Selasa, 28 Juni 2016

[REVIEW] Doubt (2008)

SINOPSIS

Berdasarkan naskah teater pemenang Pulitzer, Suster Aloysius Beauvier (Meryl Streep) adalah kepala sekolah katolik yang ketat dan tegas. Terganggunya ia melihat ide-ide progresif dari Bapa Flynn (Philip Seymour-Hoffman), membuatnya melihat ada ketidakberesan mengenai dirinya. Hal itu semakin diperkuat dengan laporan seorang suster baru bernama James (Amy Adams), yang mengetahui anak didiknya, Donald Miller, anak altar dan satu-satunya siswa berkulit hitam di sekolah tersebut, bermuka pucat setelah dipanggil ke ruangan Bapa Flynn saat pelajaran berlangsung. Suster Aloysius berusaha untuk membuktikan kecurigaannya, namun justru semakin terikat pada keraguan dan kepastiannya. Di antara seluruh kepastiannya akan aturan-aturan yang dimilikinya, mungkin saat ini yang dimilikinya hanyalah keraguan.

RATING

MPAA rating is PG-13 for thematic elements


REVIEW

Zaman dahulu kala waktu saya masih suka membeli DVD dan VCD, Doubt merupakan film yang intrigued menurut saya. Seperti orang awam kebanyakan, menonton Doubt terlihat membosankan dan tidak menyajikan apapun yang menarik hati, hingga di menit-menit awal, sepertinya saya menghentikan pemutar cakram dan melupakan kehadiran film ini. Sekarang, saya menyadari bahwa Doubt seperti film-film yang dirilis pada akhir tahun, diproduksi oleh rumah produksi-rumah produksi terkenal untuk menciptakan film yang relatif lebih artsy dan mencoba untuk fokus pada ranah-ranah konsep maupun teknis. Ranah-ranah yang berpotensi menggaet nominasi dan penghargaan perfilman yang banyak diselenggarakan di jelang akhir tahun.

Menonton Doubt saat ini, di tengah ketertarikan saya terhadap isu-isu agama dan sosial, ternyata menjadi sebuah kenikmatan yang mencengkeram saya tetap berada di kursinya. Doubt sendiri dari bibitnya, sudah merupakan naskah berkualitas yang ditulis John Patrick Shanley yang memenangi penghargaan. Deretan cast yang sudah luar biasa dan berlangganan piala, semakin membuat film drama ini mempunyai banyak kemungkinan baik. Tentu saja, deretan nominasi dan kemenangan didapuk oleh film ini.


Doubt sendiri bagi saya berkisah tentang banyak hal yang terjadi dalam hal isu keagamaan di tahun 1960-an, tepatnya di Amerika Serikat. Ada isu pencabulan (sodomi) yang selalu terjadi dari waktu ke waktu, ada isu sekularisme yang semakin merebak puluhan tahun setelah Perang Dunia II, ada isu tentang Kennedy yang terbunuh, ada isu kulit hitam juga. Doubt berusaha mengambil porsi-porsi dari isu tersebut menjadi sebuah film yang banyak berfokus di akting dan naskahnya.

Adalah sebuah keberuntungan, bahwa Doubt mampu menarik perhatian jajaran main cast ini, yang mumpuni dalam menunjukkan kebolehan berakting dengan amat baik. Panggung utama di film ini terletak dalam emosi dan dialog yang dimainkan dengan apik seperti biasa oleh Meryl Streep. Kemampuannya mendalami karakter Suster Aloysius yang kaku dalam menghadapi kebaruan-kebaruan yang terpancang tepat di sekolahnya, membuat karakter ini juga harus menyimpan kerapuhan-kerapuhan di samping dialog-dialognya yang nyinyir demi terlihat tegar. Satu buah hal yang saya suka, karakter yang dimainkan dengan apik tersebut justru tak menjadikan kita kesal dan ingin menamparnya seperti tokoh antagonis di sinetron Indonesia kebanyakan. Suster Aloysius justru menjadi mengasihankan sekaligus misterius, mengenai apa sebenarnya cara ia memandang hidup? Apa sebenarnya yang membuat ia berlaku demikian?


Kuatnya karakter Aloysius, uniknya tidak begitu saja menenggelamkan akting aktor lainnya. Amy Adams berperan apik pula sebagai seorang suster yang lugu, Suster James, yang merepresentasikan generasi agama yang mulai menjadi dualis. Ia mencoba untuk tegar, di sisi lain, kebaruan-kebaruan peradaban Amerika Serikat belum cukup ditanggapi secara dewasa, begitu pun dalam "menyelidiki" masalah Bapa Flynn. Keluguannya beberapa kali memang terlihat agak memaksakan diri, namun keluguan itulah yang membuat Suster James tampil berbeda dari main cast lain, dan mampu mendapatkan anugerah sebagai posisi yang mungkin akan kita ambil juga apabila "masuk" dalam skenario Doubt.

Di sisi lain, ada Philip Seymour-Hoffman yang menjadi bahan diskusi dan perdebatan sepanjang film. Tingkahlakunya yang teramat baik pada seluruh siswa, mengapa itu mengganggu? Bapa Flynn merupakan kunci dari film ini, entah bagaimana proses reading dan kemauan sang sutradara, namun Bapa Flynn yang mencoba untuk tenang di segala sesuatu (sepertinya di beberapa adegan klimaks juga tidak menampilkan ekspresi yang distinguished), menjadi tumpuan dari reaksi-reaksi ekspresif dari kedua lawan main. Ketenanganya membuat cerita yang dibawakan menjadi semakin ambigu. Ambiguitas tersebut tidak berakhir kala cerita berakhir, karena Bapa Flynn dengan baik mampu menyembunyikan ekspresi-ekspresi yang dapat tertafsirkan, menyajikan Doubt menjadi doubt bagi yang menontonnya.


Ada seorang lagi yang harus kita sandingkan apabila membahas akting di film ini. Beliau adalah Viola Davis yang hanya tampil dalam satu adegan, saat berbicara dengan Suster Aloysius. In an instant, she's become my bias. Tokoh satu ini mampu menunjukkan karakternya dalam satu shot yang panjang, yang menceritakan tentang dirinya, tentang anaknya, tentang keadaan sosial yang dihadapinya, dan bersamaan dengan itu, menginginkan adanya keuntungan pragmatis dari gereja untuk masa depan keluarganya. Rangkaian ekspresi yang ditunjukkannya selama adegan berjalan dengan Meryl Streep, menunjukkan bahwa Mrs. Miller, tokoh yang diperankan Mrs. Davis, mengambil peran yang sama sekali penting dalam perkembangan film ini.

Mengesampingkan sisi pemainnya yang luar biasa, naskah Doubt cukup biasa apabila dibandingkan dengan film lain. Memang, naskah ini menuntut kebolehan berakting, namun Doubt tidak sempat menunjukkan kepiawaian penyusunan cerita selain dengan dialog-dialog yang enak disimak dari para pemainnya. Hal tersebut menyebabkan, Doubt membutuhkan kualitas akting yang prima untuk menjadikan naskahnya menarik. Sebuah hal yang cukup unik menurut saya. Namun, pada beberapa bagian penting, naskah menunjukkan kepiawaiannya dalam meramu kemungkinan-kemungkinan mengenai apa yang sebenarnya Bapa Flynn lakukan. Lewat dialog dan akting itu lah, Doubt menjadikan dirinya menjadi suspenseful, sekaligus menjadi bahan perdebatan untuk menentukan tentang kenyataan Bapa Flynn.

Diimbangi dengan nuansa musik dari gereja yang amat tradisional, secara teknis, Doubt telah mencobakan agar nuansa-nuansa film masuk kepada kita. Tapi sekali lagi, akting mengalahkan segalanya. Bahkan, cara toning film yang tidak melakukan "penjadulan warna", yang mengakibatkan departemen teknis tidak banyak mengambil peran yang cukup mendalam untuk menuansakan deskripsi keagamaan 1960-an yang sudah saya deskripsikan sebelumnya. Speaking seriously, Doubt membuat saya merenung, bahwa mungkin kejadian yang ada di dalamnya memotret adanya perbedaan-perbedaan pandangan di dalam satu institusi yang diminta untuk berubah.


Institusi agama bukanlah institusi yang mudah untuk berubah. Ada kebiasaan-kebiasaan lama yang ternyata tak dapat ditafsirkan ke dalam masa kini begitu saja, dan hal tersebut membuat adanya letupan-letupan pemberontakan. Di dalam Psikologi Industri Organisasi, hal tersebut bisa dikatakan sebagai organizational change. Letupan-letupan ini, seringkali menjadikan perubahan itu semakin terjadi, dikarenakan pada akhirnya, baik yang menolak maupun yang setuju akan adanya perubahan, mereka harus melalui tahap berpikir dan merenung untuk saling mengalahkan, yang mana di dalam tahap itu, masing-masing bisa menemukan kebenaran dalam argumen lainnya. Doubt bagi saya, tampil untuk menunjukkan letupan pemberontakan dan tentu saja, keraguan tersebut.

Dapat disimpulkan, melalui akting yang amat mumpuni, departemen skenario dan teknis akan amat berterimakasih dalam menjadikan film yang bisa menjadi biasa ini, menjadi amat menarik dan luar biasa. Menampilkan beberapa sisi dari intrik sosial secara minimal dan mengeksposnya lewat dialog, menjadikan Doubt sebagai sajian mengenyangkan bagi yang ingin menikmati hidangan film dengan akting yang prima. Melalui Doubt agaknya saya menyadari bahwa dalam wacana-wacana kebudayaan populer, tetap ada pasar-pasar penonton yang perlu dirangkul. Pasar skenario yang brilian, pasar efek visual, pasar akting, hingga pasar pameran fisik, memerlukan sajiannya sendiri-sendiri. Mungkin kita perlu membiasakan diri untuk berefleksi pada kenikmatan kita dari melihat suatu film. Siapa tahu, semakin dewasa kita, kita akan jatuh hati pada jenis film yang tak kita sangka sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar