? menceritakan kisah-kisah keberagaman dan konflik-konflik yang tercipta di antara mereka. Ada kisah sebuah restoran Cina yang selalu baik kepada Muslim, ada pegawai restorannya yang akrab kepada pemiliknya juga akrab dengan seorang wanita yang baru pindah agama. Wanita itu juga berteman dengan seorang muslim taat yang menjadi pemeran Yesus di acara Paskah. Kita juga dikenalkan pada kontradiksi-kontradiksi yang ada. Semuanya diceritakan secara beruntun dan kita akan berujung pada satu pertanyaan: Masih pentingkah kita berbeda?
RATING
Suggested rating is PG-13 for thematic elements
REVIEW
Kalau saya mengulasnya secara filmis, jelas film ini keren. Sumpah, keren asli. Mungkin hal pertama yang mengganggu adalah adanya adegan penusukan pendeta di awal film yang tak punya kaitan. Itu terasa agak diskredit, film ini jelas mengenai agama, lantas buat apa bilang-bilang hal tersebut tidak ada hubungannya dengan agama? Apa hubungannya? Masalah kedua adalah tidak koherennya sikap anak Rika menghadapi perpindahan agama ibunya yang tidak dijelaskan lebih lanjut hingga mengapa ia menerima ibunya? Baru saja dia ngaji surat Al-Kafiruun. Aneh kan? Masalah ketiga, kalau misalnya si Rika sudah ditolak masuk masjid, mengapa akhirnya bisa sama-sama?
Kalau saya mengulasnya secara agama, jelas film ini hampir-hampir seperti penistaan pada agama Islam. Di sini, saya tidak akan menolak kalau ulasan kali ini saya akan memihak pada agama saya. Sesuai pada kenyataan, bahwa agama itu tidak boleh inklusif, harus eksklusif. Sampai mana batas toleransi, masing-masing agama menurut saya sudah memberikan batasan yang jelas.
Film ini memberikan gambaran-gambaran kabur mengenai hal tersebut. Kita diajak untuk bertoleransi secara membingungkan. Pertama, sebagai seorang muslim, kita tidak boleh mengucapkan assalamualaikum kepada pemeluk agama lain. Kedua, tidak ada alasan apapun mengapa kita boleh memahami orang yang pindah agama. Alasannya, walaupun tidak karena agama, lagi-lagi terlihat karena si Rika tak mau dipoligami, dan tak ada sebab lain. Kemudian, rasanya memang diperlihatkan agama Islam sebagai agama yang tak pernah baik, tak pernah toleransi, penuh dengan kekerasan. Padahal, sudah sejak bertahun-tahun kita hidup dengan baik. Asas permisivisme dalam film ini justru akan menimbulkan gangguan.
Pernah membaca wacana Jusuf Kalla menjawab pertanyaan pemeluk Kristen mengapa didirikan masjid di setiap perusahaan? Bukan gereja? Jawabannya cukup di luar dugaan, umat Islam sudah lama menghargai umat Kristen, seperti dari hari libur di Minggu (Ahad) bukan di Jumat sehingga umat Kristen bisa beribadah dengan baik. Lihat umat Islam, mau-maunya saja hari Jumat bekerja, padahal itu adalah hari besar mereka, hari dimana mereka beribadah Jumatan. Jadi sebenarnya kita tak bisa menggeneralisasikan orang Islam semua bermental keji.
Memang, sekali lagi memang bahwa umat Islam banyak yang terlibat pemikiran salah mengenai jihad, seperti yang diluruskan oleh Banser NU disini. Hal berikutnya yang mengganggu saya adalah ketika Agus Kuncoro bermain sebagai Yesus di Paskah dan lainnya. Itu lho, orang Kristennya saja ada yang marah-marah karena merasa dilecehkan. Itu ngerti, yang lain pada diem-diem aja lagi. Apaan coba. Jelaslah kalau ini penistaan, apalagi yang lebih anehnya lagi si Agus latihan di masjid (dia gak punya tempat tinggal jadi nginep disana) dan si ustaznya dengan santai bilang, "Udah, udah mirip Yesus, kok."
AKHHHHH
Hal ini dilanjutkan dengan dia rajin membaca Alquran, berdoa. Aduh, ini deh sumpah maksudnya apa. Saya nggak ngerti. Saya juga bingung mau kasih film ini berapa. Tapi saya punya saran agar film ini bisa diubah, agar tidak menyinggung agama-agama yang lain, boleh dong kalau diangkat yang lain. Menurut saya perpindahan agama itu rasanya terlalu kasar. Simpan saja nanti kalau Indonesia sudah lebih liberal (kayaknya tidak mungkin).
Kali ini filmnya spesial, tidak mau saya kasih nilai, karena kalau saya tulis paling cuma 0% dengan segala kebaikan hati saya pada hal-hal benar yang diajarkan di film ini saya berikan 0%. Pemahaman mengenai pluralitas (bukan pluralisme) dihargai 0% saja. 100 persen sisanya adalah dampaknya. Betul? Bukankah anda ikhlas membuatnya?
Pernah membaca wacana Jusuf Kalla menjawab pertanyaan pemeluk Kristen mengapa didirikan masjid di setiap perusahaan? Bukan gereja? Jawabannya cukup di luar dugaan, umat Islam sudah lama menghargai umat Kristen, seperti dari hari libur di Minggu (Ahad) bukan di Jumat sehingga umat Kristen bisa beribadah dengan baik. Lihat umat Islam, mau-maunya saja hari Jumat bekerja, padahal itu adalah hari besar mereka, hari dimana mereka beribadah Jumatan. Jadi sebenarnya kita tak bisa menggeneralisasikan orang Islam semua bermental keji.
Memang, sekali lagi memang bahwa umat Islam banyak yang terlibat pemikiran salah mengenai jihad, seperti yang diluruskan oleh Banser NU disini. Hal berikutnya yang mengganggu saya adalah ketika Agus Kuncoro bermain sebagai Yesus di Paskah dan lainnya. Itu lho, orang Kristennya saja ada yang marah-marah karena merasa dilecehkan. Itu ngerti, yang lain pada diem-diem aja lagi. Apaan coba. Jelaslah kalau ini penistaan, apalagi yang lebih anehnya lagi si Agus latihan di masjid (dia gak punya tempat tinggal jadi nginep disana) dan si ustaznya dengan santai bilang, "Udah, udah mirip Yesus, kok."
AKHHHHH
Hal ini dilanjutkan dengan dia rajin membaca Alquran, berdoa. Aduh, ini deh sumpah maksudnya apa. Saya nggak ngerti. Saya juga bingung mau kasih film ini berapa. Tapi saya punya saran agar film ini bisa diubah, agar tidak menyinggung agama-agama yang lain, boleh dong kalau diangkat yang lain. Menurut saya perpindahan agama itu rasanya terlalu kasar. Simpan saja nanti kalau Indonesia sudah lebih liberal (kayaknya tidak mungkin).
Kali ini filmnya spesial, tidak mau saya kasih nilai, karena kalau saya tulis paling cuma 0% dengan segala kebaikan hati saya pada hal-hal benar yang diajarkan di film ini saya berikan 0%. Pemahaman mengenai pluralitas (bukan pluralisme) dihargai 0% saja. 100 persen sisanya adalah dampaknya. Betul? Bukankah anda ikhlas membuatnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar