Selasa, 26 Oktober 2021

[REVIEW] Eksplorasi Kegamangan Iman dalam The Medium (2021)

The Medium (Rang zong) sudah lama dipromosikan oleh Joko Anwar melalui beberapa cuitannya di Twitter. Saya sendiri tidak ingat berapa kali, tapi dalam beberapa bulan terakhir, beliau sempat mengunggah poster film ini sambil memuji-mujinya. Kemudian, banyak orang yang sudah berkesempatan nonton, juga turut memberikan komentar positif. Ingar-bingar yang cukup banyak didengar membuat saya antusias kala bioskop dekat rumah menayangkan film hasil kerja sama Thailand-Korea Selatan ini. Awalnya saya kurang tertarik dengan film ini karena salah satu pihak yang membuat ceritanya adalah penulis dan sutradara The Wailing (karena bagi saya film tersebut cukup membosankan), tetapi film The Medium disutradarai oleh Banjong Pisanthanakun yang sering menggarap film horor bagus (Shutter, Alone, 4Bia). Ini juga adalah comeback pertamanya di bangku sutradara sejak terakhir menyutradarai komedi romantis One Day di 2016. 

Cerita The Medium boleh jadi memiliki premis yang cukup akrab bagi penikmat film horor. Sekelompok tim dokumenter berangkat ke daerah Isan di Thailand Utara untuk mengikuti kehidupan seorang Medium bernama Nim yang dirasuki oleh Dewi Bayan yang telah disembah oleh masyarakat setempat sejak dahulu kala. Dewi Bayan selalu memilih perempuan dari keluarga Nim secara turun-temurun dengan memberikan tanda-tanda dan kejadian aneh kepada perempuan yang terpilih untuk menjadi Medium selanjutnya. Proses syuting mulai jadi mencekam tatkala Mink, anak gadis kakak Nim, mulai menunjukkan perilaku aneh seusai kematian ayahnya. Awalnya, semua mengira Mink telah ditunjuk oleh sang dewi untuk menjadi Medium berikutnya, sampai Nim mulai yakin bahwa Mink sebenarnya dirasuki oleh sesuatu yang lain.

Kesan pertama saat selesai menonton film ini adalah, saya kaget film berdurasi dua jam ini (131 menit tepatnya) sama sekali tidak membosankan. Film ini mampu membangun alur cerita dan pembabakannya dengan baik, sehingga meski lama (ya, saya bisa merasakan film ini lama), tapi pertanyaan dan kejadian-kejadian yang dimunculkan selalu mampu membuat pantat saya senantiasa menempel di kursi bioskop untuk menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Selanjutnya, kelebihan yang saya temukan di film ini adalah tentang penggambaran utuh dari budaya dan elemen kearifan lokal khas Thailand, lengkap dengan seluruh tradisinya, yang mampu mengubah alur cerita horor "kerasukan setan" yang sudah klise, menjadi sesuatu yang sangat ulayat (indigenous), endemik, dan mengerikan. Sejak awal film, konsep dinamisme warga Isan digambarkan, dijabarkan, dan menjadi pisau analisis untuk membedah kejadian-kejadian aneh yang menimpa Nim dan keluarganya. Contohnya, konsep dosa leluhur yang mengakibatkan karma buruk bagi keturunannya atau tradisi menggunakan kunyit untuk menghalau roh jahat, masing-masing mengandung porsi yang cukup besar bagi cerita. Kita diajak untuk mengisolasi diri kita dalam Isan, seiring mengentalnya kengerian yang semakin memuncak.

The Medium juga tidak menggunakan setan narsis atau jumpscare yang berlebihan di dalam keseluruhan durasinya. Ia lebih banyak menggunakan elemen misteri (apa yang merasuki Mink, mengapa Mink bertingkah aneh, bagaimana prosesi upacara perasukan Dewi Bayan) untuk membuat kita tetap bertahan. Di dalam dua jam, The Medium juga sabar dan rapi untuk mengeluarkan subplot-subplot kecil agar kita tidak kebosanan. Interaksi Mink bersama sahabatnya, kondisi kerjanya, atau hubungan Nim dan Noi (kakak kandung Nim, ibu kandung Mink), tidak tumpang tindih dengan plot utama yang mungkin membuat kita keteteran mengikuti jalan cerita. Ia konsisten menggarisbawahi apa plot utamanya dan bagaimana penyelesaiannya. Semua jumpscare nantinya akan dimuntahkan di adegan klimaks film. Beberapa di antaranya cukup mudah ditebak sih, tapi karena elemen misteri yang sudah terbangun sejak awal film dimulai, bikin hampir semua jumpscare-nya efektif. Rasa takut, kaget, dan penasaran  campur aduk sekaligus.

Gaya film mockumentary yang terbiasa tak menampilkan jawaban gamblang, juga merupakan salah satu poin yang meningkatkan keseraman film ini. Sedari awal, keanehan Mink membuat kita ragu apa yang sebenarnya merasukinya. Atau jangan-jangan ini hanyalah psikosis yang "diwariskan" secara turun-temurun? Ini tidak pernah dibahas secara rinci, karena film lebih banyak membahas narasi kepercayaan setempat yang menggunakan upacara dan sebagainya. Bahkan sampai film berakhir, misteri ini masih tersisa. Kita diminta mengumpulkan keping-keping kejadian yang sudah ditunjukkan, dan diminta untuk memberi kesimpulan sendiri. Hal ini membuat saya senantiasa mengulang-ulang adegan The Medium di otak, sampai kadang-kadang jadi merasa ngeri sendiri, hahaha. Mungkin agak terasa kurang memuaskan karena jawabannya tidak benar-benar clear, tapi pertanyaan yang sengaja tersisa malah membuat kegamangan, kemasygulan, dan keputusasaan yang ditunjukkan oleh karakter-karakter film ini semakin relatable dan substansial sebagai kengerian sesungguhnya, alih-alih jumpscare dan adegan klimaks yang penuh darah.


Soal kegamangan ini, menurut saya adalah inti dari film The Medium. Karakter Noi yang pindah keyakinan dari kepercayaan setempat ke agama Kristen, merupakan panduan kita untuk memahami film lebih jauh. Noi awalnya tampil sebagai kakak yang jauh dari adiknya karena menganut ajaran yang berbeda dan tidak ingin berdekatan dengan kepercayaan itu lagi. Namun, keanehan Mink yang tidak kunjung terjawab dengan keyakinannya sekarang, membuat Noi harus pragmatis. Ketiadaan jawaban yang mampu menyembuhkan puterinya, membuat ia kembali pada kepercayaan lamanya. Di satu dialog, bahkan Noi mengatakan satu hal yang kurang lebih berbunyi "Aku harus menyembah siapa lagi? Buddha? Yesus?". 

Sajian kegamangan ini berbeda dengan kegamangan ala pastor-pastor di film kerasukan Hollywood, yang membuat narasi keimanan yang linear, dikotomis, dan otoritatif, atau menghitamputihkan "Saya kehilangan iman" dan "Saya beriman sepenuhnya". Noi di sini menjadi seorang yang radikal, hanya untuk puterinya, dan menjalani ritual, berdoa, menyembah, memberikan sesajen, sebagai alat terbaik dari kata-kata orang di sekitarnya. Hal ini mengingatkan saya pada gambaran lebih jenaka yang diperlihatkan tokoh Beni Gabor di film The Mummy (1999). Saat berhadapan dengan sang mumi, ia membawa kalung dengan berbagai simbol agama sambil merapal doa sesuai kalung yang ditunjukkan. Noi pun jika bisa akan melakukan hal yang sama. Kasih sayang seorang Ibu ditunjukkan sebagai hal yang absolut di sini.

Keputusasaan itu juga sempat terlihat saat Nim melakukan ritual di depan pohon yang diduga berisi arwah yang mengganggu Mink. Ia terus berdoa, menegakkan lilin-lilin di sekitarnya, dan memecahkan telur berkali-kali untuk mencari jawaban. Bagaimana seorang Medium yang tampil sebagai tokoh otoritatif di film ini tidak memiliki jawaban atas apa yang akan terjadi, menurut saya adalah fakta paling mengerikan di film ini. Kepercayaan yang telah begitu berakar dalam akal dan dijalankan sepenuh hati oleh masyarakat, yang dipersonifikasi sebagai Nim, ternyata tak menjadikan Nim lebih tahu dari karakter-karakter lain. Lantas, yang mana yang harus dipercaya? Yang mana penjelasan yang paling benar? Di wajah teror yang terus ditunjukkan, kegamangan dan iman seolah-olah tak bisa menjadi pegangan.

Eksplorasi ini jika diresapi lebih dalam, mulai mempertanyakan tentang seperti bagaimana manusia harus hidup di dalam kegamangan dunia dan kejadian di seluruh dunia ini yang tidak terjelaskan? Bagaimana manusia bisa hidup damai dengan seluruh chaos tanpa jawaban yang memuaskan? Bagaimana manusia bisa menghadapi pertanyaan-pertanyaan tanpa pisau analisis yang tidak menawarkan jawaban instan? Kegelapan narasi ini sedikit tergambar di akhir film. Tapi di sisi positifnya, film juga menunjukkan sejauh mana kita harus berusaha hingga jawaban ditemukan? Seberapa kuat kita harus bertahan pada keyakinan kita hingga waktu kita usai? Deretan pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut mengubah sajian horor jadi pertanyaan filosofis mengenai kepercayaan kita. Yang jelas, kita tahu selama kita masih bisa, kita harus berusaha.

Lapis-lapis plot dan filosofi di baliknya menjadikan film ini sangat mengenyangkan bagi saya. Kita sudah dapat puas dengan sajian kengerian dan berhenti di sana, atau mau menikmati lebih dalam dengan memperhatikan pesan-pesan tersembunyi di baliknya. Di manapun kita memutuskan untuk puas, The Medium mampu menempatkan dirinya sebagai salah satu film horor, atau bahkan film, terbaik yang pernah saya tonton belaangan ini. Oleh karena itu, film ini, seperti kata orang-orang lain, memang pantas dan patut untuk dipuji. Film horor biasanya memang mengutamakan kualitas eksploitasi keseraman atau kekejian secara teknis (lihat The Conjuring atau Halloween), tetapi The Medium menawarkan eksplorasi kepercayaan dan kegamangan sebagai sesuatu yang lebih mendalam dan mendasar, sesuatu yang ternyata menjadi jauh lebih mengerikan.

*Seluruh gambar diambil dari trailer resmi The Medium.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar