Jumat, 19 November 2021
[REVIEW] The Houses October Built (2014) adalah contoh bagus dari "Jangan nilai film dari posternya"
Senin, 15 November 2021
[REVIEW] Terror Train (1980) sudah cukup meneror saya dengan pencahayaan super gelap
Terror Train dimulai dengan Jamie Lee Curtis yang dilibatkan bersama teman-teman mahasiswanya untuk nge-prank mahasiswa pemalu yang membuat si korban syok dan masuk ke Rumah Sakit Jiwa. Tiga tahun kemudian, Jamie Lee yang sudah lulus bersama teman-temannya, mengikuti pesta kostum yang diadakan di sebuah kereta. Seorang pembunuh misterius pun datang dan mengincar mereka satu-persatu.
Minggu, 14 November 2021
[REVIEW] Dream Home (2010) sudah menjadi film eksploitasi yang baik tanpa perlu menambahkan kritik sosial
Sabtu, 13 November 2021
[REVIEW] Black Sunday (1960) memang pantas menjadi film horor klasik yang mengerikan
Jumat, 12 November 2021
[REVIEW] Menonton V/H/S 94 (2021) seperti membuka mystery box yang isinya campur aduk
Salah satu film yang langsung saya tonton pertama-tama adalah Sleepaway Camp. Saya pernah mengulas film tersebut di blog ini, sehingga saya belum berniat menuliskannya lagi. Dan yang kedua, adalah film V/H/S 94, sekuel dari serial antologi film pendek V/H/S. Film-film V/H/S ini punya karakteristik yang nyaris sama, bentuk found footage, kesadisan tiada tara, hingga alur cerita yang menurut saya terlalu dibuat-buat. Akibatnya, menonton film V/H/S selalu membuat saya campur-aduk.
Di film ini, narasi utamanya adalah sekelompok polisi yang menggrebek markas pengedar narkoba, namun saat masuk, kok isinya orang-orang dengan mata yang sudah dicabut dan televisi yang menampilkan gambar statik. Lalu, seiring mereka menelusuri markas, satu persatu video VHS-pun dimainkan.
[REVIEW] Sorority Babes in the Slimeball Bowl-O-Rama (1988)
Kamis, 11 November 2021
[REVIEW] Halloween II (1981): Saat Dunia Berjalan dengan Kecepatan 0.75
Halloween II adalah awal dari representasi sekuel film bagus yang terdistorsi keinginan produser untuk mencari untung. Pasalnya, John Carpenter berpikir untuk menjadikan film Halloween ini jadi serial antologi, atau kisahnya nggak nyambung. Jadi ya, misal film pertama tentang Michael Myers, mungkin film kedua bisa jadi tentang pesta dansa Halloween yang kedatangan alien. Tapi, aksi Michael Myers begitu disukai, hingga akhirnya John Carpenter dan Debra Hill (rekan kerja Carpenter/kekasih pada waktu itu) akhirnya mau menulis dan memproduseri film ini, meski membuatnya ogah-ogahan. Bahkan ia bilang bahwa untuk tetap bisa menulis naskah film ini, ia perlu minum beberapa kaleng bir.
Akhirnya ya filmnya jadi begini.
Mengambil latar tepat saat film pertama usai, Michael Myers kabur setelah ditembak dokternya sendiri dr. Sam Loomis, sementara Laurie yang terluka, di bawa ke rumah sakit (yang kadang-kadang disebut klinik) untuk mendapatkan perawatan. Michael kembali berjalan menumpahkan darah, sementara dr. Loomis berusaha mengejarnya.
[REVIEW] Halloween (1978): Bujet minimal, kengerian maksimal
Penyebutan jargon itulah yang membuat saya akhirnya jadi penasaran untuk menontonnya. Kalau tidak salah, sekitar beberapa tahun yang lalu saya pernah menontonnya lewat Torrent, tapi sudah keburu lupa dan tidak banyak kesan yang saya ingat. Oleh karena itu, saya mencoba menonton kembali filmnya dan mengulasnya di sini.
Premis Halloween (1978) sudah sangat akrab buat yang sudah sering menonton film-film begini. Seorang pria bernama Michael Myers dulu membunuh kakaknya sendiri saat umurnya masih 6 tahun di malam Halloween. Di malam Halloween 16 tahun kemudian, ia kabur dari rumah sakit jiwa tempatnya dirawat/ditahan dan menguntit seorang gadis bernama Laurie Strode (Jamie Lee Curtis). Penguntitan tersebut segera jadi mengerikan saat Mihael mulai membunuh lagi.