Minggu, 14 November 2021

[REVIEW] Dream Home (2010) sudah menjadi film eksploitasi yang baik tanpa perlu menambahkan kritik sosial

Dulu sekali saat gaji saya masih di bawah UMR, ngimpi bisa beli rumah itu jadi sesuatu yang jauh (sekarang juga sih ...), tetapi bayangan ingin punya rumah kayak di sinetron (lengkap dengan balkon, tiang-tiang besar, serta sarapan roti dan jus jeruk kalau boleh, hahaha) semakin jauh karena harga properti yang tak kunjung mudah dicapai. Di saat seperti itu, saya suka scrolling di situs jual beli rumah yang membuat pusing karena harganya kebanyakan 0-nya, dan sekalinya harganya masuk akal, rumahnya sudah reot bin jauh dari peradaban. Mungkin juga saya kurang ambisius yah, sehingga rumah impian seperti sinetron kini saya ganti dengan rumah model kecil kalau-kalau nanti dikasih kesempatan berkeluarga.

Oleh karena itu, menyaksikan tokoh Cheng Lai-sheung di film ini bagaikan representasi ekstrim dari ambisi memiliki rumah idaman. Film yang disematkan sebagai film slasher ini (yang mungkin menurut saya lebih cocok dibilang eksploitasi/splatter), menceritakan Cheng yang bekerja sebagai telemarketer di sebuah bank. Ambisinya satu, punya flat dengan pemandangan pantai. Untuk itu, ia turut menjadi simpanan orang lain untuk bisa membiayai hidupnya dan keluarga, terutama setelah sang ayah mengidap penyakit paru-paru. Namun, usahanya menabung tidak semudah itu kala si penjual apartemen tiba-tiba menaikkan harga propertinya. Cheng pun mulai menghabisi orang-orang yang menghalanginya untuk mendapatkan rumah idaman.


Sejak awal film, Cheng (yang diperankan produser film ini Jessie Hsu) sudah tidak main-main dalam menampilkan kekerasan yang ekstrim. Sang satpam yang lagi tertidur di depan ruang pengawas CCTV, dicekik dengan cable ties dan mencoba membebaskan diri dengan cutter. Praktis, si cutter malah membuat darah moncrot kemana-mana hingga si satpam mati kehabisan darah. Lalu, Cheng mendobrak paksa sebuah apartemen yang ditempati TKW (lengkap dengan selipan kalimat Bahasa Indonesianya) dan majikan perempuannya yang lagi hamil tua. Tanpa basa-basi, si Cheng langsung menusuk kepala si TKW hingga bola matanya mencelat, dan membekap si majikan dengan plastik vacuum. Situasi jadi semakin gawat karena ada orang yang jadi saksi mata kehadirannya di apartemen tersebut.

Dari sana, film mencoba membagi kisah pembantaian yang dilakukan Cheng dengan potongan-potongan kisah masa lalunya. Kita ditampakkan cerita yang menyedihkan tentang penggusuran paksa yang menimpa temannya semasa kecil (yang melibatkan mafia dan ular) dan bagaimana kakek Cheng ingin rumah yang dekat dengan pantai. Harapannya, mungkin, potongan-potongan ini bisa membuat kita lebih memahami apa penyebab Cheng melakukan semuanya. Mengapa sih ia begitu terobsesi dengan apartemen ini? Bagi saya, kisah-kisah masa lalunya masih belum menjustifikasi hal-hal ekstrim yang ia lakukan.


Latar belakang Cheng yang dihiasi kesederhanaan sedianya menjadi potret kritik sosial bagi kesenjangan dan mahalnya properti di Hong Kong (yang mungkin akan selalu relevan seiring berjalannya waktu). Sang sutradara juga berhasil menegaskan hal itu dengan memberikan porsi yang dramatis, seperti spanduk protes yang ditiup angin dengan slow motion atau bayangan pembangunan apartemen yang perlahan menutupi komplek flat sederhana yang ditinggali Cheng. Kadang-kadang pesan-pesannya terlalu gamblang dan eksplisit menurut saya sedikit mengganggu penceritaan Cheng yang sebenarnya sangat personal. Saya berpikir, apa mungkin gaya tersebut dipilih untuk menyesuaikan kekerasan yang ditampilkan film ini dengan super gamblang.

Menyaksikan adegan-adegan pembunuhan yang dilakukan Cheng bisa jadi merupakan salah satu pengalaman "mengerikan" tersendiri. Hampir semua adegannya diambil dengan gaya close up, sehingga mau itu darah, potongan tubuh, otak, hasil tembakan pistol, sampai usus-usus yang terburai, ditampilkan tanpa ada malu-malunya sama sekali. Hal ini mengingatkan saya pada film High Tension buatan Alexandre Aja tahun 2003 silam yang juga tidak segan-segan menunjukkan darah dan kekejian dengan maksimal. Saat film ini selesai saya tonton, rasanya saya bisa menonton film-film jagal atau torture porn karena ... di sini tak ada batas yang didobrak. Saya rasa, seluruh bagian di Parents Guide IMDb film ini pasti penuh semua.


Oleh karena itu, Dream Home bagi saya tidak perlu memaksakan diri dengan kritik sosial dan personalisasi cerita Cheng, karena tanpa itu pun, ia sudah bisa menjadi film eksploitasi/slasher/splatter dengan apik dan menarik. Penambahan elemen-elemen tersebut yang bisa "memanusiakan" pembantaian ini, menurut saya kurang tergali semua hingga lebih banyak memunculkan pertanyaan dibandingkan jawaban. Sisi kejam Cheng (yang entah juga datang dari mana, tidak diceritakan dengan detail) mungkin seharusnya dibiarkan gelap dan terkubur. Karena dengan itu, mungkin Dream Home bisa menjadi sesuatu yang lebih mengerikan dan kejam tanpa penonton harus ribet-ribet mencari relevansi dengan latar belakangnya.

Eh tapi, film ini membuat saya jadi kepingin buka-buka situs jual beli rumah lagi. Kurang ajar juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar