Senin, 27 Juni 2016

[REVIEW] Deadly Home (2015)


SINOPSIS

Anna baru saja kehilangan kakaknya yang mampu melindunginya dari segala situasi. Namun, ketakutannya untuk menginjakkan kaki di luar rumah membuatnya tak mampu menghadiri pemakaman Conrad. Ketakutan tersebut membuatnya bertemu dengan tiga orang yang tiba-tiba saja datang ke rumahnya, berniat untuk mencari uang yang dimilikinya. Sayang sekali, di balik ketakutan Anna, tersembunyi sebuah rahasia yang lebih dalam lagi. Rahasia yang lebih berdarah untuk diketahui.


RATING

R for violence and language

REVIEW

Dulu, waktu pertama kali menonton Sinister, saya nge-pause adegan dan bergumam pada diri sendiri, harusnya horor Amerika itu seperti ini. Hal yang sama terjadi untuk film ini. Film yang mempunyai banyak alternate title seperti Shut In dan Intruders ini, mempunyai banyak paket kejutan yang membuat kita terus menerus merasa nikmat menyaksikannya.

Genre revenge horror adalah genre yang cukup populer di kalangan filmaker horor sejak lama. Dahulu, ada film I Spit on Your Grave dan The Last House on the Left yang cukup kontroversial karena ada adegan pemerkosaannya. Namun, adegan selanjutnya menjadi nikmat karena mereka mencoba untuk merekonstruksikan bagaimana seorang perempuan yang nyaris meregang nyawa, membalas apa yang telah dilakukan untuknya. Contoh sukses dari film genre ini adalah You're Next yang pantas menjadi Home Alone edisi dewasa. Film Deadly Home mengambil ide awam yang sama, namun mengambil plot yang sama sekali berbeda.

Deadly Home dimulai dengan kebingungan saya. Sejak paruh pertama film, saya tidak menemukan (dan ternyata hingga akhir), adanya deskripsi mengenai agoraphobia, atau ketakutan yang berlebihan terhadap lapangan luas, terhadap dunia luar. Dan memang, sinopsis di atas saya buat agar kata agoraphobia tidak banyak muncul, tidak seperti sinopsis resminya yang bagi saya terlalu menipu. Kebingungan ini juga dimulai karena pembahasan tentang Conrad tidak dibahas di sinopsis, namun bagaimana pun, film ini dengan cukup baik mencoba memberitahu apa-apa saja yang sebenarnya terjadi.

Kemudian, segalanya berubah ketika datang segerombolan orang yang ingin mencari uang, dan dengan aksi kecut Anna yang tak berani keluar, mereka tentu mengira pekerjaan akan semakin mudah. Namun, ketika mereka masuk ke basement dan tangga basement dimasukkan ke dalam dinding, kita tahu kita akan menyaksikan sebuah kisah yang belum pernah kita saksikan. Berbeda dengan film lain yang mengambil titik tolak dari kemampuan tokoh utama untuk membalas, film ini sebelumnya telah menyajikan bagaimana Anna bisa sangat submisif dan rapuh. Hal itulah yang membuat kita akan dibuat terus bertanya-tanya mengenai kelanjutan film ini.

Kita mula-mula dibawa untuk melihat bagaimana Anna bisa begitu rapuh dan bersikap tragis pada segala hal yang ada di sekitarnya. Namun, ketika ada sekelompok orang mencari uang, ternyata Anna bisa menjadi sedemikian berbeda. Di titik ini, kita mulai melihat Anna mengembangkan kepribadiannya menjadi semakin aneh, kalau istilah itu boleh diungkapkan. Dia seakan-akan, tak mempunyai satu stand point yang jelas terkait kerapuhannya. Apakah mungkin seorang Anna yang rapuh mampu memukuli orang dengan palu hingga mati? Apakah mungkin seorang Anna mampu menyiksa orang? Hal-hal tersebut menjadi plot hole sekaligus kelebihan film ini.

Apabila Home Alone menggunakan kreativitas Macaulay Culkin dan kebodohan para penjahatnya, Deadly Home menggunakan premis-premis "masa lalu" yang ditunjukkan lewat ruangan-ruangan siksaan yang tersembunyi di dalam rumah. Kita diajak untuk mengenal siapa Anna dan apa yang sebenarnya terjadi kepadanya 10 tahun silam, dan apa dinamika keluarganya, melalui serangkaian tindakan dan penyiksaan yang dilakukannya. Ajakan seperti ini memang sedikit mengesalkan untuk kita yang sudah banyak berekspetasi terlalu tinggi kepada Anna atau kepada film ini. Saran saya jelas, tonton saja dengan santai. Film ini berniat untuk selesai dengan caranya sendiri.

Selain premis-premis tersebut (nganu, ada gudang senjata tajam, ruangan tidur dengan kaca satu arah, ada mikrofon dan labirin rahasia), ada pula penjahatnya yang sayang sekali, tak mampu memberikan impresi yang menarik untuk penonton. Meskipun penjahat-penjahat ini memiliki spektrum yang menarik: penjahat pintar, penjahat clumsy, penjahat yang terlalu baik. Ketiga kepribadian ini sedianya konsisten dalam film, namun tak banyak dimanfaatkan dengan baik untuk membuat dinamika film ini lebih berkembang.

Kekuatan utama dari film ini (agar saya masih bisa bertahan hingga akhir) adalah bagaimana skenarionya mampu menyajikan "jebakan-jebakan" bagi penonton agar tetap berusaha mengikuti alur yang serba tersembunyi. Revenge horror yang disajikan tak sekadar pembalasan dendam semata, melainkan di dalamnya skenario dengan niat, mengupas satu-persatu adegan-adegan kecil dalam film. Sayang sekali, kupasan-kupasannya tak dibahas hingga selesai sehingga menyisakan pertanyaan. Terlebih, cara mengungkap kenapa sampai ada ruangan basement yang unik tersebut, tidak disampaikan dengan sebuah kepastian, melainkan lewat cara menduga-duga dari salah satu penjahat.

Mungkin Deadly Home bukanlah film yang sepopuler You're Next. Ia punya berbagai macam judul, ada plot hole yang mudah ditemui, dan karakter-karakter yang mungkin kurang real. Namun, Deadly Home berhasil membuktikan bahwa revenge horror masih mempunyai banyak plot yang masih bisa digali, dan masih bisa segar untuk diangkat. Dan adalah sebuah kesalahan apabila kita mengira sebuah film horor selalu diduplikasi dan membosankan. Film horor masih punya harapan di ide-ide yang berserakan di film-film yang bersender di festival-festival, dan adalah usaha kita untuk mengapresiasi film-film tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar