEW
Entah mengapa, manusia dapat tertarik juga pada judul-judul yang panjang, selama itu terdengar menjual. Contohnya saja The Exorcism of Emily Rose, The Assassination of Jesse James, hingga film ini sendiri, The Last Will and Testament of Rosalind Leigh. Saat menonton film inipun, narasi yang berasal dari Rosalind Leigh terdengar bagaikan surat wasiatnya. Adegan awal film ini disajikan dengan potongan koran, foto, dan suara-suara, yang mungkin akan mengingatkan kita pada adegan awal Thir13en Ghosts tahun 2001, dimana kamera berputar ke seluruh ruangan yang terus berganti perabot dengan suara kebakaran membuat kita paham apa latar belakang cerita ini.
Kembali ke film ini, setelah serangkaian pigura foto dan perabotan patung-patung yang memenuhi rumah, kita melihat Leon Leigh, yang diperankan oleh Aaron Poole, satu-satunya manusia yang terlihat mukanya nyaris di sepanjang film. Mulanya saya bertanya-tanya, klimaks seperti apakah yang diberikan film ini? Poster yang misterius dan ambience yang mengerikan sempurna membuat saya asumtif pada klimaks-klimaks ala film horor yang melibatkan premis cult jahat. Tetapi, film ini rupanya lebih memfokuskan dirinya pada masa lalu dan kesendirian Rosalind. Alhasil, bisa dikatakan klimaks di film ini justru menjadi sedikit aneh. Klimaksnya adalah ketika Leon bertemu dengan monster gaib, seperti binatang, yang sembunyi di kegelapan dan selalu memburunya. Kita dihadapkan pada pertanyaan, makhluk apakah itu? Pertanyaan yang bagi saya tak terjawab ketika end credit telah berjalan.
Saya baru menyadari esensi kengerian yang ditawarkan Rodrigo Gudiño selaku penulis merangkap sutradara ini justru pada kekosongan yang dihasilkan tatapan patung-patung yang memenuhi rumah Leigh. Gudiño dengan pengambilan gambar ala ala Kubrick, memberikan sebuah definisi baru dari kengerian: berhadapan dengan masa lalu. Patung yang berpindah sendiri, dua orang bertudung yang mencoba masuk ke rumah, dan kalima-kalimat superstitious yang bertebaran di seluruh rumah memberikan pertanyaan-pertanyaan.
Seperti layaknya penonton di film horor, kitapun haus dengan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan sebuah film. Makin misterius dan makin membingungkan, kebanyakan orang akan berpendapat itu bagus. Saya mereferensikan indikator itu pada franchise Ju-On yang terkenal itu. Namun, film ini sangat pelit akan informasi baru. Ia lebih tertarik dengan Leon dan masa lalunya yang dicoba untuk menjadi bumbu utama. Bumbu-bumbu tersebut akhirnya membuat kita memahami apa kengerian yang dicoba disuguhkan oleh film ini. Masa lalu.
Eventually, di antara film-film yang mengeksploitasi dengan kehadiran sesuatu yang aneh (boneka aneh, rumah aneh, masa lalu aneh, dan lain sebagainya), adanya film ini mungkin dibutuhkan bagi kita yang selalu mengkonsumsi film horor yang mengandalkan kengerian lewat .... kengerian. Ada esensi lain yang terdapat dalam ketakutan dan kekosongan yang hanya bisa didapatkan lewat perenungan, dan itu akan menambah hikmah yang akan kita dapatkan.
The Last Will and Testament of Rosalind Leigh mungkin sedikit banyak menawarkan mencekamnya kesepian, dan membangun makna kesepian dari elemen-elemen yang dibangun film ini. Penyajiannya yang sedemikian rupa memang membuat kita akan merasa bosan, namun justru di situ lah, letak dari mencekamnya hal tersebut. Kita baru sadar bahwa kita hanya merasa tercekam tatkala kita disodorkan elemen-elemen asing dari diri kita. Hantu, pembunuh berdarah dingin, kondisi alam yang tak bersahabat, hingga boneka tua yang bau darah. Elemen-elemen dalam masa lalu kita, menyajikan pertanyaan-pertanyaan sendiri untuk kita di masa kini. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab dengan cenayang atau pisau, tapi pikiran yang jernih dan syahdu.
NB. This post has been neglected for a long time, so it maybe the best to release it, because every writings are meant to fly
Eventually, di antara film-film yang mengeksploitasi dengan kehadiran sesuatu yang aneh (boneka aneh, rumah aneh, masa lalu aneh, dan lain sebagainya), adanya film ini mungkin dibutuhkan bagi kita yang selalu mengkonsumsi film horor yang mengandalkan kengerian lewat .... kengerian. Ada esensi lain yang terdapat dalam ketakutan dan kekosongan yang hanya bisa didapatkan lewat perenungan, dan itu akan menambah hikmah yang akan kita dapatkan.
The Last Will and Testament of Rosalind Leigh mungkin sedikit banyak menawarkan mencekamnya kesepian, dan membangun makna kesepian dari elemen-elemen yang dibangun film ini. Penyajiannya yang sedemikian rupa memang membuat kita akan merasa bosan, namun justru di situ lah, letak dari mencekamnya hal tersebut. Kita baru sadar bahwa kita hanya merasa tercekam tatkala kita disodorkan elemen-elemen asing dari diri kita. Hantu, pembunuh berdarah dingin, kondisi alam yang tak bersahabat, hingga boneka tua yang bau darah. Elemen-elemen dalam masa lalu kita, menyajikan pertanyaan-pertanyaan sendiri untuk kita di masa kini. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab dengan cenayang atau pisau, tapi pikiran yang jernih dan syahdu.
NB. This post has been neglected for a long time, so it maybe the best to release it, because every writings are meant to fly
Tidak ada komentar:
Posting Komentar