Sabtu, 13 November 2021

[REVIEW] Black Sunday (1960) memang pantas menjadi film horor klasik yang mengerikan

Saat menilai film horor jadul itu bagus atau tidak, kadang saya merasa kesulitan karena cita rasa seramnya mereka sudah tidak bisa lagi saya rasakan. Hal ini mungkin disebabkan saya sudah terlanjur dibiasakan dengan adegan berdarah yang maha kejam dan jumpscare yang diiringi musik dan suara memekakkan telinga. Saya pernah menonton beberapa film horor jadul hitam putih seperti The Innocents (1961) dan The Haunting (1963) yang sering masuk dalam daftar film horor terbaik sepanjang masa, tapi ya ... saya kurang bisa menangkap letak seramnya. Musik/suara dan gambarnya, tidak akan seekstrim film-film horor zaman sekarang.

Oleh karena itu, pengalaman menonton film Black Sunday adalah kejutan menyenangkan bagi saya. Film yang dirilis tahun 1960 ini merupakan debut sineas Italia Mario Bava sebagai sutradara, yang mana, beliau nantinya akan dikenal sebagai salah satu ikon film horor Italia dan dunia. Berbeda dengan kedua film hitam putih yang saya sebutkan di atas, film ini tidak perlu waktu lama untuk "memanaskan" penonton dengan sajian seramnya, dan hal tersebut sudah cukup untuk memasukkannya ke dalam daftar kategori film favorit saya.

Black Sunday yang berjudul asli La maschera del demonio (Topeng Setan), dimulai dengan adegan penghakiman atas seorang penyihir/pemuja setan dan pengabdinya oleh kakaknya sendiri. Keduanya dihukum mengenakan topeng berpaku dan akan dibakar, namun hujan tiba-tiba muncul sehingga mereka dikubur hidup-hidup. Dua abad kemudian, seorang dokter senior dan asistennya secara tidak sengaja menemukan makam penyihir tersebut dan membangkitkannya. Proses kebangkitan sang penyihir mulai membawa korban, sebagai jalan untuk menuntaskan dendamnya pada keturunan sang kakak hingga mereka habis tak bersisa.




Dari awal film, saya sudah dibuat ternganga kala topeng yang bagian dalamnya berjeruji itu, dipalu ke wajah sang penyihir. Kutukan yang diucapkan oleh si penyihir menjadi semakin menyeramkan, karena situasi yang dibangun (lengkap dengan batang-batang pohon kering tak berdaun dan kabut tebal yang menyelimuti tanah) membuat saya terdorong masuk ke dalam dunia yang diciptakan Mario Bava. Selanjutnya, film bergerak ke dua abad kemudian, di mana seorang dokter dan asistennya sedang menaiki kereta kuda yang mengalami sedikit masalah di depan sebuah reruntuhan. Sang dokter yang dipenuhi rasa penasaran yang tinggi, memasuki makam sang penyihir yang gelap gulita. Dari situ, saya merasa, penggunaan hitam putih dipakai dengan begitu apik dalam membuat suasana dan ekspresi yang direkam jadi begitu mencekam.


Suasana temaram yang dibangun dari media hitam putih, menciptakan adegan-adegan yang mengkontraskan antara pencahayaan dan latar belakang yang gelap menonjolkan atmosfer tidak nyaman seperti memasuki rumah hantu. Misalnya, di rubanah makam penyihir, kombinasi pencahayaan yang mengenai makam-makam dan menyembunyikan sisanya dalam kegelapan, menambahkan nuansa mistis dan angker yang membuat saya makin terjaga untuk menanti kejadian selanjutnya.

Ekspresi juga menjadi salah satu poin tambah di film ini. Apresiasi terbesar mungkin bisa saya alamatkan ke si pengabdi penyihir yang bangkit duluan dan membunuh orang-orang di sekitarnya untuk memudahkan proses kebangkitan sang majikan. Matanya yang selalu melotot, dikombinasikan wajah berparut dan muncul dari balik kegelapan, menghasilkan adegan mengerikan yang sangat efektif, hingga di beberapa adegan yang ada dianya, saya langsung merasa ngeri dan terkesima sekaligus. Salutnya lagi, terkadang kemunculan si pengabdi ini tidak dibarengi dengan musik menghentak, sehingga keseraman yang saya rasakan benar-benar murni dari hasil pelototannya dan suasana horor yang dibangun sejak permulaan film.


Selanjutnya, ada departemen akting yang menurut saya oke-oke saja. Tetapi, saya merasa akting para pemainnya (yang Masya Allah cantik banget si pemeran utama wanitanya) agak dramatis dan terasa teatrikal. Kesan tersebut saya dapatkan di subplot kisah cinta yang timbul antara si pemeran wanita utama, yang berperan menjadi keturunan kakak penyihir, dan si asisten dokter. Ada adegan yang sinetron banget, di mana si pemeran wanita ini lunglai sambil menaruh tangan di dahi dan terjatuh di dekapan si asisten dokter. Porsi cinta-cintaan mereka ini sebenarnya tidak terlalu mengganggu ya, cuma akting rasa drama/sinetron ini yang terkadang bikin saya ketawa sendiri.

Untunglah, adegan cinta-cintaan ini tidak banyak. Filmpun cukup adil dalam membagi subplot romansanya, sedikit penelusuran kematian yang misterius, dan juga cerita utamanya. Namun, karena durasi film hanya 90 menit kurang, saya merasa banyak adegan klimaksnya yang terasa buru-buru, sehingga saya merasa film berakhir terlalu mudah. Sebagai contoh, di puncak film asisten dokter bingung memilih yang mana si penyihir dan si keturunannya (karena keduanya diperankan orang yang sama), tapi film kurang mengeksplorasi bagian tersebut dengan mendalam. Film juga terkadang kurang masuk akal (seperti saat di dokter dihasut untuk memberikan darah ke si penyihir), terjadi tanpa latar belakang: mengapa si dokter melakukan itu? apakah ia mudah terhasut karena ada masalah hidup yang mendasarinya? apa ia sekadar "kesurupan" saja? Padahal, penjelasan-penjelasan itu memudahkan kita mengetahui lebih jauh kemampuan si penyihir ini, juga semakin menambah keseramannya.


Meski ada beberapa bagian yang kurang saya suka, secara umum Black Sunday tampil sebagai horor occult bernuansa gotik yang patut direkomendasikan. Mario Bava mampu menggunakan media hitam putih sebagai kanvas bercerita yang begitu efektif, sehingga meski saya menontonnya 60 tahun setelah ia dirilis, ia tetap menawan dan membuat saya paham tentang apa makna seram yang ia miliki. Mungkin ia tak memiliki jumpscare yang banyak, juga musik dan suara mengagetkan bertubi-tubi. Tetapi, dengan caranya yang klasik, ia mampu menegaskan bahwa ia adalah film yang akan senantiasa seram sepanjang zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar