2077. 60 tahun yang lalu Bumi kita diserang oleh sekelompok alien bernama Scavenger atau Scav yang menghancurkan Bulan dan menggunakan senjata nuklir. Bumi menang, namun harus dibayar dengan lingkungan Bumi yang tak lagi stabil dan dicoba direkonsiliasi, dengan pengawasan di tiap sektor. Ketika itu, kebanyakan manusia telah pindah ke markas Tet di Titan, satelit Saturnus. Sektor 49 diawasi oleh Jack Harper (Tom Cruise) dan rekannya Victoria atau Vika (Andrea Riseborough). Mereka tinggal ratusan meter di atas Bumi dan tiap hari Jack berpatroli untuk membetulkan drones yang rusak dibantu oleh Vika yang mengontrol dari tempat tinggal mereka. Drones adalah mesin yang bertugas mencari Scav yang masih tersisa di Bumi. Jack sangat menyukai kehidupan di Bumi sementara Vika ingin cepat pergi ke Tet. Semua rutinitas mereka dibantu oleh commander dari Titan bernama Sally (Melissa Leo). Rutinitas tersebut terganggu ketika Jack menemukan seorang wanita dalam delta sleep bernama Julia (Olga Kurylenko) yang membuka mata Jack apa yang sebenarnya terjadi di Bumi.
RATING
Rated PG-13 for sci-fi action violence, brief strong language, and some sensuality/nudity
REVIEW
Cukup sulit menulis sinopsis untuk film ini. Setiap film post apocalyptic begini harus diceritakan dengan premis-premis terlebih dahulu. Oblivion adalah film yang cukup langka dalam ranah science fiction atau fiksi ilmiah. Kenapa bisa langka? Karena ia merupakan film yang berasal dari original screenplay tanpa ada dasar komik maupun media lain. Sebenarnya, ada novel grafis yang menjadi dasar, namun film ini lebih dahulu rilis. Kata kunci seperti Bumi yang sudah tak layak huni, kaum subversif yang masih ada di Bumi, dan yang paling seru Bulan hancur, serta Tom Cruise, semua itu seperti penarik film ini.
Kalau bisa dilihat, saya sebenarnya kurang suka pada film mainstream seperti ini. Tidak ada kekhasan, soalnya pasti ketika saya membicarkan film ini sekarang, sudah ada yang melupakan filmnya. Makanya lebih baik saya tulis film horor dan agak anti sama film seperti The Woman in Black itu. Oke, kita bahas yuk filmnya.
Film Oblivion merupakan proyek ambisius sang sutradara Joseph Kosinski (atau produser) yang menawarkan sebuah konsep fiksi ilmiah yang baru tanpa adanya presedor sebelumnya. Novel grafis karyanya pun belum dirilis sehingga satu-satunya kunci untuk mengungkap dunia ini hanyalah dengan trailer hingga potongan-potongan adegan. Kelihatannya film ini tak begitu heboh, mengingat pendapatannya sejumlah sekitar dua kali biaya pembuatannya yang kira-kira "hanya" 120 juta. Saya sendiri merasa biasa-biasa saja.
Tom Cruise yang sudah berusia 50 tahun di masa pembuatannya (saya nggak percaya, soalnya dia kelihatan masih mid-40) tampil sesuai kepentingannya. Aktingnya ya... sudah bukan buatan lagi untuk dipertanyakan, karena sejak saya melihatnya di Eyes Wide Shut, kok kayaknya dia mainnya begitu-begitu saja? Kata-kata modern dan fiksi ilmiah yang bertaburan dari mulutnya dan Vika seakan menegaskan keyakinan Cruise sebagai seorang Scientology yang banyak dianut oleh masyarakat Hollywood. Jadi, kelebihan Cruise dalam memerankan sesuatu terletak pada tampangnya dan kesesuaiannya pada karakter yang ia perankan, karena selebihnya sudah biasa.
Akting di film ini yang paling saya suka adalah paa Andrea Riseborough, namanya baru saya dengar. Mengingatkan saya pada aktris Jayma Mays, Riseborough membawakan tokoh Vika yang serba "teratur" atau mungkin "diatur" dengan sangat baik. Kelakuannya yang robotik, dan sangat prosedural bagi saya menarik di dalam filmnya kendati ia tak menjadi pemeran utama. Kurylenko juga berakting cukup baik, riasannya biasa saja, ya? Ia terlihat begitu biasa sebagai tokoh utama. Despite akting mereka, kita sebenarnya akan sangat tertarik dengan cerita dari Oblivion sendiri.
Ide dari kejutan-kejutan yang banyak muncul dari film adalah yang membuat saya terkesan. Mungkin terasa kuno, mungkin terasa tak inovatif, namun saat kita tahu bahwa ternyata ide yang begitu besar dari tugas Vika dan Jack bisa langsung terdekonstruksi dalam sekejap. Perasaan ini sama seperti ketika menonton The Village. Kalau di The Village, kita dibawa untuk menjadi cerita yang begitu tertutup, orientasi ke desa. Di Oblivion, kita dibuat menjadi mengecil dari ide yang begitu besar jadi begitu kecil. Bahwa ternyata yang hidup di Tet tidak ada, yang ternyata Scav itu sesungguhnya manusia, yang ternyata Vika dan Jack adalah kloning. Rentetan kejutan itu diberikan kepada kita dengan bagus, agar kita perlahan mendapatkan kejutan sesuai dengan porsinya. Hal ini merupakan sebuah wujud dari skenario yang baik.
Untuk film berdurasi 124 menit, film ini cukup baik mengatur cerita dan porsi durasi, meski beberapa terasa longgar di bagian tempat tinggal Jack dan Vika. Setidaknya, ini lebih menghibur daripada menonton The Avengers yang lamanya bukan main. Saya nunggu-nunggu, kira-kira film ini akan ada sekuelnya atau tidak, ya? Mengingat beberapa elemen yang menjanjikan. Tetapi, menjelang akhir rasa-rasanya kita terlalu difokuskan ke hubungan Julia dan Jack yang ternyata suami istri. Semua kontennya cukup televisi, sehingga bukan tak mungkin film ini akan tersaji di televisi swasta beberapa bulan atau tahun ke depan.
Mengingat saya jarang menonton film fiksi ilmiah, film ini bisa digolongkan sebagai film yang oke dan setidaknya dapat ditonton. Saya kurang tendensius pada film selain horor, sehingga Oblivion kurang mendapatkan perhatian saya, mungkin akan untung-untungan kalau nanti saya menonton (kalau ada) lanjutannya. Selama ini, kalau diajak nonton fiksi ilmiah sih saya hayuk aja. Masalahnya... saya jadi luar biasa cerewet.
NB: Saya butuh sistem skor yang baru....
50%
Ide dari kejutan-kejutan yang banyak muncul dari film adalah yang membuat saya terkesan. Mungkin terasa kuno, mungkin terasa tak inovatif, namun saat kita tahu bahwa ternyata ide yang begitu besar dari tugas Vika dan Jack bisa langsung terdekonstruksi dalam sekejap. Perasaan ini sama seperti ketika menonton The Village. Kalau di The Village, kita dibawa untuk menjadi cerita yang begitu tertutup, orientasi ke desa. Di Oblivion, kita dibuat menjadi mengecil dari ide yang begitu besar jadi begitu kecil. Bahwa ternyata yang hidup di Tet tidak ada, yang ternyata Scav itu sesungguhnya manusia, yang ternyata Vika dan Jack adalah kloning. Rentetan kejutan itu diberikan kepada kita dengan bagus, agar kita perlahan mendapatkan kejutan sesuai dengan porsinya. Hal ini merupakan sebuah wujud dari skenario yang baik.
Untuk film berdurasi 124 menit, film ini cukup baik mengatur cerita dan porsi durasi, meski beberapa terasa longgar di bagian tempat tinggal Jack dan Vika. Setidaknya, ini lebih menghibur daripada menonton The Avengers yang lamanya bukan main. Saya nunggu-nunggu, kira-kira film ini akan ada sekuelnya atau tidak, ya? Mengingat beberapa elemen yang menjanjikan. Tetapi, menjelang akhir rasa-rasanya kita terlalu difokuskan ke hubungan Julia dan Jack yang ternyata suami istri. Semua kontennya cukup televisi, sehingga bukan tak mungkin film ini akan tersaji di televisi swasta beberapa bulan atau tahun ke depan.
Mengingat saya jarang menonton film fiksi ilmiah, film ini bisa digolongkan sebagai film yang oke dan setidaknya dapat ditonton. Saya kurang tendensius pada film selain horor, sehingga Oblivion kurang mendapatkan perhatian saya, mungkin akan untung-untungan kalau nanti saya menonton (kalau ada) lanjutannya. Selama ini, kalau diajak nonton fiksi ilmiah sih saya hayuk aja. Masalahnya... saya jadi luar biasa cerewet.
NB: Saya butuh sistem skor yang baru....
50%
Earth is a memory worth fighting for..
BalasHapushttps://www.youtube.com/watch?v=8b6xSyFz6B0