Diangkat dari novel best-seller karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, film ini menceritakan kisah sepasang suami istri tersebut yang pindah ke Wina, Austria karena Rangga (Abimana Aryasatya) berkuliah S3 disana. Hanum (Acha Septriasa) yang menjadi pengangguran, memutuskan untuk mengikuti kursus bahasa Jerman gratis dimana ia menemukan seorang wanita asal Turki yang berhijab bernama Fatma Pasha (Raline Shah). Mulai dari pertemuan itu, Hanum dan Fatma menjadi sahabat dan menelusuri peninggalan-peninggalan Islam yang bersejarah, yang tersembunyi di Eropa. Kita juga diajak mengenal anak Fatma, Ayse dan kehidupan Rangga di kampus dengan temannya Stefan yang ateis (Nino Fernandez) dan Khan yang muslim (Alex Abbad).
RATING
Suggested MPAA rating is PG for thematic elements and drinking
REVIEW
Kalau mau menonton sama keluarga, memang yang paling baik adalah menentukan sejak awal. Saya menonton film ini, tentu karena viral-nya sudah banyak tersiar, terutama dalam komunitas pemuda muslim. Terang saja, film ini seakan menjadi pemberi harapan kepada para pemuda untuk meneruskan cita-cita dan terutama karena bukunya yang laris itu. Ketika saya dan keluarga memilih, kita dihadapkan pada empat film Indonesia, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, 99 Cahaya di Langit Eropa, Mengejar Setan, dan Soekarno. Film horor memang langsung dicoret, film Tenggelamnya... berdurasi dua jam lebih (kebiasaan film-film Soraya) dan kata ibu saya yang nggawe orang India, dan Soekarno demikian lama pula ditambah kontroversi yang menyertainya. Saya takut kalau menonton film ini tanpa tahu kisah aslinya terlebih dahulu nanti malah iya-iya saja. Saya trauma dengan ? dan Perempuan Berkalung Sorban, soalnya. Alhasil, film ini menjadi pilihan setelah adu argumen.
Ketika saya melihat Acha bermain di peran utama, saya langsung mengingat-ingat, kapan terakhir kali dia main film. Beberapa filmografinya jelas lebih sukses daripada Shandy Aulia yang terjebak dalam film-film garapan Soraya Intercine. Di sini, kita dilihat seberapa bagusnya Acha akan bermain? Setelah saya lihat dari pertama, saya masih melihat gelagatnya di film Apa Artinya Cinta? dan Heart. Masih bermain seakan ia remaja. Keadaan ini sama seperti Shandy Aulia di Rumah Kentang. Akting Acha entah kenapa tak pernah berubah mulai dari cara ngomongnya yang khas hingga pembawaannya, natural sebagai Acha, bukan sebagai Hanum, kendati ia telah sesuai dengan yang ada dalam buku.
Diawali dengan monolog Hanum, kita diajak melihat sekilas mengenai Eropa. Guntur Soeharhjanto bermain dengan cantik dan mampu memberikan kepada kita keindahan-keindahan yang alami, sekadar taman, sekadar patung, tak perlu dengan helishot yang diambil dari adegan video lain. Misi yang dibawa Guntur jelas sulit karena dalam novel, Hanum memberikan deskripsi yang tak terlalu kronologikal menurut saya. Guntur yang terbiasa dengan film-film komedi kini dihadapkan pada drama berset di luar negeri.
Perlahan, mulai diberikanlah cerita seperti apa, mulai dari Ayse yang menghadapi dilema kerudung, Hanum yang tersindir dikit-dikit mengenai hijab, hingga masalah fikih yang dihadapi muslim Eropa seperti yang dialami oleh Rangga. Semua berjalan layaknya film drama biasa, dengan setia merujuk pada novel (walaupun ada beberapa poin yang dihilangkan), dengan adegan sedih dan bahagia, semua diberikan secara halus. Sebenarnya, ini merupakan satu film mengenai Islam yang inspiratif bagi para pemeluknya, terutama bagi muslimah yang belum berhijab. Yang di Eropa aja pake jilbab, masa' elu yang di Jakarta kaga pake? Nah, kan? Lihat seberapa manjurnya itu.
Joseph S. Djafar dalam menata musik, bagi saya merupakan sesuatu yang baru baginya. Ia sudah berperan sebagai penata musik film di Maxima dengan jumlah film yang banyak. Coba ambil satu film, saya yakin ada namanya di situ, meski tak semuanya juga. Ia memberi sentuhan Eropa dengan baik dan segera membuat kita berada di acara televisi yang menayangkan Eropa. Departemen sinematografi? Saya anggap memang sudah baik jadi ya tak perlu dipermasalahkan. Hal yang menggelitik adalah kala saya melihat Alim Sudio yang biasa menulis horor itu kini tampil bersama penulis novel menjadi penulis skenario. Mungkin karena film ini merupakan film ke-40 Maxima, mereka ingin mengadakan reuni.
Maxima Pictures pernah menjadi bagian di hati saya dengan posternya yang bagus-bagus. Sayangnya, saya menjadi sebal tatkala ia mulai memproduksi film horor komedi seks yang menjijikkan itu. Film ini bagai antitesisnya. Sebagai sebuah film yang berdurasi 96 menit dan berlokasi syuting di 4 negara, tentu saja Maxima membutuhkan dana segar untuk berangkat. Tahu sendiri, jadwal syuting di Eropa itu lumayan ketat karena sekali ada yang gagal, mereka langsung minta tambahan fee. Tenang, kita tahu sendiri mana produk yang menjadi sponsor.
Buka-bukaan sedikit, kita dikasih lihat kecanggihan bank Mandiri (itu lho, bank yang donasikan 10 M atau T ke TNI), Wardah (kosmetik yang sekarang jadi booming semenjak hijab fashion mulai merambah dunia), dan ada Dian Pelangi yang jelas. Film ini tak terlalu kurang ajar kok dalam menampilkan sponsor. Kita banyak disuguhi pengalaman-pengalaman Hanum yang bakal buat penonton jadi ingin ke Eropa. Tenang saja, film ini didanai oleh Uni Eropa yang di awal film sudah menuliskan keterangan bahwa mereka mendukung pendidikan Indonesia dengan bersekolah di Eropa. Pantasan tak ada yang terlihat jelek.
Akting di sini ingin saya berikan penghargaan pada Raline Shah yang menurut saya sangat keren dalam menampilkan Fatma. Fatma betul-betul berhasil ia jiwai, kendati ia kurang keibuan menurut saya (karena posturnya langsing), tapi ia sungguh berbakat. Nino Fernandez bermain sebagai badut film, yang mana kelucuan selalu muncul di dirinya. O lala, saya sampai bosan lihat itu orang.
Banyak kesalahan yang dapat ditilik dari film ini. Pertama, aplikasi akhlak selaku muslim yang kurang tertonjol. Okelah, kalau harus segitu galaunya dengan salat Jumat, tapi kok makan pakai tangan kiri nggak galau? Okelah, kalau harus segitu pedulinya dengan sejarah Islam, tapi kok makan sambil berdiri? Okelah, kalau harus segitu inginnya pakai hijab, tapi kok salaman sama bukan muhrim? Ini saya bukan berusaha ketat, namun menurut saya, kalau sesuatu yang sudah akidah bisa diterapkan dengan sedemikian baik mengapa tak juga dengan praktik yang baik pula?
Entah kesalahan atau tidak, saya agak kurang sreg dengan tokoh dari negara lain yang tak berbicara bahasa Inggris. Menurut saya, ini menjadi penting karena kita belum diberitahu mereka itu asalnya dari mana. Bahkan, kalau tidak salah Fatma itu saya belum dikasih tahu dia dari mana (iya Turki sih, tapi bilang-bilang dong). Stefan dan Khan juga tak dijelaskan. Sisi positifnya, berusaha menjaring informasi yang lebih luas, dan capek kalau harus terjemahkan dan latihan untuk seluruh film.
Ketika si Fatma menghilang, saya kok tahu gelagat ini film mau kelar. Loh? Kok begini? Siaulnya, ternyata ini film ada part 2 nya. Udah kayak Breaking Dawn aja. Memang sih, tak cukup untuk mendeskripsikan buku tersebut menjadi satu film berdurasi sedemikian pendeknya. Herannya, kok satu film bisa jadi dua jam itu si Soraya gila juga ya. Alhasil, saya jadi bingung harus memaklumi atau tidak bagian-bagian yang hilang, karena bisa saja dipindah ke bagian kedua film ini.
Satu lagi, keluarga saya agak terganggu dengan kehadiran Fatin yang syuting di Eropa. Nggak tahu deh maksudnya apa. Maksa, terlalu ingin dimasukkan, terlalu ingin diselaraskan. Film ini jadi lumayan rusak dengan kehadirannya. Kenapa sih, nggak dengan mereka lewat aja, biar kerasa cameonya? Arghhh...
Film 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan sebuah film drama yang biasa, namun asyik untuk diikuti dengan melihat peninggalan Islam yang akan kita kaji satu-persatu. Kita diberi pengertian menjadi agen muslim yang baik dan untuk lurus kepada akidah di ranah tanpa akidah. Kendati banyak kekurangan, jelas film ini merupakan satu tanda bahwa Indonesia sudah mulai keren dalam membuat film. Saya jadi ingin nonton film Indonesia lagi (dan melirik ke film horor yang tak kunjung meningkat). Ayo Indonesia!
NB: Pas-pasnya, ini film keempatpuluh dari Maxima dan ini film adalah post keempatpuluh di blog ini. Yeah!
87%
Nahhhh setuju, gue ngerasa aneh bet makan tgn kiri. Kyaknnya kebiasaan makan steak deh wkwkw. Harus nya pas akting jgn kiri, gue kidal loh. Motong kiri makan nya kanan.
BalasHapus