Marybeth Dunston (Danielle Harris) berhasil selamat dari cengkraman Victor Crowley di rawa dan diselamatkan oleh orang tua aneh yang tinggal di Honey Island Swamp itu, John Cracker. Ketika John mengetahui bahwa Marybeth adalah anak Samson Dunston, ia langsung mengusirnya keluar, memberinya petunjuk bila ingin mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi, bertanyalah pada Reverend Zombie (Tony Todd) yang mengelola sebuah toko voodoo.
Di kota, Marybeth mendapat cerita tambahan tentang legenda Victor Crowley dari Zombie. Ternyata ayahnya, pamannya, dan seseorang bernama Trent-lah yang telah melemparkan petasan ke rumah Victor Crowley. Victor Crowley sebenarnya hasil dari hubungan Thomas dan perawat sang istri yang menderita kanker. Ketika sang istri meninggal, ia melancarkan kutukan kepada anak yang dikandung perawat itu.
Akhirnya, Lewat sebuah ancaman melaporkan Zombie tentang tur rawanya yang ilegal, Zombie mau mengantarkan Marybeth untuk membawa mayat ayah dan kakaknya, asal ia mau membawa pamannya turut serta. Setelah menjebak para pemburu dengan iming-iming uang, akhirnya Marybeth, sang paman Bob (Tom Holland), Zombie, kakak Shawn, Justin, dan sekelompok pemburu termasuk Trent masuk ke rawa itu untuk memastikan daerah itu aman dan tambahan bila berhasil mendapatkan kepala Victor Crowley.
Rencana Zombie ternyata berbeda dengan apa yang dipikirkan Marybeth yang bermaksud ingin membunuh Victor Crowley, sementara itu sesuai yang diinginkan kala malam tiba, semua orang terpencar dan tentu saja, kali ini Victor Crowley akan kembali.
RATING
Rated R for strong bloody horror violence, sexual content, nudity, and language (edited version)
REVIEW
Film ini cepat sekali, ya? Saya pikir itu hanya perasaan saya saja ketika terlalu menikmati kesadisan di film ini. Ternyata, benar saja durasi cuma 85 menit. What?
Film berjarak 4 tahun dari presedornya mengambil waktu persis setelah film pertama selesai. Pada film pertama kita melihat kepala Marybeth dicengkeram oleh Victor Crowley, yang kemudian Marybeth berhasil kabur. Ya ampun. Kedua film ini bahkan bisa digabungkan! Entahlah apa yang membuat film ini kembali ingin dibuat, plus ditambah sutradaranya yang sama.
Nyaris semua formula di film pertama sebenarnya hampir sama, dengan kalimat-kalimat lucu, footage video softporn, dan tentu saja kekerasan yang lebih parah dari sebelumnya. Pokoknya apa yang kalian tahu mengenai biologi dan sebagainya tidak akan berlaku di sini. Semakin menyenangkan adegan pembunuhannya semakin asyik bukan? Victor Crowley sendiri mempunyai taste of torture yang lebih pintar dari Jason Voorhees yang simpel itu. Victor Crowley bisa menggergaji selangkangan orang, menghancurkan muka orang dengan kipas boat, hingga menguliti orang hidup-hidup. Aduh, saya pikir ini film udah di dimensi mana sih. Adegan pembunuhannya udah jadi surealis karena bahkan saya tidak yakin apa orang bisa menarik orang lain dengan usus yang keluar?
Tidak perlu berpikir cerita di sini, kita hanya memerlukan mata yang cukup kuat saja untuk menyaksikan semua ini. Memang, sajian kekerasan di film ini kerasa bohongnya karena menurut saya kurang realistik, tetapi darah muncrat dan tulang ditarik-tarik? Kepala dipenggal? Punggung diterobos kapak? Film ini jelas sangat kelewatan dalam mengeksekusi orang-orangnya. Kreatif lagi. Semoga saja tidak menjadi film gore Jepang yang konyol bin lebay itu.
Semua cerita mengenai Victor Crowley pun makin dikembangkan, kendati hanya sebagai bumbu tambahan untuk mempertahankan unsur suspense. Oh ya, di sini pun kita hanya diberikan dua orang cewek dan lainnya pria semua. Saya kira ini akan menjadi saat dimana Victor Crowley bisa dilawan balik, namun ternyata mereka semua tidak berguna sama sekali. Saya sampai bingung menonton film ini apa tujuannya.
Kesalahan film ini sebenarnya terletak saat ia tidak mempedulikan orang-orang yang menjadi karakter sampingan, sehingga kelihatan sekali mereka hanya tiba di sana untuk mati, tanpa memperhatikan apapun untuk mereka seenggaknya kita perhatikan. Kesalahan kedua, ia malah menjadi terlalu sama dengan film selanjutnya, sudah begitu dengan plot yang saya rasa hampir sama lagi.
Mungkin terlihat tak sadis, tapi dia dicekik ususnya sendiri, lho |
Mungkin, beberapa adegan yang melibatkan masa lalu itu dan semua kejadian pembunuhannya memang menyenangkan, namun agaknya saya mulai bosan dengan film ini yang tak menawarkan apapun kecuali kesadisan yang membabi buta. Maka dari itu saya sangat suka franchise Scream yang menawarkan dialog-dialog dan kekerasan yang menurut saya cerdas, sekaligus benar-benar menghidupkan semangat horor jagal. Ibaratnya, menonton maupun tidak menonton film pertamanya maupun keduanya sama saja. Mereka bisa dibilang tak punya hal yang membuat anda tertarik kecuali melihat pembantaian yang dilakukan oleh Victor Crowley.
Saya juga mulai ragu apa harus melanjutkannya ke film ketiga, yang katanya mengabaikan kisah di film ini dan memberinya cerita yang baru. Oh tidak... memang sih di akhir Marybeth berhasil membunuh (baca: menusuk kepala dengan kapak berkali-kali dan ditembak dengan shotgun) Victor Crowley dan film langsung habis. Apakah artinya film ketiga murni hanya cari uang? Entahlah.
Bermain jungkat-jungkit |
Kesadisan yang ada di film memang merupakan sebuah kenikmatan bagi penggemar slasher atau jagal yang biasanya hanya berurusan dengan pakem dan model cerita yang bervariasi. Ya, Adam Green yang kembali di bangku sutradara/penulis memang telah menyajikan film ini dengan baik, seperti film terdahulunya. Namun, saya sendiri mulai bosan dengan tawaran kesadisan yang menurut saya berlebihan. Beberapa hal yang bisa dilihat di film jagal dengan latar rumah, mereka membunuh juga dengan teror, sehingga tak telanjang mengagetkan sekali dan mati. Kesadisan yang berlebihan justru mengingatkan saya pada film-film yang tak manusiawi. Sejatinya, film jagal tak seperti itu juga. Ya, ia sadis, ya, ia dapat NC-17, tapi menurut saya sih kurang dapat terornya.
Pada akhirnya lebih dari apapun, saya mau mengapresiasi Andy Garfield yang kadang-kadang menaruh musiknya secara ironi. Waktu di film pertama pas kapal mau berangkat, musiknya musik fantasi begitu, kalau yang ini, musiknya musik musik petualangan begitu. Kadang-kadang bikin terkekeh. Sisanya sih sama saja. Oh ya, kenapa sih di sekuel ini dan film sebelumnya selalu ada orang muntah? Menyebalkan.
Touchdown! |
Bagi penonton slasher mungkin akan masih menikmatinya, bagi yang sangat suka gore. Saya sendiri sebenarnya melihat Victor Crowley sebagai seorang penjagal yang kreatif dan Adam Green sebagai tukang syuting yang terlalu lebay memberikan dosis kekerasan. Semoga saja, Hatchet III yang seperti "remake" dari film ini bisa lebih baik.
58%
mungkin akan masih ?????
BalasHapusAdam Green sendiri merencanakan Hatchet terdiri dari empat film :O
BalasHapus