Membaca judul film ini mengingatkan saya pada film-film horor Indonesia di era 2000-2010-an yang rata-rata diproduksi dengan production value yang apa-adanya. Zaman itu, film horor punya nama yang sangat jelek gara-gara orang-orang membuat film dengan gaya serampangan berbekal Koya Pagayo sebagai pionir (yang sebenarnya bisa jadi bahan analisis film, karena hampir semuanya punya karakter dan plot yang sama).
Sorority Babes in the Slimeball Bowl-O-Rama adalah film besutan David DeCoteau yang kayaknya pernah dengar di mana, beberapa kali nongol di film dini hari Trans TV. Film-film horor kelas B gitu lah, nothing new. Saya tergoda saja nonton di Shudder karena ingin tahu batas kekejuan (cheesiness, ngawur memang)-nya sampai di mana.
Plot super tipis, di mana sekumpulan mahasiswi yang mau masuk rumah persaudaraan (sorority) yang sedang melakukan inisiasi (mirip kayak digejrot, eh diplonco gitu kali ya), berbarengan dengan tiga remaja yang ketahuan ngintip prosesi tersebut, diminta mendobrak mal di malam hari dan mengambil trofi area boling. Tak sengaja, mereka melepaskan makhluk imp yang mampu merasuki dan membunuh mereka satu-persatu.Film horor itu tak perlu pintar! Karena kalau diisi oleh pemain-pemain pintar, filmnya akan habis di tiga menit pertama karena mampu melihat masalah yang mungkin muncul sebagai konsekuensi sebuah tindakan bodoh. Film ini adalah salah satu contoh epitome terbesar film kelas B yang lahir ke dunia ini tanpa mengindahkan logika sama sekali. Persis logika film esek-esek. Film ini hanya bermodalkan mal kosong, perempuan siap buka baju, mobil terbalik, dan spesial efek listrik-listrik biru (yang sepertinya menghiasi film horor tahun 80-90-an).
Seharusnya, dengan aspek komedi yang pas dan akting yang mendingan, film ini bisa jadi se-campy film Braindead yang konyol itu atau sekejam Evil Dead. Kalau cuma casting perempuan siap buka baju sih ... saya rasa banyak film yang menawarkan hal serupa. Mungkin si sutradara juga diminta untuk menghentikan visinya sampai di sana ya, sehingga dari aspek teknis pun, film ini terasa kurang seru karena tidak melibatkan special makeup effects yang maksimal, seperti darah yang kelojotan (eh, memangnya darah bisa kelojotan?).
Film ini tidak sempat mengeksplorasi adegan di mal jadi lebih berkesan, misalnya menggunakan properti-properti di dalam mal untuk menjebak temannya yang kerasukan, menunjukkan kejar-kejaran di mal pun rasanya tidak banyak. Akting yang kadang-kadang super tidak natural, hanya berhasil dibantu oleh karakter wanita utama Spider (yang saya terlalu malas untuk mencari nama aslinya) yang ditulis dengan lebih mendalam (dan sarkastik di setiap menitnya).
Yah, memang film ini hanya sekadar untuk buka-bukaannya itu saja kok. Saya berusaha lihat aspek cerita yang lain tapi tidak terlalu menikmati. Jadi mungkin, sebaiknya film ini memang tidak untuk ditonton dengan sengaja, melainkan saat Anda terbangun tiba-tiba di tengah malam dan menyetel televisi sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar