Selasa, 24 Desember 2013

[REVIEW]The Artist (2011)

SINOPSIS
George Valentin (Jean Dujardin) adalah aktor terkenal di era film bisu. Perjumpaannya secara tidak sengaja dengan seorang penggemar bernama Peppy Miller (Bérénice Bejo) membuat Pepppy mengikuti audisi menjadi penari di film Valentin yang terbaru, A German Affair. Kemudian, era film bicara atau talkies-pun dimulai sementara Valentin bersikeras untuk tidak meninggalkan era film bisu dan memproduksi filmnya sendiri. Peppy semakin sukses dengan karirnya di film suara sementara Valentin jatuh terpuruk seusai bangkrut dengan film bisu yang ia produksi sendiri. Di tengah transisi film bisu dan suara, di tengah dilema seorang artis, akankah cinta mereka bersatu?


RATING
Rated PG-13 for a disturbing image and a crude gesture

REVIEW
Aduh, saya jatuh cinta pada film ini. Saya jatuh cinta pada bagaimana ia dibuat, bagaimana aktingnya berlakon, bagaimana setnya diatur, sungguh indah! Rasanya pantas-pantas saja mengapa ia dianugerahi Best Picture dalam Oscar 2011. Film ini begitu dapat dinikmati oleh kita yang bahkan sangat jarang menonton film bisu, bahkan hitam putih. Ini adalah salah satu film yang "ringan" jika kita menilik film-film berat yang banyak bertaburan di ajang Oscar.
Dujardin selaku George Valentin benar-benar menghidupkan karakternya. Saya akan membicarakan ia dulu karena ia merupakan keseluruhan inti dari sebuah cerita. Sebenarnya kisah yang akan ia mainkan adalah sebuah kisah yang mudah. Tentang seorang pria yang egois dan tak mau menerima kenyataan bahwa era sudah berubah. Namun, kemasan dan ide film ini betul-betul orisinal dan menarik. Sayang, mungkin saja akan ada orang yang kurang tertarik karena film hitam putih selalu tertumpuk pada ide membosankan.

Kembali ke Dujardin, kita dibawanya untuk mendalami tanpa sedikitpun monolog, mendalami bagaimana ketika ia begitu cemerlang dengan ekspresinya, begitu depresi dengan raut matanya, begitu marah dengan lakonnya. Sungguh, ia benar-benar aktor film bisu yang kembali ke kehidupan nyata. Saya memang belum pernah menonton film bisu sebelumnya (mau dapat dari mana?), tetapi saya cukup sering menonton film hitam putih. Agaknya, film klasik mempunyai kekuatan gestur yang sangat baik, yang sangat menonjolkan ekspresi sehingga kita dapat memahami. Di film ini pun kita juga akan menikmati ekspresi tersebut. Dujardin adalah aktor yang cemerlang, dan menjadi faktor apiknya film ini.

Sementara itu, Bejo memperlihatkan sebagai seorang Peppy Miller yang begitu ceria dan ekspresif pada awalnya. Kita seperti mendukung Bejo dan film suara, membuat di setiap adegan kemurungan Valentin, kita seperti bilang, ayo dong! Masa mau egois terus?! dan sebagainya. Peppy begitu mampu untuk melakonkan sebagai seorang gadis biasa hingga menjadi aktris terkenal di Hollywood. Menariknya, kita juga diperlihatkan pada poster-poster film dan kredit film jadul yang menandakan naiknya popularitas Peppy. Hal ini juga menjadi satu titik humor tersendiri bagi penonton. Chemistry mereka berdua terlihat pas, namun Bejo menurut saya sedikit kurang dalam memainkan ekspresi saat di adegan-adegan intens seperti saat Valentin hendak bunuh diri.
Aktor telah dibahas, satu hal yang akan saya bahas adalah tentang breaking the forth wall. Valentin agaknya mulai shock saat film bersuara mulai menggerus dan Kinograph tempatnya berkarya tak lagi mau memproduksi film bisu. Kita diperdengarkan suara setelah sekian lama, begitupun Valentin, stres. Bingung. Hal ini seperti, Valentin itu sangat trauma pada kata "talk" yang akan mengingatkannya pada kebangkrutan yang ia alami. Ini agak menggelitik dan begitu jenius.

Film ini bergenre rom-com yang asyik. Coba lihat betapa lucunya Bejo sebagai Peppy Miller yang mengidolakan Valentin. Valentin juga lucu dalam adegan-adegan awal, dan itu menjadi sebuah kesenduan tatkala ia akhirnya bangkrut. Sepanjang film, tensi saya kebanyakan naik, ingin selalu melihat apa yang akan terjadi dengan hubungan mereka. Adegan demi adegan rasanya terjalin kuat dan tidak sia-sia. Ini adalah film bisu tempat kita harus memahami sendiri apa arti sebuah adegan. Lewat adegan-adegan itulah, kita memahami betapa galaunya hati Valentin dengan post power syndrome yang ia alami. Untung saja supir-managernya serta sang anjing begitu baik kepadanya. 
Jangan tanyakan saya bagaimana settingnya. Setting di film ini begitu keren. Saya mungkin bukan orang dari zaman tersebut, namun settingnya membuat saya ingat film Repulsion karya Roman Polanski yang apartemen Valentin hampir se-ide dengan di Repulsion. Saya juga jadi ingat setting di studio dengan di film Hitchcock. Entahlah apa itu merupakan sebuah goofs atau bukan, tapi itu artinya film ini benar-benar membuat saya menikmati apa yang ia sajikan. Terlebih, kita bisa melihat bagaimana film zaman dahulu dibuat. Oh, jadi begini film bisu yang bagus? Itu menjadi sebuah pengetahuan bagi kita mengenai film bisu.

Akhir film ini begitu membuat saya tersenyum. Sungguh akhir yang menyenangkan, dan tentu itu yang kita harapkan, senyuman dari George Valentin. Film ini merupakan salah satu film yang membuat saya tertarik untuk menyaksikannya. Bila Suspiria membuat saya menjadi nyaman dengan film horor, agaknya film ini pun akan membuat saya melirik genre komedi romantis. Sebuah sajian filmografi yang jangan sampai dilewatkan. Saya pernah melewatkan film ini tahun lalu, soalnya.

98%



Tidak ada komentar:

Posting Komentar