Beasiswa Sorbonne yang digenggam Ikal (Lukman Sardi), dan sepupunya Arai (Abimana Aryasatya) membawa mereka ke Paris kendati harus hidup pas-pasan sembari mengirimkan uang kepada Ayah (Mathias Muchus). Kita akan melihat bagaimana Ikal harus bertahan menghadapi gejolak cinta yang terjadi antara ia dan Katya, seorang mahasiswi Jerman, padahal ia harus berkutat antara nilai-nilainya dan kenangannya akan A Ling. Arai yang mencoba memotivasi Ikal malah berujung pada pertengkaran dan keduanya menjauh. Bagaimana nasib kedua anak Belitong di perantauan?
RATING
Suggested rating is PG for thematic and some disturbing elements
REVIEW
Hasil akhir saya terdapat film ini jelas, sambil senyum-senyum saya menyumpah kenapa bagian perjalanan yang paling seru di buku yang melibatkan setengah isi buku itu tiba-tiba terbakar entah kemana? Jadi ini cuma.... akhhh.... hampir-hampir saya dibuat percuma oleh film ini karena harus berjuang mencari mushala di mal yang tak penuh. Oke, jadi saya ceritakan mengenai film ini.
Indonesia tengah menuju Eropa! Begitulah yang dapat kita lihat dalam film ini, dan tak pelak akan mengingatkan kita pada satu film yang sudah saya bahas sebelumnya, yakni 99 Cahaya di Langit Eropa. Saya agak kaget melihat kehadiran Abimana yang bermain sebagai Arai. Kita dulu ingat kepada Ariel sebagai Arai, saya tak mau mempermasalahkan hal tersebut karena saya memang tidak menonton secara utuh tentang Sang Pemimpi yang mungkin dirasa laris itu. Jadi, itu kurang ngefek. Yang jadi titik masalah adalah bagaimana si Abimana ini bisa ada di film tentang Eropa yang rilis hampir bersamaan? Entahlah (lagi).
Film yang jumlah penontonnya penuh di teater (3 slot penuh semua) menandakan masih banyak yang ingin melihat lebih dalam, bagaimana kelanjutan perjalanan Ikal menggapai mimpinya. Saya sendiri (lagi-lagi) menjadi budak dari keluarga untuk ikut menonton. Sepertinya kata budak terlalu kasar. Inginnya daku menonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang serba keren. Meskipun banyak cacian terhadap film-film dari Soraya (hantu-hantu something), saya tahu bagaimana kualitas Soraya dalam menggarap art direction sebuah film dengan kru-kru khasnya.
Dayu-dayu mulut melayu. Itulah yang bisa saya tangkap dari film ini. Monolog yang terasa aneh (berikut dialog) muncul secara pas dan tidak pas dari mulut Ikal dan Arai selama film ini berlangsung. Makanya saya curiga, bisa-bisanya waktu 90 menit muat diiisi konten dari novel yang jumlahnya banyak. Rupanya ada jebakan betmen, persis 99 Cahaya di Langit Eropa. Kurang ajarrrrr.... Kita diberikan banyak mengenai pergulatan hati Ikal, yang sepintas menarik, sepintas menggugah, namun kebanyakan akan membuat terlalu dramatis.
Benni Setiawan selaku "pengganti" Riri Riza dalam garapan langsung film ini tak bisa disalahkan begitu saja, walaupun ia juga yang menulis skenario film ini. Saya sudah lama tak membaca bukunya, sehingga saya dan mungkin tidak membaca bukunya tak akan merasa kesulitan mencerna apa yang berusaha diungkapkan Benni di sini. Satu hal yang mengganggu, lagi-lagi munculnya kata-kata khas Melayu seperti simpai keramat yang sepertinya tak dijabarkan secara mendalam. Tapi.... dari judulnya saja, kita seperti sudah diminta untuk menonton film pertamanya.
Paris. Kota ini semakin akrab di kalangan perfilman Indonesia. Mulai dari yang sangat kita hapal, Eiffel... I'm in Love sampai film ini. Sajian eksterior yang dirasa manis di bagian awal (ketika dissolve shot antara Eiffel malam dan pagi) itu saya rasa keren, namun dengan cepat semua berubah, menjadi banyak ke street shot yang melibatkan pemain. Bukannya tak suka, namun penggunaan set luar negeri memang kebanyakan harus menampilkan excitement bukan? Kita kan belum pernah ke sana, tunjukkin dikit dong... mungkin begitu keluh penonton. Saya jadi ingat film 6:30 besutan Tangankiri Productions tahun 2007 yang bikin ngantuk itu, film itu juga sangat fokus pada perkembangan pemainnya, kendati syutingnya di Amerika.
Satu hal yang saya puji di film ini adalah, ia tak berusaha menerjemahkan bahasa asing ke bahasa kita sendiri. Para pemainnya benar-benar menggunakan actual language yang terdengar cocok, lah. Mulanya saya tak sadar melihat hal itu, tapi lama kelamaan, waw, hebat juga ya mereka berbicara bahasa Perancis terus. Terlebih Lukman Sardi yang banyak berakting di luar dengan Katya. Saya kagum pada kesungguhan mereka (sambil melirik film 99 Cahaya itu).
Banyaknya adegan flash back, laksanakan coba ajarkan kita bagaimana cara kita memanfaatkan masa lalu. Tak ada masa lalu yang tak manfaat. Begitu lah. Sesuatu yang membuat saya bergidik kala saya tak menyadari bahwa paman Ikal di kapal yang dilakon Arswendo itu ternyata pulang di tiang gantungan kapal. Entah dibunuh atau bunuh diri (mosok habis ngasih wejangan bagus-bagus soal mimpi malah bunuh diri). Adegan kilas balik saya rasa sedikit terlalu mengganggu, berhubung saya tak juga menemukan hal yang dapat membuat emosi Lukman Sardi ini jadi naik.
Ke sini saya malah mau membicarakan akting mereka. Mau tahu? Mereka berdua berperan sangat baik, dan mampu kelihatan menjadi sahabat, bukannya pacar (kwkwkwk), dan Lukman Sardi sendiri membawakan peran Ikal apa adanya. Memang sesuai, memang tepat, namun saya tidak merasakan bahwa saya akan digiring oleh Benni melalui Lukman Sardi ke arah film. Sementara itu, Abimana banyak bertingkah malah seperti 99 Cahaya. Jelas, ini pemain saya baru kenal, ujug-ujug sudah main dua film besar, disponsori besar-besaran lagi, wkwkwkwk (lagi). Abimana harus banyak menentukan mana karakternya dan mana karakter satunya. Ia mampu menjadi bintang besar. Akting yang lainnya cukup mendukung, Arswendo, Mathias Muchus, Hengky Solaiman, semuanya bermain mendukung dengan baik.
Sponsor yang muncul di film ini malah lebih keterlaluan dibandingkan film 99 Cahaya. Berakting sedang mengambil uang, Mathias Muchus turut memberikan (secara gamblang tak gamblang) mengenai fungsi-fungsi di kantor pos. Ada pula bank *** yang muncul (hanya) di buku tabungan saja, entah apa maksudnya. Soal menyoal promosi ini memang terkadang sesuatu yang pelik. Kemasan penampilan promosi di film Indonesia lumayan kurang kreatif. Saya ingat betul bagaimana iklan obat nyamuk Ba**** bisa muncul di film Di Bawah Lindungan Kabah yang latarnya terletak di tahun 20an. Harus ada artikel spesifik mengenai hal ini.
Masalah terbesar film ini adalah ketika ia memutuskan untuk lebih fokus kepada pengembangan karakter antara Ikal dan Arai bersamaan dengan kejadian-kejadian di sekitar mereka. Saya bukan menghakimi, terlebih lagi karena salah nggak baca sinopsis, tapi film ini sukses menipu saya untuk menontonnya. Ini bukan jenis film yang saya sukai, jujur, dan saya memang flat as possible saat menontonnya. Adegan yang paling lucu di percakapan Adam Smith dan Rhoma Irama pun bagi saya hanya menguar tawa, tetapi saya memang kurang menggemari genre ini dan satu hal, bahwa saya tak kunjung mendapatkan tujuan dari film ini.
Film Edensor, sesuai singkat saja, berkisar pada kehidupan sebagai mahasiswa yang banyak disibukkan oleh cinta, dan degradasi moral karena tak adanya pengekangan. Ide laten itu sebenarnya saya tangkap, hanya saja dia tak mengemukakan apa sebenarnya maksud dari film ini. Pertama cinta, kedua keluarga, ketiga cinta pertama, keempat lari-lari di stasiun, kelima nazar Arai, semuanya bercampur baur dan diberikan begitu saja. Bukan saya sebal, tapi rasanya saya tak kunjung menemukan apa yang menjadi tujuan pasti, sebelum akhirnya seperti yang saya tulis di awal alinea, sebagai potret kehidupan mahasiswa dan terutama problematika Arai-Ikal.
Saya terlalu memberikan tendensi saya? Mungkin saja. Saya bisa dibilang lebih menyukai ketika mereka travelling, dan rupanya memang harus menunggu lagi. Dengan segala hormat, film ini bagus untuk ditonton karena kesegaran isinya dan hampir bisa dibilang cocok untuk keluarga. Hanya, rentetan ketidakcocokan tujuan film dengan diri saya membuat saya jadi tak nyaman. Mungkin akan segera berubah ketika saya menonton bagian keduanya, semoga.
71%
NB: Kelihatannya saya harus membuat sistem penilaian baru, entah apa itu. Ada yang mau usul?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar