Senin, 04 Agustus 2014

[REVIEW]Grand Piano (2013)

SINOPSIS
Tom Selznick (Elijah Wood) adalah seorang pianis handal dan terkenal, sampai ia salah memainkan La Ciquette, sebuah lagu yang "tak mungkin dimainkan" karya mentor Tom sendiri, seorang pianis/komposer bernama Patrick Godureaux, karena ia demam panggung hebat. Malam ini, lima tahun kemudian, berkat bujukan sang istri Emma (Kerry Bishé) Tom menyetujui untuk bermain sebagai pianis di konser orkestra yang diadakan untuk memperingati kematian Godureaux yang tiba-tiba. Tom menggunakan piano Bosendorfer yang dirancang khusus untuk permainan karya Godureaux yang setelah konser akan diterbangkan ke Swiss.

Dalam pertunjukan, tepat menjadi perhatian utama seluruh penonton, Tom menyadari ada catatan merah yang mengancam; Seorang sniper siap menembak dirinya dan Emma apabila Tom salah memainkan nada. Beriringan dengan permainannya, Tom berusaha menyelamat sang istri dan nama baiknya, sambil berkomunikasi dengan sang penembak lewat earpiece. Hingga, di saat terakhir, Tom dipaksa oleh sang sniper memainkan La Ciquette dengan tepat.


RATING
MPAA rating is R for some language.

REVIEW
Sebenarnya, di pagi hari ini saya bingung mau nonton film apa. Saya sedang agak menjauhi film-film yang kontennya terlalu keras, maksudnya ada adegan bugal-bugil, dar-dor begtu. Makanya, setelah memilih beberapa film yang sudah lama diunduh, Grand Piano menjadi film yang tepat. Jujur saja, ketika melihat poster film yang mengesankan "thriller-murahan-yang-mencoba-pintar" saya jadi agak ilfeel. Terlebih, film tegang (thriller in Bahasa, katanya) yang dibintangi Elijah Wood tak pernah ada yang saya ingat. Dulu sepertinya pernah melihat boks DVD berjudul Oxford Murders atau semacamnya. Sampulnya juga gak mengenakkan. Ada juga film Maniac yang sampai sekarang belum pernah saya tonton. Maka dari itu, bisa dibilang saya tak berekspetasi tinggi pada film ini.
Lalu, kita melihat Elijah Wood, yang sampai sekarang, karena saya jarang mengikuti filmografinya, masih terlihat seperti Frodo Baggins yang tersohor itu. Film berdurasi 90 menit ini di awalnya berusaha menjelaskan background cerita lewat dialog-dialog, adegan piano yang dibawa, dan sikap pemeran pendukung seperti sang konduktor Norman. Pertamanya saya canggung dengan film ini, dan ikutan demam panggung ketika Tom berjalan ke panggung dan memainkan musik. Arghhhh.... kuran gajar! Saya ikutan mules!

Cerita yang ditulis Damien Chazelle ini perlahan mulai menunjukkan tajinya. Dengan segera thriller ini jadi menarik dan menegangkan. Apa pasal? Permainan 'demam panggung', 'gerakan piano yang tepat', dan 'akan ditembak' kedengaran begitu intens dan menjadikan film ini menarik kita. Seketika saya ingat pada film-film di set sempit seperti Red Eye atau Phone Booth. Namun, film ini memberikan kita ketegangan yang dihasilkan dari tekanan-tekanan. Saat itu, jujur saja Frodo Baggins berubah menjadi seorang pianis yang ingin menyelamatkan hidupnya, dan juga nama baiknya. John Cusack yang berperan sebagai si pengancam (dan entahlah apa ia juga yang memberi suara) menurut saya tidak bermain dengan menarik. Ia berlakon seperti biasa, dan ia juga muncul di paruh akhir film sehingga saya kurang mempedulikannya. Yang saya tilik adalah Wood. Bishé sebagai Emma, yang juga seorang aktris dan penyanyi, membawakan dirinya dengan baik. Tak lebih tak kurang. Ia tampak sebagai sidekick biasa.
Komposisi cerita ini, dimulai dari ketegangan saat menerima ancaman di kertas partitur hingga mendengarkan ancaman-ancaman si penembak (credited as Clem) juga permainan piano dan orkestra yang seakan mendukung musiknya. Kita benar-benar dihisap oleh ketegangan. Ketegangan yang intens ini sesekali dicairkan oleh tingkah teman Emma, Ashley dan kekasihnya Wayne yang bertindak 'kampung' di orkestra begitu. Syukurlah, semua ini terjadi betulan, bukan halusinasi ala-ala The Black Swan atau semacamnya, kendati motifnya masih uang-uang juga. Ketegangan yang semakin meningkat, diiringi dengan klimaks yang terduga (tapi keren), lalu dibalut anti-klimaks yang sedikit mengulur, adalah bumbu-bumbu yang tak boleh dilewatkan saat mencicipi film ini.
Orkestra, sebagai sesuatu yang mungkin jarang disentuh middle class seperti saya, lewat film ini memberikan impresi. Karena selain film ini banyak memberikan istilah-istilah baru, saya juga jadi tertarik menonton live seperti ini. Rodrigo Cortés yang menyutradarai Buried, tak heran mau menjadi produser untuk film ini. Ia menarik dengan caranya mengkombinasikan dua ketegangan dari pertaruhan nama dan nyawa. Untunglah, porsi ketegangan-takut-salah-nada perlahan dikurangi untuk memfokuskan pada kegiatan konfrontasi antara Clem dan Tom seiring dengan Emma yang bernyanyi diiringi permainan Norman.

Akhir kata, film Grand Piano berubah dari sekadar thriller yang mungkin dikira biasa, menjadi sesuatu yang favorable. Aih, mungkin tidak terlalu smart, tetapi penyajian di antara ketegangan musik benar-benar membuat penonton terdesak. Bagi kalian yang mungkin tertarik dengan thriller dari tipe baru, ataupun sekadar ingin melihat Elijah Wood (yang jarang saya liat), ini adalah sajian yang nikmat. 90 menit yang menegangkan dan terbungkus rapi.
Sedikit tambahan, mungkin ketika menonton film ini kita harus sedikit jeli untuk menangkap apa sebenarnya motif Clem, dan hubungan seperti apa yang terjadi di masa lalu, karena di sini kita tak diberikan adegan kilas balik.

87%


Tidak ada komentar:

Posting Komentar