Sabtu, 28 Desember 2013

[REVIEW]Eyes Wide Shut (1999)

SINOPSIS
Dr. William "Bill" Harford (Tom Cruise) baru saja mengetahui di tengah kehidupan perkawinannya dengan sang istri Alice (Nicole Kidman) pernah satu kali hampir melakukan affair. Hal tersebut memicunya untuk bermain affair juga. Di malam itu, ia tertuntun hingga memasuki sebuah perkumpulan rahasia dimana semua orang melakukan ritual hubungan badan dan... bertopeng.


RATING
Rated R for strong sexual content, nudity, language and some drug-related material

REVIEW
Film ini adalah film terakhir dari sineas Stanley Kubrick. Alkisah, lima hari setelah Kubrick menyerahkan hasil edit film ini ke Warner Bros., ia meninggal. Trivia filmnya pun sungguh menarik, dimana mereka mulai syuting dari tahun 1996 hingga pertengahan 1998. Melalui film ini (tanpa tendensi bahwa ini film terakhir sang sineas), mari kita menelusuri lagi apa yang diberikan Kubrick.

Bill adalah seorang dokter yang beristrikan seorang kurator seni, Alice. Hubungan keduanya agaknya baik-baik saja. Mereka sudah punya anah bernama Helena dan tampaknya, dengan segala penglihatan, kita diberikan sosok suami istri yang tampaknya baik-baik saja. Saat menghadiri pesta, kita diperlihatkan bahwa kedua suami istri ini, dengan sex appeal-nya, cukup digandrungi oleh lawan jenis. Ada apa di situ? Kali ini Kubrick agaknya ingin membuat sesuatu berupa erotika.
Namun, perlu dipahami bahwa ketika menonton film ini, kita tak akan merasa terpengaruh dengan filmnya. Maksudnya, kalau nanti bisa dilihat, semua aktivitas mereka yang sangat vulgar itu direkam bukan dengan zoom seakan ingin menunjukkan bahwa ini adalah adegan yang menggairahkan atau semacamnya. Ia malah terkesan misterius, menyeramkan, menegangkan. Adegan di rumah tersebut saat Bill menyusup diam-diam, membuat segala yang terjadi selanjutnya malah semakin menegangkan.

Banyak hal yang bisa kita tilik di film ini. Saya akan membahas satu persatu mulai dari durasinya. Yah... durasi film ini sangat lama, sangat panjang. Entahlah, apa saya pernah menonton film sepanjang 159 menit sebelumnya (mungkin sesuatu seperti Chika atau Titanic), namun Eyes Wide Shut memiliki banyak faktor-faktor yang bagus seperti sang sutradara dan pemeran utama. Tak heran, bila waktu dua jam lebih itu terasa singkat. Kendati, sangat banyak adegan-adegan yang bisa dipotong. Masing-masing film punya pola pikir sendiri, dan tampaknya waktu yang panjang tersebut adalah pilihan mereka. Memang beberapa kali membosankan, namun secara keseluruhan baik.

Ya, dampak dari lamanya durasi adalah film menjadi membosankan. Bagaimana caranya agar tidak membosankan? Itu sepertinya tergantung karena kita harus jeli meneliti apakah sebuah adegan itu koheren dengan adegan sebelum atau selanjutnya. Eyes Wide Shut, selama saya menonton, bukanlah sebuah film yang memiliki banyak koherensi seperti itu menurut saya. Adegan kala Bill mulai mengungkap apa yang terjadi seusai malam kemarin rupanya seperti ia kembali ke tempat-tempat sebelumnya. Ada sebuah subplot yang aneh melibatkan satu karakter bernama Domino, seorang pelacur yang didatangi Bill dan nyaris berhubungan badan, hingga keesokannya ia baru tahu kalau Domino terkena HIV. Karakter ini agak memaksa, tak punya hubungan. Bahkan kita tidak mengetahui kuat alasan Bill kembali ke tempat itu sambil membawakan makanan.
Jangan tanyakan saya soal segi filosofis. Kalau itu mah untuk pembicaraan lain.

Ada subplot lain mengenai Mandy, seorang perempuan yang ditemukan hampir overdosis di rumah Victor siapalah itu yang mengadakan pesta itu. Namanya seperti Mandy, dan ketika Bill membaca koran, artikel tentang seorang beauty queen meninggal karena overdosis, dan Bill menghubungkannya dengan perempuan di rumah perkumpulan yang berusaha memperingatkannya. Saya juga jadi bingung, kenapa tiba-tiba punya insight di artikel itu? Apa hubungannya? Perlu memaknai secara sangat dalam untuk bisa menelusuri jejak-jejak yang dibuat.
Hal yang agak menyebalkan adalah ketika film ini memberikan jalan yang begitu ambigu untuk mengakhiri filmnya. Di perkumpulan rahasia itu, kita melihat mereka begitu khusyuk, mengerikan, aneh, dan begitu asing. Dengan segala hal yang terjadi berikutnya, kita tentu mengira akan ada sesuatu yang mengancam Bill, walaupun nyatanya nanti Victor temannya menenangkan, bahwa tak ada ancaman atasnya, hanya sekadar untuk membuat Bill takut. Saat itu juga saya tidak terlalu sibuk untuk berpikir, apakah jangan-jangan ini cuma rekayasa? Apakah ini jangan-jangan cuma tipuan untuk membuat Bill tenang? Kita tak pernah mengetahui semua itu.

Eyes Wide Shut bukan film yang bisa dinikmati begitu saja. Kita perlu memahami tentang Kubrick, maupun tentang cerita serta aspek yang ada di dalam Bill. Kita baru bisa merasa senang menonton endingnya kalau paham akhir dari kondisi kejiwaan Bill. Ah sudahlah. Bagaimanapun, kendati seks adalah sesuatu yang sakral dan berada di antara dua orang yang telah diresmikan secara agama, kita bisa paham di film ini, terkadang kita begitu ingin meluapkan nafsu kita, yang terkadang malah berujung ke hal-hal yang tak baik.

Alhasil, Eyes Wide Shut sebagai film terakhir sineas jenius ini perlu diacungi jempol untuk segala usahanya di penutup usia. Sayang, bukan film terbaik dan memuaskan dahaga misteri menurut saya.

75%

Tidak ada komentar:

Posting Komentar