Philip Winthrop pergi dari Boston menuju daerah terpencil di New England untuk bertemu dengan tunangannya, Madeline Usher dengan maksud mengajaknya kembali ke Boston dan menikah. Philip menuju kediaman Usher yang berada di tengah rawa. Keberadaannya di sana rupanya kurang diterima mulai dari pelayan Usher, Bristol dan terutama kakak Madeline, Roderick Usher yang berkata bahwa keluarga Usher adalah keluarga yang terkutuk dan mati dalam kegilaan mereka, dan tak seharusnya Philip memperjuangkan Madeline. Tatkala Philip akhirnya bersikeras untuk menginap di rumah itu, ia harus menghadapi konsekuensi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di rumah Usher.
RATING
UR. Suggested rating is PG-13 for disturbing elements and some scary images
REVIEW
Hal unik yang segera saya lihat di film ini adalah ratingnya. Tahun 1960, kala semua film adalah mild, tidak terlalu kasar, dan sebagainya, rupanya film ini banyak di-banned oleh beberapa negara dan kalaupun diterima, ia diperuntukkan untuk 16 tahun ke atas. Saya sendiri pertamanya memberi film ini rating PG, namun setelah melibatkan adegan cekik dan darah dan semacamnya, saya naikkan sekalian jadi PG-13. Tentunya semua bertanya-tanya, ini film apa sih?
House of Usher adalah film horor yang diangkat dari cerita pendek karya Edgar Allan Poe yang berjudul asli The Fall of the House of Usher. Kisah yang difilmkan ini mempunyai beberapa perubahan, yang dimaksudkan untuk membuat kisah ini lebih menyeramkan. Saya berdeham, kalau ini dibilang seram, berarti tahun-tahun dulu itu, Psycho sangat sangat mengerikan, dong? Film ini memang klasik, dan bukan buatan kalau kita akan menyukainya. Kembali ke adaptasi, cerpen tersebut telah banyak diangkat ke berbagai dimensi story telling mulai dari film hingga opera dengan penyesuaian. Bagi saya, entah mengapa saya kurang memahami seramnya novel-novel zaman dahulu. Mungkin karena manner mereka sangat halus, sehingga seperti di bidang Poe, romantisme, yang dikatakan horor maupun seram ya cuma segini.
Perkenalan kita dengan House of Usher yang remarkable adalah penggunaan set studio untuk bagian eksterior, saya sampai ragu, apakah jangan-jangan film ini memang dibuat di set tertutup semua? Sepertinya demikian, karena banyak melibatkan bagian dalam rumah dan bagian depan rumahnya juga "lukisan" banget. Wah, ini benar-benar klasik rupanya. Semenjak saya menonton film-film jadul, saya jadi merasa bahwa mereka itu canggih juga, sehingga film ini tampak begitu modern.
Terutama, hal terpenting dalam film klasik adalah skenario. Skenario mereka itu begitu greget, menggunakan bahasa yang halus dan tinggi. Saya berkali-kali buka kamus untuk mencoba mengartikan kata-kata yang mereka rangkai. Berbeda dengan film zaman sekarang yang selalu ada imbuhan makian. Film klasik juga punya cara-cara sendiri untuk mengagetkan, terutama dengan musik yang menyeramkan dan zoom in.
Musik yang diprakarsai oleh Les Baxter ini terus menerus tormenting penonton dengan cara yang mengingatkan saya pada Suspiria. Tahu kan, kalau kita terus menerus dibimbing oleh musik dan selalu mengeluarkan bunyi-bunyi mengerikan? Adapun, Baxter memberikan nuansa klasik yang kental agar tepat dengan film ini.
Akting keempat orang yang berada di rumah ini menurut saya sesuatu yang bagus, dengan durasi kurang 80 menit (karena memang ceritanya yang lumayan pendek dan semacamnya), para pemain memberikan nuansa yang membuat penonton merasa kalau film ini cukup lama. Aktor Mark Damon yang memainkan Philip bagi saya cukup baik karena setidaknya ia berhasil memancarkan emosi yang membuat kita paham seperti apa karakter Philip; egois, realis, sekaligus rapuh. Beberapa adegan, nampaknya ia kecolongan ekspresi dan terlihat datar. Saya juga tak menaruh banyak keinginan untuk menyaksikannya, setidaknya ia cukup baik lah.
Aktor beken Vincent Price justru menarik perhatian saya. Kelihatannya, saya belum pernah mengamati aktor ini, tetapi namanya sering terpampang di poster-poster film jadul. Ia bermain dengan apik sebagai seseorang yang ambigu. Kita dibawa bersama Philip untuk menentukan yang manakah yang benar? Dan Vincent Price sebagai Roderick mampu membawanya dengan baik. Ia mengambil kepercayaan saya sepenuhnya, bahwa yang benar pasti si Roderick ini. Hingga penghujung film, saya sepertinya tetap suka pada akting Price.
Sementara itu, akting kedua lainnya cukup kuat. Keberadaan mereka tidak terlalu penting menurut saya, tidak remarkable, kecuali ketika Madeline matanya di-zoom in untuk mendapatkn kengerian maksimal.
Horor klasik bagi saya seperti ini kurang menyeramkan, walaupun banyak yang komentar positif seperti (misalnya) The Exorcist. Butuh waktu bagi saya untuk memahami kalau film itu memang menyeramkan, namun itu kembali lagi, sebenarnya yang bikin mengerikan di film horor itu apa? Kalau saya sih suara, menonton film horor di bioskop adalah sesuatu yang menyebalkan. Teknik suara di zaman dulu sepertinya kurang diperhatikan.
Filmpun berakhir dengan seisi rumah terbakar (dengan goofs dimana-mana). Saya inginnya komentar bahwa film ini biasa-biasa saja, tetapi saya akui musiknya yang eerie itu mampu membuat saya terganggu. Memang deh, keahlian film zaman dulu itu adalah di musik. Satu hal yang menyeramkan juga adalah lukisan-lukisan anggota keluarga Usher yang ketika petir menyambar, dapet banget seremnya. Misteri yang dibangun oleh film ini, sayangnya, kurang begitu memuaskan.
Kita membutuhkan sebuah misteri yang beruntun, yang semakin lama semakin besar. Film ini tak seperti itu, ia memberikan banyak superstition dan kita jadi bingung mau pilih yang mana. Roderick ngomong mengenai kutukan dengan bicara yang terlalu "halus", terlalu "imajiner", sehingga kita bingung, mana yang sebenarnya kejutan? Saat tahu bahwa Madeline mengidap katalepsi, saya ya...nggak sesuka ketika menonton The Last Exorcism. Ya sudah lah kalau ia mengidap katalepsi, kelihatannya film ini tak mampu membawa saya terlalu dalam ke rumah Usher.
NB: Padahal yang menulis skenarionya itu Richard Matheson, penulis I am Legend dan Button, Button yang jadi inspirasi The Box. Ia lumayan bagus lho.
66%
Tidak ada komentar:
Posting Komentar