Nell Sweetzer (Ashley Bell) berhasil menyelamatkan diri dari sekte pemuja Abalam dan menemukan hidup baru di sebuah rumah penampungan untuk anak-anak perempuan dengan pekerjaan baru sebagai cleaning service sebuah motel. Kebahagiaannya tak berlangsung lama tatkala setan yang dulu mengincarnya masih mengikuti dirinya, dan ternyata.... mencintainya.
RATING
Rated PG-13 for horror violence, terror, and brief language
REVIEW
Film kedua ini rasa-rasanya sebuah pemaksaan kehendak, entah deh maksudnya apa. Semenjak kesuksesan presedornya, jelas bukan mustahil bila ada film lanjutannya. Kali ini, tidak dalam bentuk found footage, kita akan melihat tentang gadis kerasukan kita, Nell Sweetzer yang berhasil survive dari kawanan tersebut.
Oke, ini terdengar seperti premis yang menjanjikan, tapi tentu kadaluarsa. Terlepas dari segala akting, skenario, hingga komentar positif di film pertama, saya yakinkan bahwa hampir selalu bodoh dengan menampilkan pemain yang sama dalam sekuel film horor (sejauh ini baru Sidney Campbell dari Scream yang berhasil pintar). Maksudku, lihat saja film pertama itu, itu sudah seharusnya bertindak sebagai akhir yang bagus, bukan? Oke, nggak bahagia, tapi kita masih bahagia karena dapat kejutan yang diberikan. Makanya saya bingung harus bereaksi apa terhadap film ini.
90 menit yang diberikan oleh sang sutradara entah siapa untuk kita dalam menyaksikan Nell, sebenarnya saya pribadi merasa tertarik untuk melanjutkan bagaimana akhir dari cerita ini. Apalagi, karena ada kejutan di akhir film pertama yang saya rasa sekuelnya pun akan memberikan premis yang sama. Segala bentuk jump scare sepertinya sudah dilakoni film ini. Maksudku, berkali-kali anda akan dipersilakan untuk melihat jump scare yang sudah pernah anda lihat di film lain! Tapi kala itu saya masih merasa bagus.
Kebingungan saya mulai tercipta tatkala si Nell ini jadi rada-rada mesum, berada di kamarnya dan bertingkah aneh, saya juga mulai bertanya-tanya, dia ini kenapa sih? Rupanya sang produser menginginkan apa yang melibatkan Nell ini sebagai sesuatu yang luar biasa besar. Itu dia mungkin masalahnya. Saya tak terlalu suka pada ide film horor yang ada ide conquer the world. Menguasai dunia. Rasanya garing saja.
Nell menjadi Emily Rose kedua? Ya, tak bisa dinafikan hal tersebut telah terjadi. Ekspresi Nell yang katatonik itu menurut saya sangat bagus dan representatif terhadap Emily Rose. Tapi sayang, Emily Rose merupakan ranah drama horor yang sangat halus, sementara Nell berada dalam atmosfir dunia Amerika Serikat yang pinggiran, bodoh, superstitious tapi ada juga yang ilmiah. Maka dari itu ia pasti berjalan dengan rough. Tidak elegan.
Akting Ashley Bell di sini sangat baik menurut saya. Walau hanya sekadar dikejar-kejar setan dan melakukan gerakan akrobatik, dia terlihat menjanjikan untuk filmografi berikutnya bila bernuansa horor. Lagi pula, siapa scream queen dekade 2010-an ini? Mungkin ia bisa mencalonkan diri.
Hal paling jelek memang karena ini sekuel dari film yang seharusnya tanpa sekuel. Maksa, idealis, dan sebagainya. Ide dari sekuel adalah, kita bisa memasukkan apapun semau kita di sini karena semua hal yang dibutuhkan penonton untuk masuk ke film ini telah diambil di film pertama. Untungnya saja, film ini tidak sejelek House at the End of the Street itu. Film ini tetap mempunyai rasa-rasa horor yang baik dan tensi yang selalu dijaga. Mirip dengan film horor lain? Tentu. Ini sekuel. Kira-kira apa lagi yang akan membuat anda ketakutan selain burung nabrak jendela, hooded figure di jendela, orang kerasukan boongan, hingga orang yang mengintip?
Entah mengapa, bisa-bisanya film pertama itu diunggah di Youtube dan ditonton oleh teman-teman Nell, si Nell-nya yang setengah-setengah takut juga gak percaya. Lalu kita dikasih lihat ada kekuatan yang namanya Order of the Right Hand yang sepertinya menjanjikan, padahal di akhirnya si Nell itu juga kalah. Oh my god, please, saya tidak lihat struggle yang betul-betul di sini. Apa yang kita lihat dari film ini? Bahwa entity kejahatan itu selalu lebih kuat dan menang dibandingkan kekuatan baik? Keberadaan ordo ini jadi agak jelek, karena rasanya kita terlalu banyak dikasih kepercayaan, kebenaran, dan bahwa fakta kalau gereja (yang diindikasikan suci bagi mereka) tak lagi aman. Saya ingat sekali, di film exorcism, para pembuatnya memberikan sesuatu yang religius, yang membuat si orang-orang berlindung pada Tuhan mereka. Saya bukan membahas sudut pandang agama, tapi film ini seakan mengajarkan kita bahwa yang lebih patut dipercayai bukan lagi agama samawi, agama langit, agama yang mayoritas, melainkan kepercayaan yang tradisional, yang praktikal, yang ritus. Apa yang berusaha mereka tunjukkan?
Akhir film ini, kita juga dikasih lihat bagaimana Nell akhirnya bergabung dengan Abalam dan mereka mulai membakar seisi kota. Sekali lagi, ini bukan akhir yang bahagia. Namun, di manakah letak kebahagiaan kita pada film ini? Tidak ada. Tidak ada satupun intrik cerita yang membuat saya terpukau seperti presedornya. Bukan menuntut terlalu banyak, tetapi bukankah itu tugas sekuel untuk mengaktualisasikan diri menjadi lebih baik daripada sebelumnya? Apalagi, film ini justru berakhir dengan membuka kesempatan yang sangat besar bagi sekuel ketiganya. Kalau begini caranya, saya harus mulai membayangkan pose akrobatik apa lagi yang harus ditampilkan di poster The Last Exorcism Part X: Last Encounter yang nantinya jelas-jelas akan kayak franchise A Nightmare on Elm Street, atau Friday the 13th.
Kumohon, peringatan juga kepada film-film horor lain, bahwa film horor itu tak apa bila berakhir tanpa penjelasan, karena begitulah film horor. Kalau begini caranya, mau berapa film horor yang bakal menelurkan sekuel? Dan Paranormal Activity yang tidak pernah saya tonton itu saja, sekarang sudah yang keempat. Sudah nggak paham lagi, deh. Pemaksaan demi mengeruk keuntungan justru membuat film ini masuk ke direct-to-video seusai dicaci maki kritikus.
Kumohon lagi, jangan ada lagi pemaksaan dalam sekuel. Please... Apalagi dengan rekaman film pertama yang diulang berkali-kali. Jangan lageee
32%
Tidak ada komentar:
Posting Komentar