Sabtu, 23 Oktober 2021

[REVIEW] Mistisisme yang Memudar di Don't Breathe 2 (2021)

Don't Breathe 2 adalah sekuel film tahun 2016 besutan sutradara asal Fede Álvarez, sutradara asal Uruguay yang juga pernah menggawangi reka ulang film Evil Dead-nya Sam Raimi di tahun 2013. Film Don't Breathe seingat saya sangat sukses saat dirilis karena ceritanya terbilang simpel, tapi eksekusi dan ketegangan yang diciptakan sangat bikin nagih. Film Don't Breathe juga waktu itu keluar saat film-film yang menggunakan konsep deprivasi indera tubuh dirilis (A Quiet Place, It Follows(?), Lights Out). Namun, mistisisme kakek tuna netra yang menjadi antagonis di film tersebutlah yang menjadi juara, karena mampu membuat suasana "terjebak di rumah hantu" yang sangat efektif.

Di film keduanya, kakek tuna netra bernama Nordstrom (yang mengingatkan saya pada nama penyedia jasa VPN) menjadi protagonis. Delapan tahun setelah film pertama, ia hidup di kota kecil bersama Phoenix, gadis kecil yang dulu dipungutnya dari kejadian kebakaran yang menewaskan orangtuanya. Namun, suatu malam ayah Phoenix datang bersama komplotannya untuk mengambil Phoenix kembali.

Hal pertama yang saya rasakan adalah kekecewaan karena di film ini, kakek tuna netra yang begitu mistis di film pertama tidak lagi muncul. Ia bukanlah sosok antagonis dengan beragam kejutan dan hal baru yang ditunjukkan. Ia tampil sebagai kakek yang tangguh secara fisik, namun rapuh di dalam jiwanya. Kerapuhan tersebut ia kompensasi dengan melindungi Phoenix sebisa mungkin. Perkembangan karakter ini mungkin disukai sebagian orang, namun bagi saya yang menyukai sisi mistis di film pertama, tentunya cukup kecewa. Karena di sini tidak ada lagi kengerian yang bisa dieksplor dari kemampuan sang kakek yang belum kita pahami. Ditambah, perannya yang protagonis membuat apa pun yang dilakukan tidak bisa lagi membuat kita terkejut. Komplotan ayah Phoenix pun, meski brutal, tidak menjadikan adegan demi adegannya terasa menegangkan dan spesial.

Kemudian, hal berikutnya yang saya rasakan adalah, Nordstrom berubah seperti Toph Beifong (kalau nonton Avatar The Last Airbender) yang meskipun tuna netra, dapat mengindera sekitar dengan kakinya. Hampir tidak ada lagi eksplorasi kelemahan Nordstrom yang menjadi titik vital di plot film pertamanya. Disabilitas sang kakek terasa bagai sematan saja yang tanpanya pun, ia tetap perkasa dan mampu keluar dari situasi-situasi super sulit. Contohnya waktu ia mengambil semprotan aerosol dari mobil orang. Mana bisa ia tahu semportan tersebut bisa membantunya? Padahal bisa jadi itu Baygon atau piloks? Saya di sini tidak tahu sejauh apa kapabilitas seorang tuna netra dalam memaksimalkan indera lain, apakah bisa sampai seperti itu?

Lebih lanjut, disabilitas Nordstrom yang menjadi sematan, mengubah film ini tak ubahnya seperti Home Alone yang sangat formulaik. Hampir tidak ada lagi elemen kejutan dalam cerita selain unjuk kebolehan sang kakek. Aksi-aksi dan kejadian berdarah yang disuguhkan hanya sekadar aksi saja. Pengembangan karakter yang sejak awal tidak saya pedulikan, hanya membuat film ini semakin menye-menye dan jauh dari apa yang saya ekspetasikan ketika tahu sekuel film ini akan rilis. Mungkin ini untuk saya saja, tapi Don't Breathe sudah cukup bagus sebagai satu film dan dapat berdiri sendiri dengan segala hal yang belum terjawab dan diungkap, mengapa sekuel ini dirasa perlu?

Pada akhirnya, aksi kakek Nordstrom sepanjang film merupakan sesuatu yang asyik untuk ditonton (mungkin itulah yang jadi daya tarik film ini). Tetapi, suguhan cerita dan pengembangan karakter yang terlalu ditebak, menjadikan kemisteriusan film pertama yang jadi magnet sesungguhnya, tak lagi dapat ditemui. Untuk yang suka dengan film pertama karena aksi si kakek, film ini sangat tepat. Namun bagi yang mencari suasana dan ambiens yang sama seperti film pertama, mungkin lebih baik menonton ulang saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar