Senin, 04 Agustus 2014

[REVIEW]Divergent (2014)

SINOPSIS
Perang 100 tahun yang lalu telah memporak-porandakan seluruh peradaban di dunia. Kemudian, sisa-sisa manusia membuat sebuah sistem sosial baru di dinding-dinding tinggi yang mengukung reruntuhan Chicago. Sistem sosial itu dibagi lima; antara lain erudite yang terdiri dari orang-orang berpengetahuan dan bijak, candor sang penegak hukum yang tak dapat berdusta tentang kebenaran, amity yang berisi orang-orang petani yang suka kedamaian, abnegation yakni pelayan masyarakat yang berfungsi sebagai pengelola pemerintahan, dan dauntless, orang-orang bebas, prajurit pengawas dinding luar. Akan tetapi, di antara kelimanya ada satu keadaan langka yang disebut divergent dimana cara kerja otak mereka berbeda dan bisa berada di lebih dari satu status sosial. Masing-masing remaja diberikan hak untuk menentukan dimana mereka akan masuk.

Adalah Beatrice (Shailene Woodley) yang lahir dari keluarga abnegation yang mengetahui bahwa ia adalah seorang divergent. Namun, status itu membawa masalah, karena ternyata di antara rencana kudeta para erudite, para divergent dinilai berbahaya dan harus dibunuh. Beatrice yang memilih dauntless, lalu bertemu dengan Four (Theo James) seorang trainer para transfer, dan kemudian tertarik pada Tris, nama baru Beatrice. Perlahan di antara latihan, cinta, dan konflik yang terjadi, Beatrice harus mempertahankan rahasianya atau semua yang disayanginya akan terancam.


RATING
MPAA rating is PG-13 for intense violence and action, thematic elements and some sensuality

REVIEW
Saya tidak terlalu suka novel-novel pop, terlebih lagi novel remaja yang sok serius dan laris. Dulu wajar, ketika saya mengikuti Harry Potter, A Series of Unfortunate Events, hingga The Spiderwick Chronicles. Namun ketika novel seperti Twilight muncul, mulai deh saya alergi. Dengan hal-hal seperti Percy Jackson juga. Pada akhirnya saya memang kepincut dengan novel-novel yang lebih bertema serius. Yang paling saya ingat adalah The Hunger Games dimana saya harus berpacu dengan waktu di asrama untuk menamatkan novel-novel tebal yang dipinjam itu.

Semakin ke sini, rupanya minat dunia perfilman dan novel pada kisah-kisah remaja sebagai "agen perubahan" atau exploring new world seperti The Mortal Instruments. Kali ini, saya akan membahas sebuah film keluaran Maret 2014 bertajuk Divergent.
Pertama-tama, saya jadi jujur ingin membeli buku-bukunya. Ceritanya bisa dibilang sangat mengingatkan kita pada The Hunger Games. Maksudnya ada di daerah dystopian yang begitu mengganggu, norma sosial yang berubah, dan ada pembelotan. Kendati tampak berbeda, saya bila melihat sedikit Katniss Everdeen di sini. Ah, ketimbang membandingkan, lebih baik kita membahas film ini secara utuh.

Film yang berasal dari novel pertama dari trilogi karya Veronica Roth ini dimulai dengan narator yang menceritakan mengenai preface untuk menghadapi adegan film. Saya memang agak tertarik dengan film ini sejak lama, namun jujur saja untuk adegan preface seperti ini tak dinyana memang sudah tak orisinil. Bayangkan sekian banyak film menggunakan cara yang sama untuk mengenalkan dunianya.

Kita berlanjut dengan pengenalan tokoh. Sekali lagi, kendati sekilas Katniss Everdeen ada di sana, Shailene Woodley yang berperan sebagai Tris mampu mengembangkan karakter yang ia perankan dengan baik. Cerita sepanjang 137 menit ini bisa dilakoninya dengan baik. Mungkin inilah keistimewaan film adaptasi remaja, mereka memang tak banyak memasang aktor dan aktris terkenal. Kalau sudah begini caranya, tak dinyana Shailene Woodley dapat jadi next Kristen Stewart atau Jennifer Lawrence. 

Cerita film yang menarik, menurut saya memang disiapkan sebagai sebuah trilogi. Terlalu banyak tanya yang muncul daripada apa yang dituju film ini sebenarnya. Contohnya apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Apakah manusia zaman itu diprogram untuk bisa fit ke satu kategori? Karena menurut saya dengan logika-logika di film ini, semua orang adalah divergent. Semua otak orang indeed bekerja secara unik. Filmpun berlangsung terus, dengan adegan-adegan awal yang cukup seru, kendati semuanya terasa agak terburu-buru, namun kita masih dapat melihat adegan lompat-melompat dauntless yang membuat kaki saya berkeringat dingin itu.

Kemudian tampillah sejenis cowok-tipikal-para-cewek-remaja bernama Four yang diperankan Theo James. Keduanya yang kemudian menjalin cinta, sudah tak dinyana bersama adegan ciumannya sepaket dengan film-film remaja semacam ini. Hubungan yang dimunculkan keduanya terasa imbang. Memang si Theo ini terkadang beradegan canggung, seperti di adegan keduanya menaiki ferris wheel rongsokan, atau saat bersama dengan teman-temannya. Yah, selain itu untuk bagian roman-romannya (yang tentu saja semakin menit semakin banyak) mereka cukup pas sehingga bisa membangun pula perkembangan cerita.
Kemunculan Kate WInslet sebagai Jeanine yang berusaha menurunkan abnegation sebagai pengelola pemerintahan somehow tampak seperti Jodie Foster di Elysium. Selain itu, tokoh-tokoh lain selain geng Tris di dauntless (Christina dan Will) tampak bagai pelengkap cerita. Apa adanya, ya.

Hal yang paling menonjol bagi saya di film ini adalah alurnya yang menurut saya sangat tertebak. Walaupun ini berisi cerita baru, sayangnya penyelesaian semuanya harus begitu klise. Tentang orangtua yang meninggal demi melindungi anaknya, tentang mereka yang akhirnya kabur, akhir bahagia-enggak bahagia. Semua itu tentu sudah banyak dikenal oleh orang yang tahu formula cerita-cerita semacam ini. Entahlah apakah novelnya seperti ini pula, namun saya baru membaca kumcer rumit, jadi maklum deh kalau saya terlalu banyak mengharapkan sesuatu dari film yang seharusnya kita tonton dengan rileks.

Menyimpang dari alur tulisan, tiba-tiba saya berpikir kalau pas mereka disuruh milih itu kok jadi inget Harry Potter dan topi seleksi itu, ya? Ada juga yang banyak mengingatkan pada Ender's Game. Saya tak mungkir, seperti yang saya bilang di awal film ini lebih-kurang tak mampu untuk standout dari film-film sejenisnya yang memang hanya bertumpu dari sisi cerita. Untung saja pas bagian tes-tes menghadapi imaji ketakutan itu tidak mirip filmnya Tarsem itu lho. 

Bagi young adults yang ingin referensi novel terbaru kalau bosan dengan buku pelajaran, kelihatannya trilogi ini cocok untuk kalian. Bagi penggemar film remaja beginian, film ini juga layak tonton, kendati akhir kata walaupun kita disajikan pemeran utama yang baik, namun cerita yang terlalu ambisius (eh, agak sedikit berlebihan deh) dan beberapa jalinan cheesy membuat saya mencibir. Jujur saja, setelah si ibu mati, saya percepat adegan film yang sudah 4/5 jalan ini.
65%

Tidak ada komentar:

Posting Komentar