Minggu, 05 Januari 2014

[REVIEW] Princess, Bajak Laut, & Alien (2014)

SINOPSIS
Princess, Bajak Laut, & Alien adalah sebuah karya omnibus pertama Indonesia mengenai anak-anak karya empat sutradara. Misteri Rumah Nenek dari Eko Kristianto menceritakan Iqbal dan adiknya Salsa yang tengah berlibur di rumah nenek yang kuno dan misterius. Tatkala sang nenek dan supirnya Mang Dana pergi, apakah yang terjadi ketika mereka berdua sendirian? Kisah kedua yang dibesut oleh Alfani Wiryawan berjudul Babeh Oh Babeh mengenai Jupri yang malu dengan profesi ayahnya Rojali sebagai seorang penyanyi dangdut. Apa yang terjadi jika seorang anak yang di-bully membalas dengan break dance? Mikal adalah seorang anak SD yang kerap di-bully oleh kumpulan anak-anak SMA, sementara itu ia menemukan suatu dunia yang menarik baginya yaitu break dance. Inilah Kamu Bully, Aku B-Boy yang disutradarai oleh Rizal Mantovani. Terakhir, Upi membawakan adaptasi dari kisah Clara Ng dan Icha Rahmanti mengenai Troy, seorang anak di ulang tahunnya yang bermonolog tentang ia dianggap aneh oleh anak sebayanya dan berbeda oleh para orangtuanya karena kegemarannya membaca. Dengan kostum alien sebagai simbol dirinya yang merasa terasing, ia bertemu anak baru di kompleknya bernama Gwen yang berkostum princess. Bagaimana sang princess akan menolongnya?


RATING
Suggested MPAA rating is PG for intense sequences of thematic materials

REVIEW
Datang ke premiere sebuah film seperti mimpi bagi saya. Jalurnya memang banyak, namun begitu sedikit hal-hal yang saya kuasai termasuk transportasi. Beruntung, film ini menjadi film pertama saya yang bisa saya lihat premiere-nya. PBA, singkatan dari judul film ini disponsori oleh USeeTV dan adaptasi bukunya dapat dibaca di aplikasi reader, Qbaca. USeeTV dan Qbaca ini adalah produk Telkom, dan Qbaca dengan murah hatinya memberikan kepada para penggunanya yang telah membeli e-book PBA untuk mendapat tiket gratis di acara premiere, tepatnya di kawasan Epicentrum Kuningan. Berbekal ibu saya yang memang bekerja di Telkom dan juga mengenal salah satu staf dari bagian promosi di sana, kami pun mendapatkan empat buah tiket gratis. Ya, lagi-lagi bersama keluarga (mana mungkin saya akan menonton film ini dengan bayar).

Pemutaran perdana sebuah film di kawasan terkenal agaknya membuat saya rada grogi. Banyak orang yang saya hanya tulis di komentar bisa saya lihat sendiri. Nama Cesa David Luckmansyah agaknya terkenal sebagai seorang editor film, Eros Eflin sebagai art director, dan sepertinya kita sudah tahu dengan Joko Anwar? Nah, mereka semua datang ke acara ini. Begitu banyak orang, orangtua, aktris, aktor, dengan segala bawaan mereka yang berkilauan dan mentereng. Saya yang clumsy habis cukur kumis, janggut, dan rambut jadi berasa dekil banget. Apalagi bibir saya selalu merah (dan wajah saya putih), jadi saya saja tak berani lihat wajah sendiri. Tapi itu tak dipandang oleh Allah bukan? Setelah mengantri di kios untuk membeli popcorn, saya harus kehilangan sambutan dari para pembuatnya. Arghhh!!! Saya kan mau lihat!!!

Film PBA diklaim sebagai ajang reuni dari keempat sutradara. Saya berpikir, film apa ya? Apakah film tersebut belum pernah dirilis secara besar? Apa mungkin pernah satu payung produksi kali ya? Pokoknya nikmati sajalah sajian dari empat sutradara ini.

Misteri Rumah Nenek
Eko Kristianto menggarap Misteri Rumah Nenek. Dari judulnya, saya teringat pada sebuah wacana di grup Facebook tentang horor untuk anak kecil. Ya, kerap kali kita disuguhi mainan horor yang terkesan dewasa dan "mengusir" anak-anak untuk menjauh dari teater. Padahal, terkadang kita sebagai anak-anak pun distimulasi oleh rasa takut dari cerita, tentunya dengan mendidik. Film Misteri Rumah Nenek memberikan didikan itu. Durasi segmen ini agaknya berisi tentang apa sebenarnya yang Iqbal dan Salsa temui di rumah nenek? Kejutan yang (tidak terlalu) cerdas untuk dewasa, tapi cukup baik untuk anak-anak. Ternyata ada komplotan perampok yang menyamar dengan mukena dan topeng seram. Ditambah lagi, ada twist Mang Dana menjadi salah satu anggota dari rencana ini. 

Pemeran Iqbal dan Salsa bermain sesuai porsinya. Saya bisa pahami bagaimana memerankan menjadi Iqbal yang kelihatannya sulit, karena bertingkah spoil di depan kamera jauh lebih mudah daripada menjadi orang yang nge-sok. Trik-trik ala detektif cilik dalam mengungkap hantu-hantu itu juga menarik. Pikiran kita memang tak boleh dipasang dewasa mode on banget. Perlu kita lihat dari sudut pandang seperti di serial terkenal Scooby Doo. Ajaran untuk berdoa, tidak adanya makhluk halus, kajian agama, dan rasa percaya pada orang lain menjadi moral dalam film yang ditampilkan tanpa menggurui. Saya selalu geli tiap melihat orang berbicara ala quotes dengan bahasa yang tinggi. Tapi di film ini kita bisa mendapatkan moral yang lebih membumi.

Bagian yang cukup baik ini beberapa kali dibuat kosong oleh subplot hubungan orangtua yang terasa aneh. Saya jujur kurang mengerti apa yang terjadi di antara mereka. Kemudian tingkah Ringgo yang jadi spoil lagi kayak zaman dulu di Jomblo. Entahlah apa yang ia inginkan pada konsentrasi aktingnya kali ini. Kemudian banyak orang bertanya mengenai kenapa Iqbal dan Salsa mesti kembali lagi ke dalam rumah setelah berhasil mengunci pintu dari lantai dua dan turun dengan tali? Tahu dari mana Iqbal kalau ada perampok kedua? Banyak pertanyaan yang muncul.

Babeh Oh Babeh
Alfiani Wiryawan menggarap segmen ini sebagai sajian komedi, walaupun ceritanya sudah standar kita dengar. Ya, memang sulit untuk mengakui tentang profesi ayah kita (yang kurang normal). Jupri (siapapun aktornya) cukup kuat beradu dengan Tora Sudiro (disini Soediro) yang sudah mapan di ranah komedi seperti ini. Tora sebagai Ramli jelas tak perlu diragukan karena dia memang sudah sering memerankan tokoh beginian. Adanya tambahan Luna Maya jadi Mpok Leha (kayaknya Luna Maya pernah berperan dengan nama yang sama entah di film yang mana) menjadi segar. Setting di kawasan agak-agak slum herannya tidak menjadi sesuatu yang disorot. Seperti suatu pernyataan bahwa orang Indonesia masih bisa menikmati hidup walaupun hanya dengan hentakan dangdut semata. Maka dari itu acara seperti YKS bisa lestari.

Karena jajaran pemainnya yang sudah kuat, saya rasa segmen ini mempunyai beberapa bagian yang blong. Kenapa pelajaran mengarang bisa terus-terusan???? Saya bingung, apakah ketika pelajaran mengarang dimana Jupri masih dikelabui dengan penampilan perlente bohongan si Ramli jadi pegawai kantoran itu betulan atau tidak. Dan hal itu cukup mengganggu sehingga saya bingung. Terlebih lagi Masayu Anastasia yang jadi gurunya (Apa sih).

Segmen ini sebenarnya cukup standar, hanya menambahkan elemen tak biasa yaitu penyanyi dangdut. Hal yang "curang" adalah karena akting mereka baik sehingga menutupi lubangnya cerita. Banyak kawakan komedian yang tampil di film ini sehingga kita merasa terhibur, terlebih dengan penampilan dangdut dari Tora yang lucu. Terlebih (lagi), dengan soundtrack-nya yang terus didendangkan di seisi XXI, entah apa itu lagunya.

Soal moral yang diberikan, lagi-lagi saya tak merasakan hal yang menggurui dengan kata-kata. Saya sudah cukup ngerling dengan cara seperti itu. Dan walaupun hanya sesuatu yang simpel, segmen ini mampu bercerita dan berhikmah dengan baik. Salah satunya adalah, jangan jadi anak yang terlalu naif.

Kamu Bully, Aku B-Boy
Hal pertama yang saya pikir, segmen ini cukup menggelikan karena B-Boy jelas gerakan sub malah jadi "pelarian" dari bullying. Mikal, tokoh utama si anak kecil ini punya tampang yang "sumpah, masa anak sekecil, imut, dan polos ini di-bully" sebenarnya tidak terlalu di-bully juga. Anak-anak SMA yang ngocol itu dengan mencak-mencaknya ngelemparin sepeda anak kecil (pake napsu lagi). Saya kok bilang bully anak SMA ke anak SD itu tidak sinkron. Gak tau deh, nggak terkesan nyambung aja.

Mikal dan temannya yang lebih mirirp "penjaga goa anak kecil super chubby dan imut" ini saya kirain jadi yang tukang bully. Taunya jadi "asisten" Mikal buat gaya-gayaan. Kenapa dari awal segmen ini saya jadi mencaci maki terus ya?

Film bertemakan bullying di Indonesia pernah kita lihat dari yang kontroversial seperti Ekskul hingga ke film musikal anak kecil berjudul Langit Biru. Kita disini akan disuguhkan lagi makna bullying dalam perspektif bukan di sekolah yang sama, melainkan di gang yang sama, wkwkwkwk. Jadi, setiap pagi, dengan sepeda (dan pakai helm tentunya, kalau tidak nanti ada burung kakaktua yang bakal ee'in kamu), Mikal dan temannya yang gode ini pergi ke sekolah hingga suatu hari bertemu tiga kakak-kakak SMA yang bolos. Nggak tau deh habis ngapain ini orang si tokoh yang suka nge-bully ini, sampai semua orang dia labrak. Mikal pun stang sepedanya patah. Jadilah ini orang "musuh bebuyutan"nya.

Sebenarnya segmen ini mulai asyik ketika Mikal diperdaya dikenalkan oleh Mamanya tentang peninggalan sang ayah, yakni koleksi break dance dari tahun 80-an. Ya ampunnn, Mamanya korslet banget, break dance kan bisa saja isi lagunya sumpah serapah. Yah... mungkin dia dikasih tahu yang betul-betul sih (termasuk Gerakan Kawula Muda-nya Ikang Fauzi, wkwkwkwk) sehingga tidak dicampuri yang macam-macam. Alhasil, mulailah rutinitas si Mikal yang tiada hari tanpa joget. Busetnya lagi, si Mama malah seneng-seneng aja.

Sampai di sini, bisa dibaca anti saya terhadap break dance. Jujur saya tidak anti pada jenis ekspresi ini, tapi rasa-rasanya ada ketidaksesuaian (balik lagi ke paragraf awal) ke tindakan bullying. Poin yang hilang mungkin, kenapa tiba-tiba Mikal jadi suka sama break dance? Nah, itu saya bingung. Kalau begitu, yang akan tulis selanjutnya adalah kebingungan saya. Contohnya, kenapa tiba-tiba Mikal tahu kalau nama orang yang suka nge-bully ini namanya Rangga (atau siapalah)? Tapi segalanya sih, oke, hanya saja break dance yang diperlihatkan di film ini adalah yang lumayan baik, bukan yang subkultur yang nyaris menyimpang. 

Rizal Mantovani setelah deretan film pembunuhan erotisnya dan adegan romantis sekarang beralih ke film anak. Di sini, kita bisa melihat kemampuannya dulu sebagai seorang sutradara video klip sedikit banyak dicuplik ke segmennya sendiri, yang mengenai musik. Sebenarnya, saya cukup terkejut Rizal akhirnya membuat film dengan kualitas yang lumayan baik, terutama setelah adegan yang direkam dengan handheld tidak muncul lagi. Terima kasih terima kasih. 

Saya nggak mau bilang kalau segmen ini jelek. Saya cuma bilang segmen ini banyak yang tidak sinkron. Sudah. Akibatnya saya jadi tidak nyaman nontonnya. Satu hal lagi, setelah moral "memakai helm saat bersepeda kalau enggak di ee'in burung", rupanya skenario "menyerah" hingga akhirnya datanglah sang Khatib dari dunia break dance: Igor Saykoji. Igor datang (tanpa break dance) dan mulai mengkhotbahi mengenai bahasa tubuh dan moral-moral yang menjengkelkan karena diberitahu secara verbal. Kan katanya situ, break dance itu menggunakan bahasa tubuh, ya sudah dimainkan saja itu tubuhmu! Rentetan kata-kata menggelikan ada lagi setelah Rangga cs. kalah dan mulai berjanji dengan janji-janji ala caleg. Fiuh.... kapan y Rizal membuat film yang bagus lagi?

Alhasil, segmen kali ini merupakan segmen paling menggelikan sekaligus paling tidak sinkron dari keempat segmen. Maafkan saya, padahal segmen ini cukup bagus lho. Sayang seribu sayang skenarionya atau penataan adegannya kurang baik.

Princess, Bajak Laut, dan Alien
Akhirnya sampai juga ke segmen yang terakhir. Segmen ini diprakarsai oleh Upi. Namanya yang singkat itu bisa dibilang sudah malang melintang di dunia perfilman. Setelah menyutradari sesuatu yang subkultur punk dan sebagainya, ditambah film martial arts dan horor, kali ini ia membuat sebuah film anak. Nah, apa jadinya segmen ini?

Segmen PBA bisa dibilang paling baik dari semuanya. Jelas saja, wong diadaptasi. Super salut tentunya terutama dan pastinya pada Eros Eflin sebagai art director yang selalu saja cerdas menyajikan penataan latar yang begitu barat, colorful, namun juga asing. 

Cerita ini sebenarnya tak perlu disangsikan lagi, cukup menyindir diri saya. Moralnya jelas, ketika kita suka membaca, bukan berarti kita menutup diri dari dunia. Hal ini sebenarnya sebuah tepuk tangan sekaligus tampar pipi bagi orangtua yang bangga sama anaknya yang terlalu suka membaca maupun anak yang terlalu suka bermain. Kita harus menyeimbangkan keduanya. Latar yang jadul menjadi sesuatu yang unik

Troy, sang tokoh utama yang berwajah imut juga (kenapa sih semua anaknya harus diambil yang imut?) berwajah sangat inosen, walaupun perkataannya rata-rata menohok. Bagus juga ketika ada kampanye untuk tidak merokok, sangat pas buat orangtua yang kebal-kebal aja. 

Singkat saja, segmen ini memang mempunyai banyak daya tarik dan moral yang bersifat verbal dari Gwen, namun hal yang baik disini adalah ia memberikan sentuhan retro dan sedari awal, ia tak menggunakan kata-kata yang tidak baku. Akibatnya, kita merasa biasa ketika mendengarkannya. Hal yang masih belum biasa adalah anak kecil ngomong intelegensi. 

Upi jelas sangat sukses di segmen ini. Penyutradaraannya yang mantap, desain produksi yang baik, ide yang cemerlang, dan ide "kebersamaan dalam keberagaman" mengenai teman-teman Troy yang menganggap aneh bisa dilihat, berasal dari India, Afrika, Cina, dan sebagainya.

Verdict
Tanpa jauh-jauh lagi, saya mengatakan bahwa sebenarnya (melawan anggapan para pembuat film ini), bahwa film anak sekarang sudah banyak dan begitu berkembang. Satu hal yang perlu dipertanyakan, kapan lagi ketika orangtua turut menikmati hal-hal yang bisa anak-anak nikmati pula? Kapan lagi orangtua di dalam teater tidak hanya sebagai penjaga anak melainkan seorang penonton?

Beberapa segmen telah eksplisit menunjukkan hubungan antara sesuatu yang imejnya orangtua bercampur dengan imej anak-anak. Hal ini membuat orangtua bisa menikmati dengan nostalgia, dan anak-anak dengan ketakjubannya. Menurut saya, elemen inilah yang kini jarang dimiliki oleh film anak-anak. Orangtua juga punya anak-anak dalam diri mereka, yang sangat bisa dipanggil lewat nostalgia, dan film omnibus ini adalah saat yang tepat bagi sebuah keluarga yang ingin mempererat hubungan mereka lewat nostalgia yang baik. Zaman selalu terulang, kok. Ada saatnya musik zaman dahulu bisa dinikmati. Saya saja kali-kali ini baru merasa senang dengan bossanova, yang sering saya kira sebagai ballad di J-Pop.

Ada kelemahan dari sisi cerita maupun akting, namun secara keseluruhan, kita setidaknya bisa cukup santai dan tergelak dengan munculnya film ini. Tapi sebelum itu, saya maunya sih nonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Ayolah! kapan saya bisa kabur???? 

Pengalaman nonton perdana sebuah film adalah sesuatu yang tak akan saya lupakan. Namun yang paling bikin tegang, siapakah di Internet yang pertama kali mengulas sebuah film? Ada begitu banyak jalan dibuka, dan dari dua studio besar di Epicentrum, siapakah di antara kami yang mengulas film ini? Semoga saya bisa mendapat kesempatan menonton premiere lagi.

PS: Ibu saya langsung heboh sambil mengompori kalau kumpulan cerpen saya, Jangan Terjebak, bisa banget dibuat dalam mode omnibus begini. Masalahnya, saya siapa??? Satu-satunya link adalah kesamaan sponsor dari Telkom. Sedikit memohon sih...

PS2: Sepertinya menurut penulisan, lebih etis menggunakan kata "dan" ketimbang simbol "&". Yang betul yang mana ya?

80%

Tidak ada komentar:

Posting Komentar