Kamis, 11 November 2021

[REVIEW] Halloween (1978): Bujet minimal, kengerian maksimal

Meresensi film klasik itu cukup sulit. Selain aksesnya yang tidak mudah untuk menyaksikannya, film klasik biasanya sudah begitu sering dijelaskan, dipaparkan, dan dibedah habis-habisan di internet. Hal tersebut membuat kejutan-kejutan yang ditawarkan film tersebut nyaris hilang. Termasuk film Halloween (1978) ini. Ia selalu disebut-sebut sebagai salah satu pionir formula film jagal di Hollywood. Bujet rendah, pembunuh ikonik, adegan remaja yang binal, menjadi pakem standar bagi film-film jagal selanjutnya.

Penyebutan jargon itulah yang membuat saya akhirnya jadi penasaran untuk menontonnya. Kalau tidak salah, sekitar beberapa tahun yang lalu saya pernah menontonnya lewat Torrent, tapi sudah keburu lupa dan tidak banyak kesan yang saya ingat. Oleh karena itu, saya mencoba menonton kembali filmnya dan mengulasnya di sini.

Premis Halloween (1978) sudah sangat akrab buat yang sudah sering menonton film-film begini. Seorang pria bernama Michael Myers dulu membunuh kakaknya sendiri saat umurnya masih 6 tahun di malam Halloween. Di malam Halloween 16 tahun kemudian, ia kabur dari rumah sakit jiwa tempatnya dirawat/ditahan dan menguntit seorang gadis bernama Laurie Strode (Jamie Lee Curtis). Penguntitan tersebut segera jadi mengerikan saat Mihael mulai membunuh lagi.

Salah satu kesulitan untuk menilai keseraman film tahun 1978 (atau film yang dirilis lebih dari 40 tahun yang lalu) adalah aspek teknis dan konsep kengerian yang sangat berbeda. Film-film horor sekarang mampu menggunakan efek, pengaruh pencahayaan, dan musik serta suara yang lebih canggih, sehingga lebih dapat menyebabkan jumpscare yang lebih ngeri. Namun, saya rasa film-film dulu tidak banyak menawarkan hal tersebut. Konsep kengerian yang banyak diambil adalah adegan klimaks mengerikan yang terjadi cukup panjang, tanpa elemen-elemen teknis khas jumpscare.

Film ini contohnya, menggunakan aksi menguntit Michael yang perlahan-lahan, untuk membangun ketakutan penonton dengan menggunakan banyak elemen (ada benda jatuh, ada suara di kejauhan), namun klimaksnya bagi saya kurang terasa seram (meskipun musik khas John Carpenter di sini sangat membantu suasana ngerinya). Aksi Michael dalam membunuh juga tidak berdarah-darah seperti film lainnya. Ia lebih mampu membangun suasana menjadi seram, tapi jumpscare-jumpscare-nya kurang kena di saya. Make sense, nggak ya? Hahaha.

Salah satu hal yang membuat saya salut adalah, film ini mempunyai konsep tentang kejahatan yang sangat menarik untuk dikuliti. Kehadiran Michael Myers yang sedemikian kejam, membuat kita bertanya-tanya tentang sosoknya. Kemisteriusan inilah yang mungkin menjadi bumbu terbaik di Halloween. Ia terasa begitu dekat dan personal (kembali ke kota tempat ia dulu tinggal, kembali ke rumahnya, menguntit orang yang ia lihat pertama kali di kota tersebut) dibandingkan dengan film-film jagal lain yang menggunakan elemen hari besar/latar tempat untuk mengeksploitasi keseraman.

Satu hal lain lagi, meski dananya terbatas (film ini diproduksi secara independen), Halloween mampu memanfaatkannya dengan baik untuk membuat suasana mencekam. Salah satunya, kesulitan untuk mendapatkan pencahayaan yang bagus membuat kegelapan di film ini benar-benar berasal dari ketiadaan lampu. Hal ini ternyata membuat beberapa adegan ikonik seperti topeng Michael yang muncul dari kegelapan, tepat di belakang orang lain. Adegan-adegan ini tidak terlalu mengerikan, namun tetap berkesan dan cukup membuat saya bergidik.

Saya akui, film Halloween (1978) terasa kurang mampu membuat kita deg-degan karena jumpscare yang bertubi-tubi, tak seperti film-film sekarang. Namun, konsep dan penggambaran kekejaman yang minim darah dan penuh suasana teror yang dibangun dari keterbatasan dana yang ada, membuatnya mampu tampil dan senantiasa tampi, menjadi film jagal berbeda dari kebanyakan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar