Tujuh hari ini Alice (Joanna Alexandra) mengalami kejadian aneh di apartemen yang baru ia tempati bersama ibunya Tara (Catherine Wilson). Tara tidak memercayai Alice, juga menyembunyikan fakta bahwa dirinya mengalami delusi pikiran akibat kanker otak, yang membuatnya melihat hal-hal aneh juga. Suami Tara, Yuga (Krisna Murti) masuk ke rumah sakit jiwa karena diteror oleh hantu wanita. Teman Alice, Ramon (Andhika Pratama) berusaha menjelaskan keadaan Alice yang sebenarnya lewat sebuah buku harian. Apakah isi buku harian itu? Siapakah peneror mereka?
REVIEW
Kalo boleh percaya, sinopsis yang ditulis diatas itu adalah buatan saya yang menggunting seratus persen sinopsis aslinya yang spoiler berat. Sinopsis aslinya sih pengen kelihatan pinter, mempertaruhkan twist yang dibuat dan mencoba menawarkan modus film berjalan dengan plot lain. Namun, sepertinya orang-orang ini mulai gablek dan percaya deh, ini adalah salah satu film horor terburuk, bahkan dalam lingkungan film buruk Nayato sendiri... (Kali ini ia pakai nama Koya Pagayo).
Dalam semua industri film, kebanyakan yang serius, bisa membuat orang-orang tersedot kedalamnya. Apabila orang-orang itu menyukai film yang biasa, maka alur cerita yang lambat akan membuat mereka tersedot oleh karakter yang dibuat, tentu dengan dukungan akting yang mumpuni. Lalu, seperti di film The Sixth Sense alur yang lambat menjadi cepat dan menuturkan twist. Setelah twist, dijamin lebih dari 50% penonton yang menganggap semua hal sebelumnya garing, menjadi sangat bagus. Itulah kegunaan twist, mentwist alur cerita dan persepsi orang.
Maxima Pictures jelas sangat pede saat merilis film Nayato yang berkolaborasi (lagi) dengan Dimas Aji setelah kolaborasi mereka yang apik dalam Cinta Pertama. Film ini ANCUR banget. Menonton di Youtube, hampir semua part saya percepat (tentunya tidak untuk several first parts) dan menemukan fakta yang menggelikan, bahwa tidak ada yang perlu saya ulang sama sekali dari part yang dipercepat. Saya bisa bayangkan bagaimana menonton di bioskop. Pasti sangat membosankan. Hal itu ditambah akting yang buruk dan remuk. Catherine Wilson berperan sebagai ibu muda yang tegas kepada anaknya; Joanna Alexandra, yang menampilkan 'ketegasan'nya hanya dengan bersuara serak dan tinggi. Si Alice juga cuma bisanya bilang "tapi Ma..." doang dan itupun langsung dipotong. Sebenarnya si Alice ini bisa ngelawan (bolos enem hari aja bisa luh) Mamanya dengan bilang "tapi Ma...Matirodong lu ye!" dan all stuff like that. Intinya, Joanna Alexandra mempunyai mimik dan pace yang pas untuk film ini. Sayangnya sebagai tokoh sentral yang ternyata ia mati, ia terlalu menunjukkan kegirangannya.
Departemen pendukung masih Nayato banget. Dimana-mana gelap dan berantakan. Sampai saya harus memiringkan monitor agar semua set jelas terlihat. Yang lebih menyedihkan adalah dari departemen sinematografi dan editing yang masih membuat flash and slow editing yang sangat Nayato. Bisa dibilang kalau jadi Nayato, ia akan puas karena berhasil merayu produser untuk membuat film tak berisi seperti ini. Anda bahkan bisa membuat film berdurasi 20 menit dengan memasukkan semua unsur disini (kecuali subplot dan penampakan yang gak penting). Musik masih standard lah, tahu aja. Teguh Pribadi soalnya.
Semua aspek di film ini sebenarnya berusaha menampilkan yang terbaik dengan mengusung skenario dengan twist didalamnya. Namun, terjadi marketing yang salah dan membuat sinopsis spoiler itu diedarkan ke media. Otomatis, orang-orang yang menonton film ini akan merasa garing. Selanjutnya, Nayato tidak menyadari bahwa ia mengemban sebuah film yang berat karena sesuatu bernama ending yang cocok harus dibuat sebagus mungkin. Padahal nyatanya ia hanya membuat sebagaimana yang biasa ia buat tanpa ada inovasi sama sekali.
Judul awalnya, Alice Tidak Tinggal Disini Lagi yang diganti Lewat Tengah Malam jelas adalah ide yang tepat. Karena judul Lewat Tengah Malam membuat film ini marketable dan membuat penasaran. Itu adalah satu dari sedikit pilihan tepat yang dibuat para pembuat film ini.
2 of 10