Tahun 2154, Bumi berada dalam polusi besar dan standar kehidupan yang begitu rendah dan diatur oleh robot. Namun, di atas Bumi terdapat sebuah stasiun luar angkasa bernama Elysium yang berisi penduduk kaya yang sejahtera tanpa merasakan sakit atau mati karena sebuah alat bernama Med-Bays. Di Los Angeles, Max da Costa (Matt Damon) adalah seorang pekerja pabrikan yang dulu pernah menjadi seorang kriminal. Dalam bayang-bayangnya untuk bersama teman semasa kecil, Frey Santiago (Alice Braga) yang kini telah mempunyai anak bernama Matilda yang menderita leukimia stadium akhir, Max terkena radiasi yang mengakibatkan dirinya hanya punya lima hari untuk bertahan hidup. Hal itu membuatnya dan temannya Julio (Diego Luna) berusaha menuju Elysium dengan cara apapun, termasuk memohon pada Spider (Wagner Moura) seorang kriminal ahli yang sering menyelundupkan orang Bumi ke Elysium.
Tugas Max rupanya adalah mengambil chip data CEO Armadyne yang berisi informasi penting tentang Elysium. Tugas itu rupanya berhadapan dengan kepentingan sang CEO, John Carlyle (William Fichtner) dan menteri pertahanan Elysium Delacourt (Jodie Foster) untuk merebut takhta kekuasaan Elysium. Perpindahan data tersebut rupanya melibatkan seorang agen Delacourt di Bumi, Kruger, yang keji dan berusaha mencari Max. Data tersebut rupanya tak hanya sekadar rencana pembelotan, melainkan sebuah kunci untuk membuka Elysium kepada seluruh penduduk Bumi.
RATING
Rated R for strong bloody violence and language throughout
REVIEW
Kayaknya film ini (sekali lagi) membuktikan bahwa saya tidak cocok dengan film bergenre selain horor. Untuk menyelesaikan film ini, saya harus tidur, keluar kamar, makan, tidur-tiduran hingga mematikan komputer ini. Oh ya ampun, padahal film ini kan nggak salah? Salah saya juga sih yang masih tergoda pada film berpremis bagus.
Nama tempat Elysium diambil dari istilah Yunani kuno kepada tempat setelah kematian yang utopis, tempat para dewa dan pahlawan. Premis yang begitu menarik ini tentu saja membuat saya mau menonton film ini setelah mendengar sebutannya dari Indonesia Morning Show (halah). Melihat ke belakang, mungkin bisa dibaca saya sudah mengkomentari satu film fiksi ilmiah berpremis menarik, Oblivion yang memerlukan waktu beberapa hari hingga saya mau menyelesaikan komentar.
Nama besar di film ini terletak pada Neill Blomkamp. Orang yang menyutradarai District 9, film yang sampai sekarang (terkenal, tapi) belum saya lihat. Ada juga Matt Damon yang pernah lari-lari di serial Bourne itu. Jadi, sebenarnya saya juga heran kenapa saya mau nonton ini film.
Dengan premis yang menarik, saya berharap Elysium akan twisting seperti Oblivion. Rupanya, Elysium lebih berkonsentrasi pada urusan sosiologi dan kritik sosial semacamnya. Apalah itu. Dibawa pada perkampungan dan bercampur bahasa Spanyol dan bahasa Inggris, saya tak juga merasakan akan tahu kemana film ini akan membawa penontonnya. Salah juga sih, saya, tidak baca sinopsisnya. Tapi bukannya film berpremis mempunyai plot yang kurang lebih sama?
Satu hal yang saya kecewakan di awal film, adalah bahwa premis yang berusaha dibangun tidak terlalu banyak. Di titik ini saya jadi bingung, apa jangan-jangan mau dibuat prekuelnya? Contoh paling awam saja, bagaimana Elysium dibuat? Penonton cuma mendapatkan premis bahwa keadaan ini telah terjadi dan sebagainya. Bagaimana dengan sistem kepemerintahannya? Hal-hal krusial seperti itu dalam premis sangat penting, karena di tengah-tengah kalau penonton bosan, kita masih bisa diperkuat dengan premis yang ada, sehingga masih berkenan melanjutkan.
Masalahnya hingga film berakhir, tak didapatkan satupun petunjuk tambahan tentang proyek Elysium. Apa anda bermaksud untuk membuat sekuel wahai Blomkamp? Tapi akhirnya juga tidak terlalu menarik untuk dilanjutkan. Sekali lagi entahlah.
Perihal kekuatan akting, dalam subkultur Las Vegas yang bobrok itu, mereka pantas menyebutkan kata kotor berkali-kali, lihat saja ratingnya! Belum cukup dengan hal tersebut, hal-hal yang agak kotor-kotor (mengingatkan pada Water World) juga membantu membangun latar. Singkatnya, mereka berhasil membuat perbedaan yang begitu berbeda antara Bumi dan Elysium. Sayang sekali bagian Elysium tak diberikan preview kehidupan orang-orangnya. Lain dengan Bumi yang naas, Elysium hanya digambarkan sebagai stasiun luar angkasa yang berisi orang-orang kaya dan politikus ambisius. Hal tersebut dikatakan masuk menjadi isu-isu "humanis" yang diangkat oleh Blomkamp, yang dengan District 9 seperti mengembalikan isu Apertheid.
Inilah kenapa saya suka gore |
Fungsi sosiologis yang terasa pun sebenarnya kurang. Kita mendapatkan pandangan dari Bumi, lantas bagaimanakah perasaan penduduk Elysium terhadap penduduk Bumi? Apakah yang mereka pikirkan. Mungkin film ini hanya memotret kisah heroik seorang Max da Costa dalam menyatukan seluruh manusia, tetapi film ini mempunyai banyak potensi subplot yang asyik yang belum cukup digali.
Dalam durasi 109 menitnya, suguhan aksi yang kental dengan kekerasan, ide-ide fiksi ilmiah, dan tentu saja intrik cerita dibangun dengan baik. Pendekatan isu politik yang dibawa agen Delacourt dan sang CEO terlihat hanya sebagai tempelan, namun keseluruhan lainnya oke-oke saja. Akting Matt Damon menjadi seseorang dengan profil Max da Costa entah kenapa sedikit lembut, kurang kasar. Mungkin kita mengetahui bersama apa maksudnya ya? Soalnya keinginan Blomkamp pertama kali yang memerankan Max adalah rapper asal Afrika Selatan penggemar District 9 bernama Ninja, kemudian rapper (lagi) Eminem. Jadi bisa dikatakan mudah kalau ekspetasi mungkin sedikit meleset.
Pemain pendukung lain tampak bekerja sesuai keinginan masing-masing. Luna menjadi sidekick Max mengingatkan saya dengan si Muluk. Kemudian lagi, yang diperhatikan adalah tokoh Spider (Wagner Moura) yang bertindak sebagai pahlawan di saat terakhir. Selain itu, rasanya tidak ada yang spesial. Jodie Foster? Entahlah, akting yang pernah saya lihat di Flightplan itu sudah makin meredup.
Film Elysium sebenarnya tak mempunyai apapun yang baru untuk diharapkan pada sebuah film fiksi ilmiah maupun intrik di dalamnya. Cerita yang terlalu "mini" dan kurang dieksplorasi membuat saya sebagai penonton (bukan penonton fiksi ilmiah apalagi) harus bertahan hidup demi menyelesaikan ini film. Mungkin, dalam beberapa sisi kita harus berharap ada sesuatu yang namanya Med-Bays, kasur scanner yang bisa-bisanya menyembuhkan wajah yang hancur dengan granat dalam waktu beberapa detik. INIlah satu-satunya adegan yang saya senang nontonnya. Dasar maniak gore.
Tidak bermaksud buruk, namun dengan segala premis yang menjanjikan dan isu yang dibawanya, film Elysium malah menjadi agak membosankan dengan plot-plot yang biasa. Kita masih dibawakan pada sisi misterius dari pengungkapan kisah masa lalu yang lebih detail mengenai stasiun luar angkasa ini. Akan bagus kalau ada prekuel maupun sekuelnya. Jelas, ini adalah sebuah open story yang bisa dikembangkan luas dan bahkan menjadi sebuah franchise. Tapi, tentunya diharapkan plot "kekecilan" ini tak akan terulang lagi.
PS: Ternyata saya review ini film cepet juga, ya. Soalnya Haunted aja lama bener nyelesaiinnya. Dan satu lagi, mungkin baru kali ini komentar saya tidak terlalu mengungkapkan adegan akhirnya seperti apa.
48% (akan jadi 80% kalau film ini ceritanya dua jam lebih, biaya 200 juta, dan rating PG-13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar