SINOPSIS
Berdasarkan kisah nyata, mengenai pekerjaan rahasia yang
disembunyikan oleh militer Inggris selama 50 tahun untuk memecahkan kode
Enigma, suatu sistem kode yang diciptakan Nazi untuk saling berkomunikasi dalam
menyerang Sekutu. Pekerjaan itu melibatkan seorang ahli matematika, profesor
Alan Turing (Benedict Cumberbatch) yang kaku, yang merasa tertantang untuk
membuat suatu mesin yang secara otomatis bisa menerjemahkan kode tersebut.
Bersama dengan “rekan” kerjanya di bidang kriptografi, Hugh Alexander (Mathew
Goode), John Cairncross (Allen Leech), Peter Hilton (Matthew Beard) serta Jack
Good (James Northcote) dan Joan Clarke (Keira Knightley) yang berhasil
menyelesaikan kompetisi teka-teki silang dari Turing. Film ini tak sekadar menyajikan
pemecahan kode sandi, namun bagaimana kehidupan Turing yang kompleks, yang
dibayangi oleh cintanya kepada teman sekolahnya bertahun-tahun yang lalu.
RATING
PG-13 for for some sexual references, mature thematic material and historical smoking
REVIEW
Hm, pertama bisa dibilang ketika selesai menonton The
Imitation Game, yang saya pikirkan justru film ini sangat “propagandik”
sekali. Kata propagandik di sini, digunakan untuk tujuan tertentu, yaitu
memperkenalkan pada khalayak ihwal sosok Alan Turing yang menjadi penggagas
komputer di dunia adalah seorang homoseksual. Membicarakan mengenai konteks
apakah kita harus mulai menghargai seorang homoseksual sebagai bagian dari
dunia atau masih bisa menanggapi dingin adalah urusan Anda dan pemaknaan Anda
pada agama atau kepercayaan yang Anda anut. Saya tentu tak setuju, karena sudah
terjadi sesat pikir dalam film ini yang seakan-akan menampakkan bahwa tak semua
homoseksual itu sexually interested atau sekadar memenuhi bar-bar malam,
melainkan bisa berpikir dan bisa membantu peradaban dunia.
Kalau mau bicara itu mungkin ada di tempat tersendiri dan
bukan di sini, namun sekarang kita akan membicarakan perihal filmnya.
Film ini diadaptasi dari buku biografi Alan Turing sendiri yang
ditulis oleh Andrew Hodges. Kalau ingat tentang ‘fim orang pintar’ yang pertama
teringat adalah A Beautiful Mind karya Ron Howard tahun 2001 lalu
mengenai pemenang hadiah nobel Matematika yang mengidap bipolar. Di film ini
Turing yang diperankan Cumberbatch diperankan begitu kaku, eksentrik, dan fragile.
Lewat adegan flashback dan masa sekarang, kita diperlihatkan bagaimana
cintanya pada Christopher di sekolah asrama (eh, ya betul, cinta) dan upaya
Turing dengan mengeluarkan kata-kata kaku untuk menyelesaikan ambisinya membuat
komputer.
Kekhasan dari ‘film mengenai orang pintar’ adalah biasanya
mereka menggunakan dialog-dialog yang sulit dipahami dengan logika dan
pengungkapan alur pikir yang begitu dinamis dalam beberapa detik. Adegan rush
saat menyadari ada kesalahan dalam mesin, adegan berkata sombong saat
mengatakan pengalaman, semuanya adalah adegan-adegan yang bisa ditemui di film
manapun. Namun, The Imitation Game berhasil membawa kita tak hanya pada
kepintaran Turing semata, yang terlihat di sini sekadar memiliki one shot
job di militer, namun bagaimana dia mengelola rahasia pada kesendirian dan
hasratnya, bahkan juga saat ia ingin menikahi Joan, semua ditampilkan di sini.
Peran lain yang menjadi highlight di sini adalah
Mathew Goode yang berperan menjadi Hugh Alexander, yang tampaknya memang di-portray
sebagai opposite role si Turing. Hugh merupakan sosok yang charming,
pintar, dan pandai menggoda wanita tentunya. Keduanya sempat bersitegang, namun
ketika akhirnya Joan mulai “melunakkan” hati Turing, maka kelompok kriptografi
ini pun mulai menyatu. Goode memerankan sosok Hugh dengan baik, karena berbeda
dengan Cumberbatch yang menjalani perubahan karakter, Goode pun harus mengubah
karakternya. Chemistry pun pelan tapi pasti menelusup dalam adegan
tengah hingga akhir.
Keira Knightley juga bisa memeran Clarke dengan lihai, meski
rasanya saya jengah juga melihat wanita ini bolak-balik main di film-film
setting zaman dahulu begini. Tokoh-tokoh lain pun seperti porsinya pula.
Menurut saya sendiri, kehadiran footage perang, ataupun pesawat yang
melepaskan misil di tengah kota, terlalu berlebihan bila dikatakan hanya sekadar
untuk menyatakan bahwa pekerjaan Turing dan kawan-kawan tengah dibatasi nyawa
dan nyawa. Banyaknya footage dan adegan-adegan perang membuat terlalu
klise dan terkesan memaksakan. Saya ingat sekali film Pontypool yang
mengisahkan adanya zombie apocalypse dari laporan radio, atau Antisocial
yang hanya dari video di gadget. Cukuplah reka adegan yang disajikan
untuk memberikan gambaran mengenai kondisi saat itu, serta adegan yang
mengaitkan perang dengan pekerjaan mereka.
Alur flashback juga sempat menjadi perhatian saya,
karena saya menjadi bingung berapakah setting waktu di film ini. Pertama, yang
saya tangkap adalah 2, yakni saat Turing masih bersekolah dan saat ia bekerja
memecahkan Enigma. Namun, ada kronologi di 1951 pula, yang jelas-jelas harusnya
perang sudah usai.
Bagaimanapun, ketika Enigma sudah selesai, kita dikembalikan
pada kenyataan yang tak bisa dipungikiri oleh Turing, ia harus menjalani terapi
hormonal untuk menyembuhkan homoseksual. Di sini, tentu saja adalah tindakan
yang salah dari penyembuhan. Dosen sistem saraf (lah jadi kuliah), menyatakan
bahwa homoseksual memang perilaku yang sebenarnya bisa diubah, dengan perubahan
pola pikir yang kemudian memengaruhi otak. Saya juga kurang paham, namun satu
hal yang perlu ditekankan adalah diperlukan motivasi dari penderita homoseksual
untuk bisa lurus kembali. Adanya hukuman penjara tak akan menyelesaikan
permasalahan ini. Dan, implikasi yang saya rasakan adalah: film ini ingin
menunjukkan bahwa ada seorang homoseksual yang begitu berjasa bagi dunia
teknologi saat ini. Hal ini sebenarnya sedikit sesat pikir kalau dipikir-pikir
lagi, namun pada konteks penceritaannya, monolog yang diberikan justru terasa
agak berlebihan.
Tentu saja, adegan-adegan ini dikemas begitu sakit, terlebih
saat Joan datang dan sudah menikah, aww rasanya gimana gitu. Cukup tak terduga
saat informasi di akhirnya bahwa ternyata Turing bunuh diri setahun setelah
terapinya. Hal yang agak disayangkan karena setelah saya baca beberapa
literatur di internet (well, cuma Wikipedia), menyatakan masih ada debat
apakah Turing benar-benar bunuh diri atau kecelakaan. Penggunaan sianida untuk
kematiannya di-mention di awal film ketika Turing membereskan sianida
yang berserakan di rumahnya yang habis diacak-acak oleh orang tak dikenal.
Pada akhrinya, menyaksikan film The Imitation Game adalah
pengalaman yang memuaskan, menarik, namun tragis. Cumberbatch yang memainkan
peran Alan Turing sebagai penggagas komputer pertama di dunia dengan baik mampu
memberikan sisi pintar, kaku, dan rapuh sekaligus. Sayang, implikasi alur pikir
tentang Turing dan orientasi seksualnya terasa dilebih-lebihkan sehingga
membuat saya harus banyak berpikir untuk menanggapinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar