Senin, 27 Juni 2016

[REVIEW] The Boy (2016)

SINOPSIS

Greta (Lauren Cohan) memutuskan pergi dari hubungan yang menyesakkan dari kekasihnya Cole, dengan mengambil pekerjaan sebagai babysitter untuk sebuah keluarga yang tinggal di pedalaman Inggris. Sesampainya di rumah keluarga tersebut, ia baru mengetahui bahwa anak lelaki yang akan diasuhnya adalah sebuah boneka porselen bernama Brahms, yang dianggap sebagai anak oleh Mr. dan Mrs. Hellshire. Mulanya, Greta menanggapi pekerjaan ini sebagai sebuah lelucon, dan tidak mengindahkan peraturan mengasuh Brahms. Namun, seiring waktu berlangsung, saat pasangan itu berlibur dan keluar dari rumah, Greta menyadari bahwa Brahms bukan benda mati begitu saja.


RATING
PG-13

REVIEW

Tahu film Kesurupan yang dibintangi Shareefa Danish dan Nia Ramadhani pada tahun 2008? Film itu bercerita tentang mahasiswa baru yang kesurupan setelah melakukan uji nyali di sebuah hutan. Meskipun film ini mengambil jalan yang berbeda dengan film-film horor lainnya, maksudnya ia lebih banyak menampilkan "Shareefa Danish do yoga intensely" dengan matanya yang melotot (lihat Rumah Dara untuk kemampuan khusus satu ini), Kesurupan "meminjam twist yang sudah usang dipakai oleh perfilman Indonesia. Pocong 3, 40 Hari Bangkitnya Pocong, dan Mati Suri adalah beberapa twist yang mempunyai persamaan konsep dengan Kesurupan. Meskipun film Kesurupan memiliki ending yang berbeda, namun saya tetap merasa bosan setelah menontonnya. Padahal, plot film tersebut bisa digali lebih baik lagi.



Film The Boy, dengan sangat menyesal, melalui jalan yang sama seperti film Kesurupan. Genre horor supernatural mungkin sedang sangat in di kalangan Hollywood, berbekal kesuksesan luar biasa dari James Wan dan Leigh Whannell dalam membuat film-filmnya (bahkan saya tak habis pikir, kenapa film horor mereka yang paling menyeramkan, Dead Silence, dahulu tak mendapatkan rating yang lebih baik). Ditambah dengan hadirnya beberapa horor seperti Sinister dan Paranormal Activity, Hollywood  segera latah dengan mengeluarkan film-film serupa.

Berbeda dengan film drama romantis yang sepertinya bebas menambahkan elemen apa saja untuk membuat jalan ceritanya jadi berbeda dari film-film sejenis (supaya kreatip dikit), film horor agak sulit melakukan hal serupa. Film horor itu menurut saya intinya ya di eksploitasi. Eksploitasi keanehan, keseraman, kekagetan, dan konsep cerita yang berbeda akan sangat membantu untuk membuat sang film bisa stand out from the rest. Toh orang bikin film horor tidak untuk supaya menang penghargaan, kan? Ambil contoh mudah, setelah The Last Exorcism, subgenre horor eksorsisme sulit bangun dari keterpurukan (selain The Conjuring mungkin ya). Berbekal template nama yang keseringan dipakai (The Exorcism of + [variabel nama]), film-film eksorsisme tak bisa lepas dari sekumpulan jumpscare semata. Jadi ya ... hanya terlihat seperti ikut-ikutan saja.


Dengan sangat menyesal untuk kedua kalinya, jalan tersebut dilalui oleh The Boy. The Boy sebenarnya punya konsep konyol tapi bikin penasaran. Bagaimana mungkin 20 tahun sepasang kakek nenek memutuskan untuk menyimpan boneka dan menganggap sebagai anak sendiri? Si boneka porselen hidup? Bagaimana caranya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan cukup telaten oleh si film, namun cara menjawabnya itu lho ... adalah dengan memberikan jump scare saja.

Dalam 90 menit durasi film, Greta dan Brahms (si boneka) telah melalui sebuah petualangan yang menarik. Lauren Cohan sebagai Greta tampil mengesankan untuk saya. Karakter Greta diperankan dengan cukup baik, karena di kebanyakan waktu ia mesti berakting sendirian tanpa pemeran pendukung, Cohen mampu "menampung" kosongnya rumah Hellshire selama beberapa puluh menit. Pace dan mood si Greta juga senantiasa berubah, termasuk dengan gaya rambutnya yang semakin berbeda dari awal film, untuk menunjukkan bahwa semakin lama ia di tempat itu, ia mulai kehilangan kewarasannya. It's a good choice to cast her.

Satu hal yang membuat saya agak tergelak adalah kehadiran Rupert Evans sebagai tokoh Malcolm yang seharusnya jadi pria kampung yang bertugas mengantar kebutuhan rumah Hellshire. Kerjaannya di sini sebenarnya lebih banyak menggoda si Greta, namun yang saya sebal adalah penggunaan aksennya yang di telinga saya kok terasa Amerika banget ya, hahaha. Saya tidak tahu apakah pendengaran saya salah, tapi memang meski film ini berlatar di Inggris, aksen pemain pendukungnya (yang seharusnya terdengar aksen Keminggris-nya ya), terdengar ala kadarnya saja.


Nah, aksen Keminggris (apa Kebritish ya) yang tak terlalu mumpuni, menjadi hal yang saya tekankan di sini, karena hal-hal lain yang menjadi seharusnya bisa menjadi fokus, ternyata tidak dikembangkan dengan baik. Saya awalnya justru suka dengan The Boy karena memperlihatkan tema kesepian dan kesendirian Greta di awal film, yang mungkin bakal membantu klimaks di akhir film. Namun, saya merasa banyak elemen-elemen yang tidak terasa perlu, seperti  adegan syur antara Malcolm dan Greta, atau kedatangan Cole, si mantan Greta, yang sepertinya kok maksain banget.

Selain jump scare yang bisa dihitung dengan jari, yang lebih tak menahankan diri adalah twist dari film ini. Sedikit bocoran, Anda mungkin pernah menonton Black Christmas, Housebound, The Pact, atau The People under the Stairs, mempunyai akhir yang serupa. Judul-judul tersebut itu judul horor, tapi mereka semua menggunakan subgenre yang berbeda agar filmnya bisa lebih menarik. Contohnya, Black Christmas itu film slasher, Housebound dan The People under the Stairs itu rada-rada komedi, dan The Pact itu agak-agak supernatural. Sebenarnya sih The Boy itu agak beda yaa dengan film-film horor di atas, jadi ada juga sedikit "kebaruan" dan "kesegaran" yang bisa dirasakan di sini. Cuma ya ... saya tak merasakan hal itu.

Akhir kata, The Boy mempunyai elemen-elemen yang membuatnya bisa jadi karya yang bagus. Ada aktor dan aktris yang baik, punya konsep yang menarik, dan perkembangan cerita yang cukup menarik pula. Namun, film ini lebih suka mengembangkan cerita dengan jumpscare dan mengakhiri ceritanya dengan terlalu biasa, sehingga membuat saya melangkah mundur teratur dan menganggap The Boy berakhir sama seperti kebanyakan film horor supranatural lain yang banyak kita temui di belantika horor belakangan ini.


2 komentar: