Jumat, 01 Juli 2016

[REVIEW] The Conjuring 2 (2016)

SINOPSIS

Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga) memutuskan vakum sementara dari pekerjaan mengusir hantu mereka, setelah pengusiran setan yang mereka lakukan di Amityville, memperlihatkan Lorraine pada sesosok hantu biarawati yang menginginkan kematian suaminya. Vakumnya kisah mereka, ternyata harus dibatalkan karena sebuah laporan adanya kejadian berhantu yang menimpa keluarga Hodgson di Inggris. Bersama dengan kenangan buruk tersebut, Ed dan Lorraine harus berjuang bersama demi menguak teror yang merasuki tubuh anak perempuan Hodgson, Janet.

RATING
MPAA rating is R for terror and horror violence


REVIEW

Saya sama sekali tidak menduga bahwa hantu di film The Conjuring 2 akan menjadi viral seperti kakaknya, Annabelle di film predesesornya. Oleh karena itu, demi menguak rasa kepenasaranan saya seperti di film sebelumnya, saya memutuskan untuk menontonnya di bioskop. Syukurlah, kali ini ada yang mau menemani saya menonton film ini, jelang berbuka puasa, dan saya masih merasa prihatin, dikarenakan mengesampingkan rating film ini yang dikhususkan untuk dewasa, masih banyak remaja-remaja yang sepertinya duduk di bangku SMP hadir di sini. Bahkan, tak segan-segan ada yang membawa bayinya! Sedikit curhat, 2009 silam sewaktu saya dan kawan menonton The Final Destination, saya menegur seorang ibu-ibu yang membawa anak bayinya ke dalam bioskop, dan cukup kesal ketika saya peringatkan.

Mengesampingkan budaya horor Indonesia yang kental, tidak bijak apabila seorang ibu atau wali secara umum, memasukkan anak-anak bersama mereka ke sebuah film yang tidak bisa membuat mereka menikmatinya. Budaya horor ini mungkin bisa kita permasalahkan dan alamatkan, dari betapa guyub dan renggangnya orang Indonesia terhadap menjawab hal-hal viral di sekitarnya. Butuh waktu yang tidak lama hingga video porno seorang vokalis band diunduh di pelbagai ponsel pintar milik siswa sekolah, sebagai contoh. Ke-viral-an tokoh Valak, sejujurnya merupakan tantangan bagi pihak pelindung moralitas dan etika masyarakat untuk mengontrol isu yang diberikan oleh masyarakat sendiri.

Kembali ke film, The Conjuring 2 masih digawangi oleh James Wan, yang mulai akrab namanya bersama Leigh Whannell ketika dua film horor mereka Insidious dan The Conjuring sukses besar. Lantas, apa yang membuat film ini menjadi sedemikian menarik untuk ditonton? Pertanyaan tersebut dibawakan dalam 133 menit yang diharapkan akan memunculkan kengerian, sama seperti sebelumnya, begitu. Namun, bagaimana kali ini The Conjuring 2 akan melampaui film pendahulunya?

Saya akui, The Conjuring 2 merupakan sebuah karya yang bila tidak dikatakan lebih buruk, maka sama dibandingkan film sebelumnya. Jika film sebelumnya menampilkan keluarga terlebih dahulu dengan berbagai isu di dalamnya, maka di film ini, Wan mencoba membuat alur back to back antara pasangan Warren dan keluarga Hodgson. Keseluruhan film tampil sebagai horor musim panas yang memang tidak diciptakan sedemikian distinct dengan film horor supernatural lain, namun mencoba memasukkan elmeen-elemen penyegar, meski tidak seterbuka Insidious. Singkatnya, secara market, film ini memang menyasar untuk membuka pasar sebanyak-banyaknya (menurut saya, lho) untuk menikmati sajian horor terbaru dari judul populer di tahun 2013 silam. Dan untungnya, mereka masih mencoba setia pada pakem old school eerie haunting terror yang menurut saya sudah banyak direproduksi. Ada sightings dan suara-suara aneh, ada yang mulai kerasukan, dan ada upaya untuk menolong yang kena gangguan sebagai klimaks.

Secara umum, The Conjuring 2 tampil prima dalam hal menjaga pakem tersebut. Artinya, dengan background kisah nyata yang diangkat ke film dan kombinasi beberapa penulis, The Conjuring 2 menghasilkan plot pada horor supernatural yang relatif tidak membosankan, namun tetap menjaga citarasa klasik yang ditawarkan film sebelumnya. The Conjuring 2 dengan agak tertatih-tatih, mampu menghindar dari lubang "sequel fail" dan lubang "horror fail", dengan menggunakan ramuan jitu milik Wan:  a memorable ghost and creative jumpscares.

A memorable ghost memang menjadi tawaran yang baik untuk film ini. Berbeda dengan film-film lain yang mengangkat fenomena kerasukan, saya rasa hanya The Conjuring yang bisa mengeksplorasi hantu-hantu di dalamnya dengan baik. Beberapa hantu di J-Horror, muncul lewat pemicu-pemicu aneh seperti missed call atau VHS terkutuk, menawarkan pengembangan cerita lewat penyelidikan di berkas-berkas kuno. Beberapa film lagi berusaha memutar otak untuk tidak terlihat plagiat, namun berusaha agar terlihat pintar. Di sini, kunci The Conjuring 2 terletak pada Valak yang ditampilkan amat menyeramkan, dan memancing rasa penasaran, yang berhasil membuat viral. Sekuens horor yang dijaga relatif sama dengan film sebelumnya, membuat penonton akrab dengan perkembangan cerita, dan saya rasa untuk sebagian kalangan, kesamaan ini membuat Valak lebih bebas melenggang dalam koridor yang telah disediakan sekuensnya.

Yang kedua, creative jumpscares merupakan aset penting dari film ini. Saya sangat sadar, bahwa formulasi horor karya Wan dan Whannell (and I see that his name does not credited in the tiny credits in the poster) banyak ditunjang pada pengambilan gambar yang dicoba seberbeda mungkin dengan film yang lain. Cara Valak yang pertama kali hadir lewat bayangan cermin di awal film, kemudian Valak yang mencengkram potretnya di rumah Warren, hantu kakek-kakek yang muncul saat Janet memukul-mukul TV yang tak kunjung menyala, adalah beberapa adegan kejutan yang sangat kreatif menurut saya, dan hal itu membuat The Conjuring 2 mampu meningkatkan atensi penonton untuk tetap merasa "kejutan apalagi nih yang muncul?". Kejutan-kejutan ini tidak bisa didapatkan di film-film sejenis, karena saya setengah percaya, film horor terkadang mempunyai seksi kreatif khusus yang memikirkan hal tersebut.

Mengisahkan poin kedua, saya merasa harus menghubungkan poin tersebut dengan pengalaman saya belakangan ini yang gagal melakukan marathon film horor Indonesia. Tolong catat, seberapa bapuknya Nayato Fio Nuala aka. Koya Pagayo, ia berhasil menciptakan standar jumpscare film horor Indonesia dengan jumlah produksi filmnya yang belasan tiap tahunnya (makin ke sini makin sedikit). Kegagalan tersebut dikarenakan, Nayato (atau Ery Sofid, atau Alim Sudio, or whoever in charge for screenplay), tidak berusaha lebih baik untuk mencari kejutan dalam film mereka. Saya hampir ngantuk menonton adegan seram: boncengin setan, di bawah kolong ada setan kayaknya terus nggak ada taunya ada di sebelah, nengok ke kiri nggak ada pas ke kanan ternyata ada. Adegan-adegan tersebut tak lebih dari usaha revival yang diambil dari adegan-adegan film zaman dahulu ataupun urban legend yang dimasukkan dalam adegan horor. Kalau mau tahu betapa pentingnya jumpscares pada penghargaan atas film horor, silakan ingat Pocong 2 dengan guling pocong dan lemari pocong, juga Pocong 3 dengan pocong yang melayang satu senti di atas wajah. Beberapa film mengemas satu adegan kejutan yang distinct dengan baik, dan percaya atau tidak, it does infers people's reaction over your movie.

The Conjuring 2 menghampiri kita dengan cara-cara berbeda, yang banyak memasukkan unsur yang berbeda dengan film horor supernatural lain. Hal ini tentu membedakannya dengan film-film serupa di Amerika Serikat, maupun dengan film horor supernatural lain. Dan kelebihan ini, mampu memperindah proses reading dan akting para pemainnya, karena saya rasa proses tersebut sangat terbantu dengan banyaknya elemen-elemen kejutan baru dalam film ini. Saya berpendapat, sisi cerita yang sebenarnya biasa saja, mampu dikemas dengan kedua elemen di atas, sehingga menghasilkan sebuah karya yang mengerikan dan memikat penonton.

Sayang sekali, dalam keprimaan kondisi The Conjuring 2, ia hanya akan kembali tampil sebagai film yang mampu mengagetkan dengan baik, tanpa menonjolkan sisi yang lain, untuk membuat ia dikenang sebagai sebuah horor yang sukses. Untuk beberapa orang seperti saya, yang lebih suka mengeksplorasi ranah lain dari horor, mungkin akan merasa The Conjuring 2 tak lagi seksi karena ia telah menghadirkan dirinya dala sebuah patron dan pola film horor kebanyakan, dan selain dari jump scare-nya, mungkin akan lebih baik bila installment ini diperuntukkan untuk orang-orang yang menyukai sajian horor yang cukup general

Untuk saya, mungkin saat ini mencari kisah horor yang twisting dan pintar, adalah opsi yang dipilih dari sekian banyak tema horor. Kembali pada hakikatnya karya seni, hakikatnya orang membenci dan memuji, memiliki dasar subyektivitas. Argumentasi pada keseraman The Conjuring mengingatkan saya pada cerita tentang debat berkepanjangan yang biasa timbul di forum-forum penggemar Kpop. Seberapa panjangnya mereka berargumen tentang kecantikan, kelihaian menari, kemerduan menyanyi, dan kemampuan akting serta lagu yang dibawakan, kita tetap harus ingat bahwa Kpop hanyalah musik populer yang diciptakan sesuai keinginannya untuk populer. Sama seperti hal itu, tidak adil bila kita menilai The Conjuring 2 rendah begitu saja. Seberapa panjangnya debat, pada akhirya itu kembali pada selera kita, dan bagaimana kita menilai sebuah film horor tertentu, sebagai film horor yang bagus atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar