Minggu, 25 Januari 2015

[REVIEW]The Imitation Game (2014)

SINOPSIS
Berdasarkan kisah nyata, mengenai pekerjaan rahasia yang disembunyikan oleh militer Inggris selama 50 tahun untuk memecahkan kode Enigma, suatu sistem kode yang diciptakan Nazi untuk saling berkomunikasi dalam menyerang Sekutu. Pekerjaan itu melibatkan seorang ahli matematika, profesor Alan Turing (Benedict Cumberbatch) yang kaku, yang merasa tertantang untuk membuat suatu mesin yang secara otomatis bisa menerjemahkan kode tersebut. Bersama dengan “rekan” kerjanya di bidang kriptografi, Hugh Alexander (Mathew Goode), John Cairncross (Allen Leech), Peter Hilton (Matthew Beard) serta Jack Good (James Northcote) dan Joan Clarke (Keira Knightley) yang berhasil menyelesaikan kompetisi teka-teki silang dari Turing. Film ini tak sekadar menyajikan pemecahan kode sandi, namun bagaimana kehidupan Turing yang kompleks, yang dibayangi oleh cintanya kepada teman sekolahnya bertahun-tahun yang lalu.

RATING
PG-13 for for some sexual references, mature thematic material and historical smoking

REVIEW
Hm, pertama bisa dibilang ketika selesai menonton The Imitation Game, yang saya pikirkan justru film ini sangat “propagandik” sekali. Kata propagandik di sini, digunakan untuk tujuan tertentu, yaitu memperkenalkan pada khalayak ihwal sosok Alan Turing yang menjadi penggagas komputer di dunia adalah seorang homoseksual. Membicarakan mengenai konteks apakah kita harus mulai menghargai seorang homoseksual sebagai bagian dari dunia atau masih bisa menanggapi dingin adalah urusan Anda dan pemaknaan Anda pada agama atau kepercayaan yang Anda anut. Saya tentu tak setuju, karena sudah terjadi sesat pikir dalam film ini yang seakan-akan menampakkan bahwa tak semua homoseksual itu sexually interested atau sekadar memenuhi bar-bar malam, melainkan bisa berpikir dan bisa membantu peradaban dunia.

Kalau mau bicara itu mungkin ada di tempat tersendiri dan bukan di sini, namun sekarang kita akan membicarakan perihal filmnya.

Film ini diadaptasi dari buku biografi Alan Turing sendiri yang ditulis oleh Andrew Hodges. Kalau ingat tentang ‘fim orang pintar’ yang pertama teringat adalah A Beautiful Mind karya Ron Howard tahun 2001 lalu mengenai pemenang hadiah nobel Matematika yang mengidap bipolar. Di film ini Turing yang diperankan Cumberbatch diperankan begitu kaku, eksentrik, dan fragile. Lewat adegan flashback dan masa sekarang, kita diperlihatkan bagaimana cintanya pada Christopher di sekolah asrama (eh, ya betul, cinta) dan upaya Turing dengan mengeluarkan kata-kata kaku untuk menyelesaikan ambisinya membuat komputer.
Kekhasan dari ‘film mengenai orang pintar’ adalah biasanya mereka menggunakan dialog-dialog yang sulit dipahami dengan logika dan pengungkapan alur pikir yang begitu dinamis dalam beberapa detik. Adegan rush saat menyadari ada kesalahan dalam mesin, adegan berkata sombong saat mengatakan pengalaman, semuanya adalah adegan-adegan yang bisa ditemui di film manapun. Namun, The Imitation Game berhasil membawa kita tak hanya pada kepintaran Turing semata, yang terlihat di sini sekadar memiliki one shot job di militer, namun bagaimana dia mengelola rahasia pada kesendirian dan hasratnya, bahkan juga saat ia ingin menikahi Joan, semua ditampilkan di sini.

Peran lain yang menjadi highlight di sini adalah Mathew Goode yang berperan menjadi Hugh Alexander, yang tampaknya memang di-portray sebagai opposite role si Turing. Hugh merupakan sosok yang charming, pintar, dan pandai menggoda wanita tentunya. Keduanya sempat bersitegang, namun ketika akhirnya Joan mulai “melunakkan” hati Turing, maka kelompok kriptografi ini pun mulai menyatu. Goode memerankan sosok Hugh dengan baik, karena berbeda dengan Cumberbatch yang menjalani perubahan karakter, Goode pun harus mengubah karakternya. Chemistry pun pelan tapi pasti menelusup dalam adegan tengah hingga akhir.
Keira Knightley juga bisa memeran Clarke dengan lihai, meski rasanya saya jengah juga melihat wanita ini bolak-balik main di film-film setting zaman dahulu begini. Tokoh-tokoh lain pun seperti porsinya pula. Menurut saya sendiri, kehadiran footage perang, ataupun pesawat yang melepaskan misil di tengah kota, terlalu berlebihan bila dikatakan hanya sekadar untuk menyatakan bahwa pekerjaan Turing dan kawan-kawan tengah dibatasi nyawa dan nyawa. Banyaknya footage dan adegan-adegan perang membuat terlalu klise dan terkesan memaksakan. Saya ingat sekali film Pontypool yang mengisahkan adanya zombie apocalypse dari laporan radio, atau Antisocial yang hanya dari video di gadget. Cukuplah reka adegan yang disajikan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi saat itu, serta adegan yang mengaitkan perang dengan pekerjaan mereka.

Alur flashback juga sempat menjadi perhatian saya, karena saya menjadi bingung berapakah setting waktu di film ini. Pertama, yang saya tangkap adalah 2, yakni saat Turing masih bersekolah dan saat ia bekerja memecahkan Enigma. Namun, ada kronologi di 1951 pula, yang jelas-jelas harusnya perang sudah usai.
Bagaimanapun, ketika Enigma sudah selesai, kita dikembalikan pada kenyataan yang tak bisa dipungikiri oleh Turing, ia harus menjalani terapi hormonal untuk menyembuhkan homoseksual. Di sini, tentu saja adalah tindakan yang salah dari penyembuhan. Dosen sistem saraf (lah jadi kuliah), menyatakan bahwa homoseksual memang perilaku yang sebenarnya bisa diubah, dengan perubahan pola pikir yang kemudian memengaruhi otak. Saya juga kurang paham, namun satu hal yang perlu ditekankan adalah diperlukan motivasi dari penderita homoseksual untuk bisa lurus kembali. Adanya hukuman penjara tak akan menyelesaikan permasalahan ini. Dan, implikasi yang saya rasakan adalah: film ini ingin menunjukkan bahwa ada seorang homoseksual yang begitu berjasa bagi dunia teknologi saat ini. Hal ini sebenarnya sedikit sesat pikir kalau dipikir-pikir lagi, namun pada konteks penceritaannya, monolog yang diberikan justru terasa agak berlebihan.

Tentu saja, adegan-adegan ini dikemas begitu sakit, terlebih saat Joan datang dan sudah menikah, aww rasanya gimana gitu. Cukup tak terduga saat informasi di akhirnya bahwa ternyata Turing bunuh diri setahun setelah terapinya. Hal yang agak disayangkan karena setelah saya baca beberapa literatur di internet (well, cuma Wikipedia), menyatakan masih ada debat apakah Turing benar-benar bunuh diri atau kecelakaan. Penggunaan sianida untuk kematiannya di-mention di awal film ketika Turing membereskan sianida yang berserakan di rumahnya yang habis diacak-acak oleh orang tak dikenal.
Pada akhrinya, menyaksikan film The Imitation Game adalah pengalaman yang memuaskan, menarik, namun tragis. Cumberbatch yang memainkan peran Alan Turing sebagai penggagas komputer pertama di dunia dengan baik mampu memberikan sisi pintar, kaku, dan rapuh sekaligus. Sayang, implikasi alur pikir tentang Turing dan orientasi seksualnya terasa dilebih-lebihkan sehingga membuat saya harus banyak berpikir untuk menanggapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar